Pemikiran

Bagaimana Islam Mendefinisikan Kebaikan?

Share the idea

Di sepuluh hari terakhir Ramadhan, biasanya para akhwat harap-harap cemas. Takut tamu bulanan datang dan ‘mencegah’ untuk mendapatkan malam seribu bulan.

Tentu saja ketika datang ‘masa libur akhwat’ itu, banyak ibadah yang tak bisa tertunaikan, mulai dari shalat, shaum, thawaf, bahkan menyentuh dan membaca Al Qur’an. Ketika amal ibadah mahdhah berkurang, rasanya seakan berkurang pula kebaikan yang didapatkan.

Padahal, menghentikan amalan ibadah mahdhah ketika datang haid tidaklah mengurangi amal kebaikan. Hanya saja, kebaikannya jadi berubah.

Jika di masa bersih, kebaikan yang didapat adalah dengan melaksanakan shalat, shaum, dan lainnya. Di masa haid, kebaikan para perempuan justru dengan meninggalkan shalat tersebut. Tentu saja, karena definisi kebaikan itu bukanlah shalat, shaum dan lainnya. Tapi definisi baik adalah ketika mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Jika kita ‘ngeyel’ melaksanakan shalat di masa haid, bukannya kebaikan yang didapat, namun justru berdosa.

Selama ini, manusia memang ‘doyan’ mengklasifikasikan perbuatan dengan predikat baik maupun buruk. Shalat dianggap baik, sedangkan meninggalkannya dianggap buruk. Jujur dianggap baik, sedangkan berbohong dikategorikan buruk.

Padahal, baik dan buruk tidak melekat permanen pada perbuatan. Perbuatan ya perbuatan saja, tidak terkategori baik dan buruk. Adapun suatu perbuatan dikategorikan sebagai baik atau buruk, sangatlah tergantung pada tolok ukur yang kita miliki.

Kadang, manusia menggunakan tolak ukur bahwa apa yang ia sukai itumemilikisifat baik, dan apa yang ia benci memilikisifat buruk. Misal, manusia tidak menyukai pertumpahan darah sehingga menganggap perang dan hukuman mati sebagai perbuatan buruk. Atau, manusia menyukai kasih sayang sehingga memaafkan bahkan mewajarkan perilaku LGBT.

Sebagian manusia kemudian memakai tolok ukur apa yang membawa manfaat baginya adalah baik, sedangkan yang membawa kemudharatan adalah buruk.

Dalam dunia yang didominasi oleh sistem kapitalisme ini, nilai manfaat itu sangat identik dengan uang. Semakin menghasilkan uang dan memberi keuntungan materi, semakin dianggap berguna dan bermanfaat pula suatu perbuatan.

Mencicil rumah dengan KPR dianggap baik karena memudahkan dan memberi keuntungan materi. Pembeli untung, penjual untung. Sedangkan wanita yang sudah lulus sarjana tapi ‘sekadar’ menjadi ibu rumah tangga, dianggap buruk dan tidak bermanfaat, karena tidak memberi keuntungan materi apapun.

Padahal sebagai muslim, sudah jelas Allah dan Rasul-Nya yang menjadi pedoman, termasuk dalam menyifati perbuatan.

Shalat adalah perbuatan baik bagi wanita yang suci. Tapi bagi wanita yang haid, meninggalkan shalat adalah perbuatan yang baik. Meski shalat dan meninggalkannya adalah dua perbuatan yang bertentangan, tapi keduanya dikatakan baik karena sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

Contoh lainnya, membunuh orang kafir harbi di medan jihad  adalah perbuatan baik. Sedangkan membunuh jiwa yang tidak berdosa adalah perbuatan buruk.

Meski kedua perbuatan tersebut sama-sama membunuh, tapi secara sifat berbeda karena salah satunya sesuai dengan perintah Allah, sedangkan lainnya melanggar perintah-Nya.

Maka, para akhwat yang merasa ‘kurang baik’ karena tamu bulanan sehingga harus menghentikan aktivitas ibadah ruhiyahnya, sejatinya tak perlu khawatir. Karena sesungguhnya, tidak melakukan sebagian ibadah yang diharamkan ketika haid ternyata justru menjadi kebaikan. Semua itu semata-mata, karena sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya.[]

Sumber:

An-Nabhani, Taqiyuddin. (1953). Mafahim Hizbut Tahrir. (Cetakan ke-6). Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia

Asy-Syathiri, Al-Habib Ahmad bin Umar. Tanpa Tahun. Al-Yaquut An-Nafiis fii Mazhab Ibn Idris. Surabaya: Iqra’

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *