EkonomiPemikiranPolitik

Bagaimana Kapitalisme Memandang Kesehatan?

Share the idea

Penulis : Khafidoh Kurniasih

Munculnya anggapan bahwa SARS-CoV-2 adalah senjata biologis yang dihubungkan dengan teori konspirasi, atau semakin populernya “pengobatan alternatif” yang seringkali dikaitkan sebagai lawan dari “pengobatan modern”, agaknya dapat kita pahami sebagai bentuk lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis dan farmasi akibat kapitalisasi kesehatan yang tak bisa dipungkiri, memang terjadi secara masif.

Hal ini bisa kita lihat dari cara berbagai otoritas memandang kesehatan. Dalam UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Adapun WHO mendefinisikan kesehatan dengan, “a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity“. Sedangkan kesehatan masyarakat dimaknai sebagai, “all organized measures (whether public or private) to prevent disease, promote health, and prolong life of the population as a whole.

Lebih lanjut, WHO memandang penting terciptanya kesehatan yang baik bagi seluruh populasi, karena merupakan “building block for sustainable economic development“.

Menjadi sehat adalah kepentingan seluruh manusia, tanpa kecuali. Namun, antar manusia berbeda dalam memandang kesehatan atau memperlakukan kesehatan. Di sinilah harus dipahami bahwa ada batas tegas yang memisahkan antara pandangan tentang kesehatan di satu sisi dan cara menjadi sehat di sisi lain.

Pandangan tentang kesehatan, meliputi kenapa harus sehat, apa yang ingin dicapai dengan kondisi sehat, siapa yang bertanggung jawab menjaga kesehatan individu dan masyarakat, serta hal-hal semacamnya ternyata sangat dipengaruhi oleh ideologi atau pandangan hidup seseorang.

Ketika kapitalisme yang memandang segala hal dari sudut pandang kepentingan ekonomi para kapitalis dijadikan dasar dalam memandang kesehatan, maka sudah tentu seluruh aspek kesehatan yang menjadi turunannya juga terkena dampaknya. Lihatlah definisi sehat dalam UU Kesehatan No. 36 tahun 2009,

“…. produktif secara ekonomis”. Bahkan, WHO pun memandang bahwa pentingnya kesehatan sebatas untuk “building block for sustainable economic development

Dalam memandang kebutuhan manusia, termasuk kesehatan, kapitalisme menganggap bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas sedangkan sarana pemenuhan kebutuhan tersebut terbatas. Dengan ini, kapitalisme menganggap wajar jika terjadi persaingan dalam memperebutkan sarana pemenuhan kebutuhan. Wajar pula jika sebagian orang tidak terpenuhi kebutuhannya karena kalah dalam persaingan.

Lantas, bagaimana mekanisme distribusi sarana pemenuhan kebutuhan yang terbatas itu? Tentu saja dengan harga.

Orang yang mampu mengendalikan dan membayar harga lah yang akan memenangkan persaingan dan mendapatkan sarana pemenuhan kebutuhannya. Maka sangat wajar, jika muncul anekdot, “orang miskin dilarang sakit”, fenomena pengelolaan BPJS yang terus menimbulkan kontroversi, serta ramainya masyarakat yang menggunakan pengobatan yang melawan “mainstream” dunia kedokteran. Semua hal ini adalah buah dari sistem kapitalisme itu sendiri.

Hal yang sama juga tak jauh dengan apa yang terjadi hari ini, ketika wabah COVID-19 terjadi secara masif di seluruh dunia. Berbagai negara mencoba menghentikannya, seperti dengan menutup berbagai akses terhadap tempat umum dan keramaian. Sekolah, stadion, tempat wisata. bahkan mall pun sepi. Namun, yang menjadi motif utama tindakan ini bukanlah kesehatan itu sendiri, melainkan menjadi sehat agar dapat kembali produktif dan menghidupkan sektor bisnis, sehingga pertumbuhan ekonomi pun tidak terganggu.

Anehnya, dibandingkan dengan “wabah” lain yang jauh lebih berbahaya dan masif, sebutlah rokok, perlakuan serupa tidak dilakukan. Tentu saja alasannya sederhana, karena rokok masih berkontribusi besar atas penghasilan negara, sedangkan COVID-19 bersifat sebaliknya. Maka dapat kita lihat, bahwa ada sebuah kontradiksi besar yang terjadi akibat pertimbangan keuntungan para kapitalis.

Berlawanan dengan kapitalisme, Islam memandang bahwa sumber daya atau sarana pemenuhan kebutuhan manusia pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan itu terbatas, sedangkan keinginan lah yang tidak terbatas. Hal ini karena Allah telah menjamin dalam surat Hud ayat 6, Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya.”

Yang menjadi masalah hanyalah bagaimana sarana pemenuhan kebutuhan tersebut terdistribusi sedemikian rupa sehingga seluruh orang dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dengan layak. Dan Islam membebankan tugas ini kepada negara.

Adapun terkait cara menjadi sehat, itu adalah ilmu yang objektif. Siapa pun yang mengkajinya – terlepas apa pun ideologinya, bagaimana pun dia memandang kehidupan, dari mana pun asalnya, baik dia muslim ataupun kafir – akan menemui fakta yang sama, kesimpulan, serta pemahaman yang juga sama. Itulah kenapa, disebutkan bahwa dalam dunia sains, tidak terdapat ikhtilaf. Ikhtilaf hanya terdapat dalam funia fiqh, sedangkan dalam sains yang ada hanyalah kemungkinan belum dipahami sepenuhnya. Maka, tidak ada halangan sedikit pun bagi kita untuk mengikuti petunjuk cara menjadi sehat dari mana pun. Asalkan telah terbukti validitasnya.

Bahkan Rasulullah pun tak segan menginstruksikan kaum muslimin untuk berobat pada dokter kafir, yakni Al-Harits bin Kaldah. Dia adalah dokter pada masa jahiliyah yang hidup pada masa kenabian. Meski bukan seorang muslim, Nabi menginstruksikan kepada umat Islam yang sakit untuk berobat kepadanya.

Realitanya, kesehatan adalah kebutuhan setiap manusia tanpa terkecuali. Semua orang berkepentingan untuk sehat, pun setiap negara berkepentingan untuk memiliki masyarakat yang sehat.

Meski berbeda tujuannya; ada yang bertujuan untuk melaksanakan perintah Tuhannya, ada pula yang bertujuan untuk melancarkan pencapaian target-target ekonomi. Pun negara berbeda cara dalam menyediakan sarana pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut; ada yang turun tangan langsung menyediakan fasilitas kesehatan terbaik dan terjangkau, ada pula yang sekadar membuka akses bagi swasta untuk berlomba menyediakan fasilitas kesehatan terbaik.

Maka, tak pernah ada satu departemen kesehatan yang menyengaja menyajikan info yang keliru tentang cara menjadi sehat. Setiap lembaga kesehatan dari negara mana pun pasti mendorong para cendekia untuk menemukan cara terbaik untuk menjadi sehat.

Hasil kajian serius para cendekia antara lain gold standar dalam mendiagnosis suatu penyakit, guideliness dalam terapi, serta first line drugs. Itulah metode diagnosis terbaik, metode terapi terbaik, dan obat-obatan terbaik untuk menjadi sehat. Sama sekali bukan penyesatan, apalagi cara depopulasi. Tidak akan ada satu negara pun yang akan bermain-main dalam menentukan gold standard, guidelines, maupun menetapkan first line drugs karena mereka pun berkepentingan untuk menciptakan masyarakat yang sehat. Terlepas apa pun motivasinya.

Jika ada yang perlu kita pandang dengan skeptis, itu bukanlah “cara menjadi sehat”nya. Melainkan semua itu disediakan bagi siapa? Siapa yang berhak mengakses obat atau pelayanan terbaik itu? Menurut Kapitalisme, yang berhak mengakses adalah yang mampu membayar harganya. Sedangkan menurut Islam, yang berhak mengaksesnya adalah siapa pun yang membutuhkan.

Maka, jangan salah bersikap! Jauhi kapitalisasi kesehatannya, bukan jauhi cara menjadi sehatnya! []

Sumber:

https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/oxjb0d335

Taqiyuddin an-Nabhani. 2001. Peraturan Hidup dalam Islam. Pustaka Fikrul Islam: Jakarta.

Taqiyuddin an-Nabhani. 2005. Sistem Ekonomi Islam. HTI Press: Jakarta.

UU Kesehatan No 36/2009

WTO Agreements & Public Health (A Joint Study by the WHO and the WTO Secretariat). 2002.

https://id.wikipedia.org/wiki/Al-Harits_bin_Kaldah

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *