SejarahUlasan Buku

Baku Hantam Karena Pancasila

Share the idea

Pantja Sila adalah rumusan jang kosong, masih membutuhkan isi. Pantja Sila akan mendjadi perwudjudan menurut orang jang akan mengisinja.

Kalau andaikata ke-Tuhanan Jang Maha Esa jang tertjantum pada sila pertama didalam Pantja Sila itu diisi oleh orang atau golongan jang mengakui bahwa bahwa Tuhan adalah batu, maka keTuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi batu. Kalau diisi oleh orang atau golongan jang memper-Tuhankan pohon, ke-Tuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi ke-Tuhanan pohon…”

Memang sesungguhnja Saudara Ketua, unsur-unsur Islam bagi hidup dan penghidupan manusia tidak sadja mempunjai sjarat-sjarat dunia modern, tetapi djuga sudah diakui dunia bahwa Islam itu bukan semata-mata agama dalam arti ibadat sadja, tetapi suatu “way of life”, suatu djalan hidup.

Islam mempunjai sumber dan dasar jang kokoh, tjara pengolahan pelaksanaan hukum-hukumnja tjukup mempunjai djiwa progresif, tetapi Pantja Sila; dimana pengambilan sumber-sumber hukumnja, bagaimana tjara pengolahannja dan pelaksanaannja?

Bagi saja dan fraksi saja, Fraksi Nahdlatul Ulama, Pantja Sila tidak menggambarkan soal-soal jang telah saja gambarkan diatas. Apakah memang begitu sifat dan wudjudnja Pantja Sila?”

Demikianlah, secuplik pidato dari K.H, Masjkur, selaku perwakilan fraksi Nahdlatul Ulama dalam Sidang Konstituante (1956-1959).

Baku hantam pemikiran yang mendebat dasar negara Indonesia itu, memang mempertemukan tiga kubu berbeda prinsip dalam satu forum:

  1. Faksi Islam yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara (meliputi NU, Masjumi, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dll)
  2. Faksi Pancasila yang yakin 100% bahwa Pancasila sebagai ideologi terbaik (meliputi PKI, PSI, PNI, Partai Kristen, dll)
  3. Dan faksi sosial-ekonomi, yang mengajukan Ekonomi Sosialis dan Demokrasi sesuai pasal 1 dan pasal 33 UUD 1945.

Berbagai pidato dari sidang panas tersebut, kemudian dibukukan langsung oleh Wilopo, ketua Konstituante periode 1955-1959.

Hari ini, kita bisa menemukannya dalam “buku babon” 3 jilid, dengan judul, “Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante”

Arsip-arsip langka yang jarang diungkap ke publik ini, di marketplace memang hanya ada 2 kemungkinan: dibanderol mahal, atau habis.

Arsip 3  jilid buku “Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante” milik pengurus KLI

Uniknya, dahulu para ulama sangat teguh memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, menolak tegas Pancasila, bahkan memisahkan golongan pembela Islam dengan pembela Pancasila; sebagai simbol bahwa kedua golongan itu memang memiliki prinsip yang berbeda.

Namun, hari ini kita justru menemukan fakta sebaliknya. Selain dianggap sakti, Pancasila juga dianggap sebagai harga mati.

Moh. Natsir (Masyumi), menganggap Pancasila sebagai “La Diniyah”, netral agama, alias sekular. K.H. Masjkur (Nahdlatul Ulama), menganggap Pancasila sebagai rumusan yang kosong. Buya Hamka (Masyumi), menganggap Pancasila sebagai jalan menuju Neraka.

MENGAPA BISA DEMIKIAN?

MENGAPA SIKAP DAN PEMIKIRAN PARA ULAMA BISA BERUBAH?

BERDASARKAN SUMBER PRIMER, KLI AKAN MEMBERIKAN JAWABANNYA SECARA GRATIS.

Jawabannya, tentu tak sesederhana dinasakhnya qaul qadim dengan qaul jadid pada Muktamar NU 1984. Sebab, “para ulama” di sini tak hanya meliputi NU, dan dibutuhkan kajian filosofis agar bisa memahami dinamika perang pemikiran dan ideologi di negeri ini.

Simak di dalam KLI Lite Talk “Baku Hantam Karena Pancasila: Dulu Menolak, Kenapa Para Ulama Saat Ini Justru Menolak Pancasila?”

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *