Apa sih yang dibahas dalam acara “KLI SIXTH EVENT: Hoax-Hoax Kesehatan di Kalangan Umat Islam”?
Pertama yang dibahas adalah fakta bahwa ternyata hoaks kesehatan bukan hal yang baru. Contohnya yang terjadi pada kasus Peter Duesberg dan Thabo Mbeki, atau kondisi kaum muslim yang sedang booming slogan “Back to Nature“.
Salah satu latar belakangnya adalah fakta industri pangan dan obat obatan yang didominasi asing terutama Barat, kemudian berpikir bahwa mereka menggunakan berbagai macam cara untuk menyerang kaum muslim termasuk melalui makanan. Belum lagi opini bahwa obat yang populer dengan sebutan obat kimiawi memiliki efek samping yang membahayakan tubuh, sehingga banyak lebih memilih menggunakan obat herbal.
Ketika isu-isu tersebut beredar dan diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat, yang menjadi titik kritisnya adalah,
“apakah mereka mendasarkan keyakinannya atas pengetahuan yang memadai dan bukti yang valid?”
Dan, “Apakah mereka benar benar sudah memahami hakikat isu tersebut?”
Demikian pula penggunaan istilah-istilah ilmiah selama berkembangnya isu tersebut,
“Sudahkah mereka paham betul dengan maknanya?”
Are they literate enough to judge wether those issues are true or not?
Siapa atau apa sumber isu tersebut?
Apakah sumber nya memiliki kompetensi untuk memberikan isu tersebut?
Inilah yang seharusnya betul-betul kita kritisi sebelum mengambil info tentang kesehatan. Apalagi ini berhubungan erat dengan badan kita yang so precious and priceless karena amanah dari Allah.
Karena itulah, kita harus berliterasi. Cari, pahami ilmunya dan jangan pernah menutup diri dari diskusi dan kritik, terutama ketika kita masih awam alias tidak memiliki background formal di bidang kesehatan.
Sebelum membahas isu-isu nya, kita harus memahami bahwa ilmu kesehatan – baik itu kedokteran, farmasi, dan lain sebagainya – adalah ilmu eksak; bersifat ilmiah dan lepas dari cara pandang hidup tertentu atau ideologi. Kalau pun ada yang berhubungan dengan ideologi atau mengandung nilai yang tidak sesuai dengan Islam, hal tersebut adalah kasuistik dan bukan sesuatu yang dapat dijadikan kesimpulan umum. Contohnya adalah pada kasus kloning.
Oleh karena itu, sebagai kaum muslim kita pun bisa ‘mengambil’ hasil penemuan orang-orang asing/Barat dalam bidang ini. Apalagi ternyata ada juga metode penyembuhan saat ini yang diduga berasal dari Barat padahal ditemukan oleh kaum muslimin, seperti vaksin.
Nah, kembali lagi pada pembahasan semangat “Back to Nature“. Sebenarnya, hal ini tentu diperbolehkan. Namun yang perlu dikritisi adalah alasan dari semangat “Back to Nature”. Jika alasannya didasarkan pada produk pangan dan obat-obatan yang saat ini mayoritas diproduksi oleh Barat, maka harus dipahami terlebih dahulu perbedaan antara konsep hadharah dan madaniyah. Nah, obat dan pangan adalah termasuk madaniyah/materi yang dapat diambil kaum muslim sekalipun di produksi orang Asing/Barat – dengan catatan tetap memperhatikan kaidah halal haramnya. Dan ternyata data justru menunjukkan, bahwa sektor obat obatan di Indonesia mayoritas masih diproduksi oleh perusahaan lokal.
Selanjutnya, mengenai obat herbal dan obat kimia. Isu yang berkembang adalah, tidak ingin menggunakan obat kimia dan sebaiknya diganti dengan obat herbal. Nah, pertanyaan nya adalah, “Apa sih obat kimia itu?”
Di dunia kesehatan sendiri, istilah obat kimia justru tidak dikenal, karena Kimia itu adalah ilmu yang menjelaskan mengenai unsur-unsur yang membentuk segala hal di dunia. Istilah “obat kimia” lebih tepat disebut sebagai obat sintesis yang dibuat di pabrik.
Sebetulnya, baik obat herbal maupun obat sintesis pasti disusun oleh struktur kimia dan pasti akan bereaksi secara kimiawi. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, “Tapi intinya obat herbal tetap lebih aman daripada obat sintesis, karena obat herbal tidak memiliki efek samping”
Perlu dipahami bersama, bahwa obat herbal dan sintesis sama-sama terbentuk dari struktur kimia, yang tentu saja akan menghasilkan efek samping.
Nah, istilah efek samping inilah yang seringkali diasosiasikan sebagai hasil/efek buruk setelah mengonsmsi obat. Padahal efek samping sesungguhnya bermakna efek/hasil tambahan di luar dari efek utama yang memang menjadi tujuan penggunaan obat tersebut. Contoh nya aspirin. Aspirin utamanya berfungsi sebagai pain killer yang umumnya digunakan untuk mengobati pusing. Ternyata, aspirin juga memiliki efek mengobati penyakit jantung. Inilah efek samping dari aspirin.
Pertanyaan pun masih berlanjut, “Namun, bukankah setidaknya efek samping obat herbal tidak separah efek samping obat sintesis?”
Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena rendemen (hasil proses ekstraksi) obat herbal lebih kecil. Artinya, jumlah yang berefek sangatlah sedikit. Misalnya, kunyit. Rendemen kunyit sekitar 7.8%. Artinya, jika ingin mendapatkan 7.8 gram, diperlukan kunyit 100 gram. Padahal, rendemen bukanlah single senyawa. Ia berisi beribu-ribu senyawa yang bisa jadi tidak berefek pula.
Jadi, wajar jika obat herbal jarang menimbulkan efek samping. Hal ini juga menjadi alasan di balik rendahnya efektivitas obat herbal.
Pertanyaan ternyata belum berakhir, “kok bisa banyak bagian masyarakat yang ‘termakan’ hoaks kesehatan?”
Umumnya, hal ini disebabkan pemahaman masyarakat yang kurang memadami mengenai kesehatan. Hal ini diperparah dengan derasnya arus informasi di dunia maya.
Akibatnya, masyarakat tidak memiliki alat filter informasi, namun di saat yang sama terus-menerus ‘dibombardir’ oleh berbagai info yang bercampur antara hoaks dan kebenaran. Bahkan, tak jarang isu hoaks mendapat porsi yang lebih banyak. Sebetulnya tidak ada yang salah mencari info kesehatan di google atau mesin pencarian lainnya, dengan syarat kita telah menguasai “seni googling” itu sendiri, yaitu kita memahami bahwa mesin pencarian akan merekomendasikan artikel yang paling banyak diklik, bukan yang benar.
Keawaman masyarakat dan ramainya kondisi ini kemudian dimanfaatkan sebagian orang untuk kepentingan bisnis. Walhasil, masyarakat tidak mendapat edukasi yang layak, dan berakhir dengan pembiaran tak jelas. Sangat disayangkan, tanggung jawab negara yang memiliki kuasa untuk meng-counter hal ini pun seolah tak terlihat. []