Agenda Freemason dalam Sumpah Pemuda
“Karena kedekatan Antara Teosofi-Freemason dengan para aktivis pemuda pada masa itu, terutama mereka yang tergabung dalam Boedi Oetomo, Jong Java, dan Jong Sumatranen Bond, maka Kongres Pemuda Pertama tahun 1926 diselenggarakan di Loge de Ster in het Oosten ini.
Penggagas kongres ini adalah Mohammad Tabrani, aktivis Dienaren van Indie (lembaga beasiswa milik Freemason). Kongres Pemuda Pertama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.”
Artawijaya. Dalam bukunya, “Freemason dan Teosofi: Persentuhannya dengan Elit Modern di Indonesia”
Tak ada Sumpah Pemuda jika tidak dipelopori oleh Kongres Pemuda I yang diadakan pada 30 April-2 Mei 1926. Kongres yang diinisiasi dan dibiayai oleh Freemason itu, faktanya menimbulkan keresahan bagi organisasi pemuda yang berpatron pada Sarekat Islam, yakni Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam).
Sebagaimana yang dijelaskan juga dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”, Freemason begitu menekankan pluralisme, okultisme, dan prinsip kemanusiaan sebagai titik temu agama-agama. Mereka mempunyai agenda untuk “membimbing nasionalisme menuju perwujudan cita-cita yang luhur dari humanitas”
Dalam pluralisme yang diusung oleh Freemason, agama memang tidak menjadi patokan. Agama bukanlah kebenaran absolut. Agama apapun selama mengajarkan kebaikan, menurut mereka adalah sama.
Menurut Petrovna Helena Blavatsky (bangsawan Rusia berdarah Yahudi yang menjadi tokoh sentral Teosofi), agama adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom of religion. Maka, tujuan dari Teosofi adalah menyatukan semua agama di dalam satu etika umum dan menjalankan persaudaraan universal tanpa memandang perbedaan agama, ras, warna kulit, kasta, maupun jenis kelamin. Bahasa mudahnya adalah “humanism above religion”.
Apa yang menjadi nilai-nilai Freemason juga ditunjukkan melalui ucapan selamat atas terpilihnya Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS (1949). Pengurus Besar Provinsial Freemason Hindia-Belanda menyampaikan, “Berhubungan dengan pengangkatan Yang Mulia sebagai Presiden pertama Republik Indonesia Serikat, Freemason dengan segala hormat mengucapkan selamat kepada Yang Mulia, dan menegaskan kepada Anda bahwa tujuan-tujuan RIS untuk melayani kemanusiaan, seluruhnya mendapat resonansi dalam asas-asas Freemason.”
Tentu saja cita-cita tersebut setali tiga uang dengan impian nasionalisme Soekarno dan PNI; yakni mewujudkan nasionalisme yang netral agama dan berbasis kepada kemanusiaan, apapun agamanya.
Salah satu adegan menarik dari pengaruh pemikiran ini adalah, reaksi atas pidato perwakilan Sarekat Islam, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Melalui sambutan yang ia sampaikan pada momen Kongres Pemuda II (kongres yang mengukuhkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928), Kartosoewirjo yang masih berusia 23 tahun itumendukung semangat nasionalisme yang dikukuhkan dalam Soempah Pemoeda.
Namun ia memberi penekanan, bahwa nasionalisme itu harus berbasis pada Islam. Segera saja sambutannya langsung diinterupsi oleh ketua kongres, menyanggah penekanan Kartosoewirjo dengan mengatakan bahwa persatuan nasional tidak harus berbasis kepada agama, apalagi Islam.
Dengan dukungan yang diberikan oleh golongan Islam modernis kepada perjuangan nasionalisme yang dikukuhkan dalam Sumpah Pemuda itulah, maka berakhir sudahperjuangan Pan-Islamisme yang bertujuan untuk menegakkan kembali Khilafah pasca-keruntuhan ‘Utsmaniyyah. Momen Sumpah Pemuda menjadi batu loncatan “jang kramat” dalam perjuangan nasionalisme yang kelak akan memerdekakan Indonesia dari kekuasaan asing pada tahun 1940-an.
Golongan Islam modernis sendiri, yang dulunya begitu getol memperjuangkan kesatuan Islam global di bawah Khilafah sepanjang tahun 1924-1927, pasca Sumpah Pemuda, terpaksa mengibarkan bendera putih tanda menyerah, dan beralih kepada “nasionalisme-religius” yang terbatas dalam jangkauan Indonesia, di mana teritorialnya dipatok oleh kuasa kolonial Belanda, terutama sejak masa kepemimpinan Van Heutsz.
Sumber dan Rekomendasi Bacaan:
Artawijaya. 2019.Freemason dan Teosofi: Persentuhannya dengan Elit Modern di Indonesia. Pustaka al-Kautsar: Jakarta.
Nicko Pandawa. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Komunitas Literasi Islam: Bogor.