PolitikSejarah

Bangsa yang Terjebak dengan Masa Lalu

Share the idea

Ada sebuah kisah menarik yang terjadi sebelum Masjid Aya Sofya diubah menjadi museum. Rasyid Ghalib, dokter pribadi Mustafa Kemal mengungkap dialognya dengan sang Ataturk,

“Ataturk meminta pendapatku tentang Aya Sofya. Tadinya aku mengira bahwa Ataturk ingin agar aku menceritakan nilai sejarah dan arsitektur yang terkandung dalam bangunan ini. Untuk itu, aku jelaskan kepadanya bahwa aku tidak memiliki data yang cukup tentang itu semua. Tiba-tiba Ataturk menyela, “Bukan itu maksudku, wahai Rasyid Ghalib. Apa pendapatmu tentang Aya Sofya sebagai masjid?”

Aku tetap tidak paham maksud ucapannya itu sampai kemudian dia membeberkan pemikirannya, “Sepanjang perjalanan sejarah, tempat ibadah ini menjadi ajang perdebatan berbagai macam ideologi. Di masa kekuasaan Byzantium, dia menjadi tempat bagi banyak pemuka agama untuk melangsungkan perdebatan monumental dengan para pendeta. Di tempat itu pula sebagian pendeta terkemuka dan berjiwa pejuang meludahi muka para penguasa diktator yang disaksikan oleh rakyat. Di situ pula, Muhammad al-Fatih merayakan kemenangan dan keberhasilannya menguasai Istanbul dan melakukan shalat pertama setelah menjadi penguasa Istanbul. Sesungguhnya Aya Sofya adalah tempat ibadah yang terkenal di seluruh dunia.”

Ketika pembicaraan Ataturk sampai di sini, tiba-tiba dia berkata kepadaku, “Bukankah Aya Sofya juga menjadi tempat yang tepat untuk memperdebatkan pemikiran-pemikiranmu tentang Islam?”

Sesaat aku tertegun sambil berpikir, aku terbayang bagaimana saat itu aku berdiri di atas mimbar dengan memakai jubah hijau. Harus kuakui, bahwa sebenarnya aku tidak punya nyali untuk melakukannya.

Tampaknya Ataturk memahami apa yang ada di benakku. Ia berkata, “Kita kumpulkan seluruh ulama di Istanbul dan kita umumkan kepada seluruh masyarakat agar hadir di sana. Kita letakkan pengeras suara di masjid agar orang-orang yang tidak bisa masuk dapat mendengarnya, kemudian mulailah engkau mempresentasikan pemikiran-pemikiranmu dan berdebat dengan ulama, sedangkan masyarakat menjadi hakimnya.”

Raghib Ghalib kemudian melanjutkan, “Aku tegaskan bahwa aku sangat yakin dengan pemikiran-pemikiranku, namun yang aku khawatirkan adalah suasana akan berubah dari perdebatan intelektual menjadi kekerasan. Keadaan ini bisa menodai pemikiran kita.” Beberapa orang di sekelilingnya juga menasihati sang Ataturk, “Rencana ini tidak boleh dilaksanakan, karena kita tidak tahu sejauh mana reaksi yang akan muncul. Sebaiknya kita jangan membangkitkan kembali kaum tradisionalis.”

Mustafa Kemal membayangkan sebuah perhelatan perang intelektual dengan Aya Sofya sebagai panggungnya. Tentu saja, tokoh-tokoh yang tampil adalah orang-orang yang sejalan dengan pemikirannya, seperti Rasyid Ghalib yang menjadi sosok kepercayaan Mustafa karena pemikirannya yang pro-Barat dan revolusioner.

Namun, ini bukan pekerjaan mudah. Meski kondisi internal umat Islam saat itu sudah mengalami kemunduran yang demikian parah, akan tetapi orang-orang di sekitar Ataturk justru memprediksi terjadinya berbagai penentangan, dengan kalangan “tradisionalis” sebagai musuh utamanya.

Beberapa pertimbangan tersebut cukup mempengaruhi Kemal, sehingga tidak cukup berani meneruskan rancananya. Alih-alih menimbulkan keributan, Kemal lebih memilih untuk langsung menghancurkan Islam dari akarnya melalui pemisahan Islam dari setiap lini kehidupan (sekularisme) yang saat itu masih ditopang oleh Khilafah sebagai satu-satunya institusi politik umat Islam.

Pasca menghapuskan Khilafah, Ataturk mengeluarkan perintah agar mengubah fungsi Aya Sofya dari masjid menjadi museum sebagai sebuah upaya penghapusan karakteristik pembebasan Islam dari bangsa Turki, setelah sebelumnya melakukan hal serupa melalui pemindahan ibukota dari Istanbul ke Ankara. Perubahan fungsi Aya Sofya ini juga dianggap sebagai simbol kemenangan Islam atas tentara Salib, serta pengorbanan terbesar kedua yang dipersembahkan kepada seluruh negara Kristen setelah pengkhianatan yang menghapus sistem Khilafah.

Hari ini, Aya Sofya memang telah kembali berfungsi sebagai masjid. Terlepas dari adanya kepentingan politik di balik keputusan tersebut, tentu kebijakan ini harus disyukuri. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, “Lantas, apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh umat Islam?”

Ada baiknya jika kita mengambil hikmah atas buah pemikiran Snouck Hurgronje ketika memberi rekomendasi strategi kepada pemerintah Belanda untuk menghadapi umat Islam di Indonesia, “Dalam bidang agama, Pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan kepada umat Islam Indonesia untuk menjalankan agamanya sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah, menggalakkan asosiasi dalam bidang kemasyarakatan, dan menindak tegas setiap faktor yang bisa mendorong timbulnya pemberontakan dalam lapangan politik”.

Rasa frustasi para penjajah dalam menghadapi umat Islam, pada akhirnya membawa mereka untuk mengambil kebijakan “Islam Politiek” yang digagas oleh Snouck.

Snouck yang berhasil membagi ajaran Islam ke dalam tiga dimensi (bidang agama murni/ibadah, bidang sosial kemasyarakatan dan bidang politik) ini kemudian menyatakan bahwa muslim yang hanya menggeluti ibadah murni tidaklah berbahaya, sehingga Belanda direkomendasikan untuk memberi kebebasan kepada mereka untuk melaksanakan ajaran agamanya. Sedangkan dalam dimensi politik, pemerintah Belanda wajib menindak tegas, bahkan memusnahkan eksistensi mereka dari dunia.

Terjebak dalam euforia tentu bukan pilihan terbaik. Berfokus dengan “ibadah murni” tanpa diiringi kebangkitan pemikiran umat Islam hanya akan membuat kita menjadi bangsa yang terjebak romantisasi masa lalu dan tidak melangkah ke mana pun, sehingga beralihnya museum menjadi masjid hanya menjadi sebuah seremonial simbolik yang sia-sia. Karena sejatinya, sekularisme yang menjadi masalah utamanya masih dijadikan pegangan oleh para penguasa negeri-negeri Islam.

Maka, benarlah apa yang disampaikan oleh @mk_mahmutkar,

 Muhammad al-Fatih menjadikannya masjid sebagai simbol penaklukan. Kemudian para pengkhianat meruntuhkan kekhilafahan lalu mendirikan Republik sekular dan mengunci pintunya. Hari ini, #AyasofyaCamii dibuka kembali dan kaum muslim pun berbahagia. Namun, kami akan merayakan kemenangan sejati dimana ketika kekhilafahan menang atas Republik sekular ini. Karena di saat itulah, kebaikan akan menaungi seantero negeri bahkan hingga ke Barat.

Sumber:

Abuddin Nata. 2005. “Christiaan Snouck Hurgronje”. Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Islam jilid 6/ editor bahasa , Nina M.Armando et.al. Ichtiar Baru van Hoeve: Jakarta.

Dhabith Tarki Sabiq. 2008. Kamal Attaturk: Pengusung Sekulerisme dan Penghancur Khilafah Islamiah. Senayan Publishing: Jakarta.

Erik Jan Zürcher. 2003. Sejarah Modern Turki. Penerbit Gramedia: Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *