PemikiranPolitikSejarahUlasan Buku

Apa Yang Bisa Kita Pelajari Dari Kisah Petualangan One Piece?

Share the idea

Akhirnya, manga fenomenal One Piece dibuatkan serial live action. Dalam berbagai adegan, kita disuguhkan deklarasi yang sangat jelas: bahwa Luffy sebagai tokoh utama, pasti menjadi raja bajak laut.

Sebenarnya, hal ini bukan barang baru di kalangan penggemar. Sebagaimana karya fantasi lainnya, happy ending seperti itu menjadi sangat lumrah. Bosan? Tunggu dulu. Catatan penjualan manga One Piece yang terus berada di jajaran lima peringkat teratas justru menunjukkan fakta bahwa penggemar jauh dari kata bosan. Bahkan, jumlah mereka terus bertambah banyak!

Selain karena cerita dan tokoh-tokoh yang diinspirasi dari dunia nyata, faktor yang menjadikan One Piece terus populer adalah lakon yang sering menunjukkan analogi peristiwa-peristiwa besar dunia.

Meski konfliknya nggak rampung-rampung, ada satu hal menarik yang bisa kita refleksikan dari manga ini. Bahwa, setiap peristiwa itu tidak terjadi dengan sendirinya. Ada akar, batang, serta sulur-suluran yang saling terkait. Oda selaku penulis One Piece, seakan mengajarkan kepada pembacanya sebuah konsep dasar berpikir politis. Berbagai peristiwa politik; baik internasional, nasional, maupun lokal sesungguhnya saling terhubung dan tidak terjadi dengan sendirinya.

Lalu dimana benang merahnya? Benang merahnya ada pada berita-berita politik yang berseliweran setiap hari. Maka kalau kita mengikhlaskan menjejali dan dijejali berita kematian cupang Lee Min-Ho, kawat gigi Lesti, atau anggota EXO beol di jamban, ya sampai lebaran kuda kita enggak akan dapat benang merah peristiwa politik.

Selain mengamati berbagai peristiwa politik, Oda juga mengajak kita untuk sering-sering menengok ke belakang. Itulah mengapa Oda pernah menyisipkan lakon penghancuran institusi sejarawan di Ohara, sebagai pesan bahwa sejarah itu penting dan ditakuti oleh penguasa. Penguasa takut karena tidak ingin kejahatannya di masa lalu terbongkar.

Penguasa takut karena tidak ingin terjungkal oleh gerakan perlawanan yang termotivasi kejayaan masa lalu. Penguasa takut, karena masa lalu memberikan rumus bagaimana cara menjatuhkan penguasa lalim dan membangkitkan sebuah kejayaan. Karenanya, Oda sangat sering mengajak pembacanya untuk flashback, membaca dan menyelami masa lalu tokoh-tokoh, sejarah sepak terjangnya dan kaitannya dengan peristiwa masa kini.

Padahal, umat Islam tidak kekurangan bahan bacaan yang menyebabkan mereka buta politik. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani misalnya, secara cemerlang menghadirkan sulur-suluran politik dunia dalam kitab “Mafahim Siyasiyah” (Konsepsi Politik) nya. Di tingkat nasional, ada pak Kuntowijoyo dengan bukunya yang berjudul “Identitas Politik Umat Islam”, “Muslim Tanpa Masjid”, juga “Paradigma Islam”. Tak lupa, berbagai buku sejarah yang akan menuntun kita untuk flashback atau menengok ke belakang. Maka, sesungguhnya tak ada alasan lagi bagi kita untuk malas membaca.

Masalah berikutnya adalah kita terkadang terlalu asyik membaca manga, terlalu asyik membaca yang ringan. Efeknya, kita meringankan diri, merendahkan tingkat berpikir, dan mencari alasan bahwa level kita masih rendah. Padahal kita punya tugas menjadi negarawan.

Bagaimana caranya? Gampang. Pindah saja skalanya dari manga ke skala dunia. Ngerti ora son?

Rekomendasi  Bacaan:

Abdul Qadim Zallum. 2001. Pemikiran Politik Islam. Pustaka Al-Izzah: Bangil.

Kuntowijoyo. 2018. Identitas Politik Umat Islam. IRCiSoD: Yogyakarta.

Muhammad Rahmat Kurnia. 2014. Meretas Jalan Menjadi Politisi Transformatif. Al-Azhar Press: Bogor.

Taqiyuddin An-Nabhani. 2015. Konsepsi Politik.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *