PemikiranTeknologi

Bagaimana Cara Praktis Mengetahui Hoaks Kesehatan?

Share the idea

Penulis : Ahmad Rusydan, Ph.D

Ketika seorang muslim dihadapkan terhadap situasi tertimpa penyakit, maka pertanyaan pun muncul, “apa yang harus ia lakukan? Apakah berdiam diri atau berupaya mencari solusi medis? Apakah ada konsekuensi akhirat ketika ia diam saja atau ia harus mencari solusi?”

Apabila informasi dari wahyu menyatakan bahwa ia harus mencari solusi medis, maka muncul pertanyaan berikutnya, “Apakah solusi medis yang akan ia tempuh tersebut berasal dari sumber yang bisa ia percaya? Apakah solusi medis tersebut halal? Apakah benar Nabi Muhammad sendiri yang menyatakannya? Kalau benar memang Nabi yang menyatakan demikian, apa makna sebenarnya dari pernyataan Nabi tersebut? Apakah dipahami secara tersirat atau tersurat? Apakah solusi medis tersebut melingkupi aspek individu saja, atau juga mengikat kebijakan kesehatan publik?”

Maka para ulama menyatakan bahwa ada dua kemampuan literasi dalam memahami informasi, yaitu menganalisa sumber berita (sanad) dan memaknai konten berita (matan) itu sendiri. Kemampuan literasi ini penting, karena Nabi Muhammad mewanti-wanti untuk tidak sembarangan menisbatkan informasi tertentu kepada dirinya karena bisa berakhir pada siksaan di neraka. Selain itu, kekeliruan dalam memaknai konten berita berpotensi membahayakan tidak hanya dirinya saja, namun juga bisa berdampak sistemik yang membahayakan kesehatan publik.

Pada titik inilah ada perbedaan derajat kemampuan untuk menganalisa sumber berita dan konten berita antara ‘yang mengetahui’ dan ‘yang tidak mengetahui’. Quran sendiri menyatakan bahwa ada perbedaan antara keduanya, dan mendorong umat islam untuk menaikan derajat atau kualitas pemikirannya dengan terus berupaya untuk ‘mengetahui’. Demikian pula, bagi yang “tidak mengetahui” untuk sadar akan kapasitasnya dan bertanya kepada “yang mengetahui”, atau pihak yang dikenal memiliki otoritas keilmuan, sekaligus layak untuk dipercaya. Bagi yang tidak memiliki otoritas keilmuan, maka ia bisa mengadopsi pendapat dari individu atau entitas yang ia percaya.

Hanya saja dalam kehidupan modern dimana pemahaman tentang dan penerapan Islam kerap tidak utuh dan menyeluruh, maka ada kesenjangan antara kepakaran agama dan kepakaran kesehatan, ketimpangan antara kebijakan negara dan pandangan ulama. Dalam kondisi seperti ini, era ‘internet-of-things’ yang mengeksploitasi lemahnya kemampuan literasi umat islam dan/atau memanfaatkan motivasi finansial sebagian individu terkait jumlah hits yang tinggi dalam memanipulasi click-bait juga turut berkontribusi terhadap penyebaran hoaks.

 Tanpa banyak disadari, upaya menangkal penyebaran hoaks kesehatan salah satunya bisa menerapkan kemampuan literasi. Dalam kepakaran agama, hadits palsu (informasi agama yang dinisbatkan secara keliru terhadap ucapan, perbuatan atau diamnya Nabi) bisa ditangkal dan dimitigasi dampaknya dengan meneliti sumber dan konten terhadap informasi yang diklaim sebagai hadits. Demikian pula dalam menangkal dan memitigasi dampak dari penyebaran hoaks kesehatan juga bisa menilik dari sumber dan konten informasi kesehatan tersebut.

Evaluasi sumber berita

Para ulama menerapkan metode investigasi terhadap periwayatan hadits sehingga bisa menyimpulkan bahwa benar Rasulullah telah menyampaikannya. Demikian pula dalam menerima informasi kesehatan, perlu ada kemampuan untuk mengevaluasi siapa sumber berita tersebut. Apakah dikenal sebagai sosok atau pakar kesehatan yang memang ada dan juga kredibel? Yang sering terjadi adalah informasi kesehatan tidak merujuk pada narasumber yang jelas, kecuali mencomot nama tertentu yang belum tentu ada di dunia nyata. Atau menisbatkan nama pakar tertentu padahal pakar tersebut tidak pernah menyampaikan informasi yang dimaksud.

Demikian juga apakah sumber berita itu kredibel, memenuhi standar, dan bisa dipercaya? Dalam kondisi umat Islam yang terpuruk saat ini, umat berada dalam posisi krisis kepercayaan terutama terhadap sosok (individu pakar, pejabat, ulama tertentu, bahkan lembaga negara) yang dianggap tidak lagi memiliki otoritas dan/atau tidak layak untuk dipercaya. Hoaks terkait vaksin sebagai alat zionis dan bisnis semata telah memperdaya umat Islam dan kini mulai terlihat dampak serius terhadap kesehatan publik.

Evaluasi konten berita

Cepatnya penyebaran hoaks kesehatan terkait “terapi alami ala nabi yang dianggap mujarab dalam pengobatan segala macam kanker” juga akibat rendahnya literasi dalam memahami konten berita. Bagaimana terapi tersebut dibuktikan? Padahal dalam sejarah peradaban Islam, konsep pembuktian terhadap efektivitas obat, pencegahan penyakit, etika dan implikasi hukum terhadap individu yang mempraktikkan kedokteran tanpa ijazah banyak dibahas oleh ilmuwan Islam seperti Ibn Sina, Ibn Zuhr, dan Ibn Qayyim. Demikian juga konsep terkait tingkat keandalan suatu informasi berdasarkan bukti yang ada juga merupakan buah aktivitas intelektual para ulama dulu dan juga praktisi kesehatan modern. Dalam dunia kesehatan, informasi yang disandarkan terhadap opini pribadi seorang pakar memiliki derajat bukti yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil uji klinis randomisasi yang dilakukan oleh berbagai lembaga dan oleh banyak pakar. Demikian juga dalam tradisi islam, informasi yang diriwayatkan oleh satu orang sahabat nabi memiliki derajat keyakinan yang berbeda dibandingkan dengan informasi yang diriwayatkan oleh banyak sekali sahabat Nabi.

Sains biomedis membagi derajat bukti (Level of Evidences) menjadi lima (skala 1 hingga 5) dimana skala 1 adalah derajat bukti terkuat sedangkan skala 5 adalah derajat bukti terlemah. Skala 5 adalah opini pribadi seorang pakar, 4 adalah contoh kasus, 3 hasil observasi pembandingan dua kelompok, 2 adalah studi kohort, dan 1 adalah uji klinis randomisasi. Terkait dengan uji klinis modern, Ibn Sina menulis dalam bukunya At Thibb menyatakan pentingnya pengujian zat yang murni, pada indikasi penyakit yang spesifik, pembagian dua kelompok pasien (kelompok test vs kelompok control), observasi dampak eskalasi obat, yang dilakukan pada manusia secara prospektif, dan bisa terulang hasilnya secara independen.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang hidup semasa Khilafah Abbasiyah menegaskan pentingnya sistem kebijakan publik yang melindungi pasien dari praktik kedokteran yang tidak mengindahkan kompetensi praktisi kesehatan (dokter) dan kualitas pengobatannya. Ibn Qayyim merinci konsekuensi malpraktik yang dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kompetensi untuk melayani pasien, di antaranya adalah

  1. Praktisi kedokteran (dokter, tabib) yang tidak kompeten wajib bertanggungjawab dalam dua hal, yaitu terhadap resiko kesehatan pasien akibat tindakannya dan bertanggungjawab secara finansial
  2. Apabila seorang dokter yang memiliki kompetensi kedokteran dan ia melakukan kesalahan dalam memberikan obat dan/atau menghasilkan kematian pasiennya, maka ada dua kemungkinan. Pertama kompensasi finansial (diyat) yang dibayarkan dari Baitul Mal (State Treasury of the Caliphate). Kedua, kompensasi dibayarkan oleh dokter itu sendiri. 

Apa yang kita lihat saat ini adalah dampak daya literasi yang lemah terhadap informasi. Masyarakat awam dan kalangan terdidik darinya pun tidak luput dari narasi klaim penyembuhan yang cenderung menyesatkan. Maka kita bisa belajar dari sejarah peradaban Islam bahwa pembuktian adalah hal penting bagi pengobatan secara umum, dan pengobatan kanker khususnya mengingat kerentanan pasien dan keluarganya dari jebakan komersialisasi pengobatan yang belum terbukti.

Kita juga perlu mengingat kata-kata Ibn Khaldun dalam muqaddimah magnum opusnya yang berjudul al ‘Ibar, bahwa Nabi tidak diturunkan untuk mengajari teknis pengobatan, namun mengajari kita tentang syariat. Dalam konteks kesehatan, teknis pengobatan bersifat dinamis dan harus dibuktikan sesuai kemajuan ilmu pengetahuan. Namun, dari sisi syariat, Nabi kita mengajarkan pentingnya kebijakan negara dalam pelayanan kesehatan terbaik yang mampu diakses dan dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Wallahu a’lam[]

Sumber:

Al-Jauziah, Ibn-Qayyim. 2003. Healing with the Medicine of the Prophet, Riyadh, Darussalam.

Kassim, Puteri Nemie Jahn. “Medical Negligence in Islamic Law.” Arab Law Quarterly, vol. 20, no. 4, 2006, pp. 400–410. JSTOR, www.jstor.org/stable/27650564.

Skyler B Johnson, Henry S Park, Cary P Gross, James B Yu, Use of Alternative Medicine for Cancer and Its Impact on Survival, JNCI: Journal of the National Cancer Institute, Volume 110, Issue 1, January 2018, Pages 121–124, https://doi.org/10.1093/jnci/djx145

https://www.students4bestevidence.net/case-control-and-cohort-studies-overview/
Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *