Belajar dari Iklim Literasi di Masa Khilafah Utsmani
Selalu ada korelasi antara perkembangan keilmuan dengan bangkitnya sebuah peradaban. Kegemaran pada keilmuan layaknya bahan bakar sebuah peradaban, baik bagi masyarakat maupun penguasanya.
Itulah yang diceritakan oleh Miri Shefer Mossensohn (peneliti sejarah di Tel Aviv University) dalam bukunya yg berjudul, “Science Among the Ottomans” (2015).
Sebagai sebuah representasi keilmuan, buku menjadi bagian yang dekat dengan masyarakat Utsmani. Disampaikan, “Ottomans, especially elites, consumed books“. Bahkan, ditambahkan, “the ottomans elites as bibliophiles with varied interested“.
Buku menjadi hal yang tak terceraikan dengan masyarakat utsmani. Bahkan, buku menjadi sebuah penanda sosial kala itu. Bukan kekayaan, bukan pula strata sosial lainnya. Luar biasa!
“This community bought books, borrowed books from libraries, and circulated books. However, books were rendered most valuable by their use as object with social functions”.
Di tengah kondisi dan pencapaian tersebut, apakah tingkat literasi masyarakat zaman khilafah Utsmani tinggi? Memang, data kuantitatif atas hal ini pun belum ditemukan. Namun, laporan para traveler Eropa justu menunjukkan, “a quarter of empire urban population was literate“.
Meski tingkat literasi di wilayah pusat dan daerah mengalami perbedaan, namun semangat berliterasi tumbuh subur, khususnya di kalangan pemuda.
Gambaran peradaban yang dekat dengan keilmuan begitu terasa di masa Khilafah Utsmani. Namun, apakah hanya Khilafah Ustmani saja?
Oh, tentu tidak.
Dalam buku ini, penulis justru menjelaskan, bahwa semua hal itu merupakan sumbangan berharga dari Khilafah di masa-masa sebelumnya.
Apa yang terjadi dengan Khilafah Utsmani tersebut, mencerminkan sebuah potret tradisi intelektual yang dengan sungguh-sungguh dibangun oleh Islam.
Berawal dari sebuah tuntutan keagamaan, “iqra!“, yang pada gilirannya menyusur nadi dan membangkitkan intelektualitas masyarakat. Ditambah dengan dukungan negara, tak ayal jika hal ini menjadi sebuah tradisi yang begitu mengakar di tengah masyarakat. Bahkan sulit kiranya untuk memisahkan, apakah ini peran Islam atau peran Khilafah Utsmani maupun Abbasiyyah itu sendiri.
Whats next?
Memang benar, bahwa dulu peradaban Islam berkembang pesat sedemikian rupa. Dan memang benar, bahwa kita pun wajib tahu dan sadar bahwa dulu kita sedemikian itu.
Namun, berhenti pada romantisme sejarah jelas takkan menggerakkan bandul peradaban. Peradaban itu tidaklah dibangun oleh individu, melainkan dibutuhkan sinkronasi peran dengan masyarakat maupun negara.
Kiranya kita perlu terus berintrospeksi diri, khususnya bagi para pemuda dan pemudi sebagai representasi kondisi umat Islam di masa depan
Sudah sebesar apa usaha kita untuk mendekatkan diri dengan buku? Sudah sejauh mana kita berusaha mendekatkan diri dengan ilmu? Sudah sejauh mana kita berlelah-lelah bahkan begadang untuk belajar demi memahami satu persoalan? Sudah sejauh mana kita sadar akan pentingnya posisi diri, ulama, maupun ilmuan atas kemajuan peradaban Islam tersebut?
Akhir kata, tak lelah diri ini mengingatkan. “Sudah baca buku apa hari ini?”
Judul Buku: Science Among The Ottomans
Penulis: Miri Shefer Mossensohn
Penerbit: University of Texas Press
Cetakan: 2015