Bagaimana Islam Merevolusi Peradaban Manusia?
Banyak perubahan besar yang dimulai dari 3i: Kopi, Literasi, Ideologi.
Tak heran, jika kopi, minuman yang dipopulerkan oleh kaum muslimin kepada dunia ini disebut sebagai “anggurnya orang-orang Islam” (Wine of Islam). Popularitas kopi di masa peradaban Islam disebabkan oleh sifat kopi yang mirip khamr dan hasyisy namun halal. Para ulama mengonsumsi kopi agar kuat begadang melaksanakan ibadah sepanjang malam, termasuk di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Minuman vitalitas pertama kaum muslimin ini, juga digemari oleh kaum intelektual Islam untuk menjaga ketajaman pikiran ketika berdiskusi, meneliti, atau mendaras kitab-kitab.
Keseriusan aktivitas intelektual itulah, yang kemudian mengantarkan peradaban Islam mampu melampaui peradaban-peradaban yang sudah eksis di masanya. Al-Qur’an bahkan sejak ayat pertamanya, telah memerintahkan kaum muslimin untuk iqra’, membaca. Sebuah ayat revolusioner yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ummi (tidak bisa membaca dan menulis), dan diturunkan di tengah-tengah masyarakat Quraisy yang saat itu hanya terdapat 17 orang yang memiliki kemampuan baca-tulis.
Namun, membaca saja ternyata tidak cukup. Iqra’ ini harus diiringi dengan asma Tuhan, bismirabbika. Agar aktivitas literasi umat, tidak kemudian menjerumuskan mereka kepada kesombongan yang berujung kepada kehancuran.
Demikian dahsyatnya motivasi dari ayat ini, hingga mampu merevolusi tidak hanya pemeluknya, tapi juga wilayah yang diatur olehnya. Tak sampai 30 tahun, peradaban yang muncul di tengah-tengah Jazirah Arab yang terkenal tandus itu, di luar dugaan mampu menjadi penantang serius bagi adidaya seperti peradaban Romawi dan Persia.
Rasanya, sulit membayangkan bahwa pencapaian fenomenal tersebut dapat diraih jika Islam hanya dianggap sebagai agama spiritual. Faktanya, satu ciri unik yang mampu menjadikan Islam sebagai sumber revolusi atas masyarakat yang mengembannya adalah, bahwa Islam juga merupakan ideologi yang diterapkan oleh sebuah negara.

Islam menjadikan penerapan syariat Islam sebagai metode politik dalam negerinya, serta menjadikan dakwah dan jihad sebagai metode politik luar negerinya.Walhasil, Islam mampu menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru dunia. Di darat, Khalifah ‘Umar bin Khattab menjadikan Islam mampu melebarkan pengaruhnya ke kota-kota penting yang sebelumnya dikuasai oleh Romawi maupun Persia.
Di laut, Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan (k. 644-656 M) mendorong dibentuknya angkatan laut pertama umat Islam, dan menjadikan dakwah mampu menjelajah pulau-pulau yang sebelumnya tak terjangkau – satu hal yang tak terbayangkan oleh sebuah bangsa yang hidupnya dikelilingi oleh gurun. Sebagai hasilnya, makam dari paman Nabi yang juga menjadi salah satu dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk Surga, yakni Sa’ad bin Abi Waqqash, dapat kita temui di Tiongkok.

Di Indonesia sendiri, Islam juga berhasil masuk ke negeri ini dengan sangat cepat. SQ Fatimi dalam jurnalnya bahkan mencatat bahwa Sri Indrawarman, Raja Sriwijaya yang hidup di masa Khilafah Umayyah, telah berkorespondensi dengan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (k. 717-720) dan meminta untuk dikirimkan utusan yang mampu mengajarkan Islam kepadanya.
Berbagai pencapaian itu memang bukan kebetulan. Melalui dakwah dan jihad yang menjadi metode politik luar negeri Khilafah yang merupakan institusi bernegara kaum muslimin, Islam mampu menjadi satu-satunya agama yang tak hanya besar di wilayah asalnya (Jazirah Arab), namun juga besar di luar wilayah asalnya (Indonesia).

Pada saat ini, Islam menjadi satu-satunya agama yang tak hanya besar di wilayah asalnya (Jazirah Arab), namun juga besar di luar wilayah asalnya (Indonesia).
Islam yang diemban sebagai ideologi sebuah negara itulah, yang menjadi satu-satunya alasan mengapa pengaruh Islam bisa berlangsung demikian cepat dan dahsyat. Faktanya, ideologi pulalah yang memang dibutuhkan sebagai prasyarat bagi setiap perubahan besar. Revolusi Prancis, Revolusi Bolshevik, hingga Revolusi Industri adalah perubahan-perubahan besar lainnya yang muncul karena adanya ideologi yang melatarbelakanginya. Sebab, ideologi itulah yang mengubah pemikiran manusia tentang hidup, alam semesta, dan manusia itu sendiri. Jika sebuah negara justru gagal menjadi negara besar, maka hanya tersisa dua kemungkinan untuknya: ia memang tidak memiliki ideologi yang jelas, atau ia memang hidup di bawah pengaruh dari ideologi lain yang lebih besar.
Demikianlah, pisau analisis yang seharusnya kita gunakan ketika mempelajari peradaban Islam. Bahwa, umat ini memang tidak hanya ditakdirkan menjadi umat yang besar, namun juga menjadi umat terbaik di tengah-tengah manusia. Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnas!
Namun, ayat yang disadur dari surat Ali Imran ayat ke-110 itu tidaklah lengkap, tanpa tiga syarat yang mengikutinya. Ta’muruna bil ma’ruf, wa tanhauna ‘anil munkar, wa tu’minuna billah. Amar ma’ruf nahy munkar tersebut, harus diakui memang hanya mampu terwujud secara maksimal ketika syariat Islam menjadi landasan dalam setiap sendi kehidupan, baik kehidupan individu, masyarakat, hingga negara! []

Klik https://linktr.ee/kli.books dan tetap terhubung dengan seluruh media sosial KLI. Instagram, grup Telegram, Youtube, Website, dll.
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Firas Al-Khateb, 2016. Lost Islamic History. Zahira: Jakarta.
Hasan Asari. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam. Mizan: Bandung.
S.Q. Fatimi. 1963. Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East. Islamic Studies. Vol. 2 No. 1.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2006 (cet. 2). Daulah Islam. Triple Zero Press: Jakarta.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2016 (cet. 16). Peraturan Hidup dalam Islam. Triple Zero Press: Jakarta.
http://www.superluminal.com/cookbook/essay_coffee.html
https://www.hurriyetdailynews.com/coffee-and-coffeehouses-among-the-ottomans-76123