Belajar dari Sosok dan Sistem Kepemimpinan Dua Umar
Penulis : Ahmar Hanifah
Atas bimbingan dan izin Allah, Rasulullah berdoa agar Islam diteguhkan di antara dua Umar, yaitu Umar bin Hisyam (dikenal sebagai Abul Hakam di kalangan Quraisy dan Abu Jahal di kalangan Muslim) dari Bani Makhzum dan Umar bin Khattab dari Bani Adiy. Sebagaimana yang masyhur, Umar bin Khattab kembali ditunjuki oleh Allah melalui bacaan Qur’an Khabbab bin Al-‘Arats. Dengan kelembutan hati dan kecerdasannya, Umar merenungi kalimat-kalimat yang terdapat di surat ThaHa dan memantapkan diri untuk menjadi salah satu penolong agama Allah.
Saat itu pula, Umar meminta untuk diantarkan kepada sang Nabi. Khabbab pun menyeru, “Berbahagialah kau, wahai Umar, saya harap, doa Rasulullah pada malam Kamis yang lalu adalah untukmu,” begitulah Umar menjemput hidayah dan taufik. Bagaimanapun sifat dan karakter manusia, jika hati mereka sudah dibimbing oleh Allah, maka atas izin-Nya ia akan menjadi lembut dan dengan lapang dada menerima Islam.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sesungguhnya masuk Islamnya Umar bin Khattab adalah penaklukkan. Hijrahnya adalah kemenangan. Dan pemerintahannya adalah rahmat. Pada awalnya kita tidak berani shalat di samping Ka’bah hingga Umar bin Khattab masuk Islam. Ketika ia masuk Islam, ia melawan orang-orang Quraisy hingga ia berhasil shalat di samping Ka’bah dan kami ikut shalat bersamanya.”
Mendengar kabar bahagia mengenai keinginan Umar untuk masuk Islam, membuat Rasulullah bersama para sahabat yang berada di Darul Arqam bertakbir. Bagi umat Islam, masuk Islamnya Umar yang hanya berselang tiga hari dari masuk Islamnya Hamzah ini adalah pertolongan Allah yang telah lama dinantikan.
Ketika dukungan terhadap Islam semakin bertambah kuat, diiringi dengan turunnya perintah Allah untuk menampakkan dakwahnya secara terang-terangan (sebagaimana yang termaktub dalam QS Al-Hijr ayat 94-96), maka kaum muslimin keluar dalam dua rombongan menuju Masjidil Haram. Satu barisan dipimpin oleh Hamzah dan satu lagi bersama Umar. Melihat fenomena itu, orang-orang Quraisy hanya dapat terdiam dan menonton dengan wajah sendu. Tak ada yang berani mendekati kedua rombongan yang di dalamnya ada dua tokoh yang melambangkan keperkasaan dan kekuatan itu. Dari peristiwa ini, Rasulullah pun menggelari Umar bin Khattab dengan Al-Faruq, karena ia memelopori ditampakkannya Islam secara terang-terangan yang menjadi pembeda antar haq dan bathil.
Dari sini, semua fakta sejarah ini memperkuat kecerdasan dan sifat bijak Umar bin Khattab, bahkan sebelum ia menjadi amirul mu’minin. Keberanian dan komitmen penuhnya terhadap Islam juga ditunjukkan melalui sikapnya yang tanpa ragu mendatangi kelompok-kelompok Quraisy demi mendeklarasikan bahwa dirinya sudah masuk Islam.
Pada masa pemerintahannya sebagai khalifah, ia selalu membuat perjanjian pada siapapun yang akan menjadi gubernur atau walinya, seperti tidak menggunakan kendaraan, tidak mengonsumsi makanan “kelas atas”, tidak memakai baju yang lembut dan empuk, juga tidak menutup pintu rumahnya agar tidak menyulitkan urusan-urusan orang dengannya.
Menyimak pengaduan dan melayani umat dengan baik adalah prioritasnya, termasuk pengaduan beberapa wanita tentang hak penyusuan, mahar, bahkan rumah tangga. Totalitasnya dalam mengurusi urusan umat membuatnya sering terlihat letih dan pingsan, tentu saja tanpa pencitraan. Air matanya senantiasa mengalir ketika berkhalwat dengan Rabbnya, hingga menimbulkan bekas di wajahnya yang menghitam, karena teringat atas bersarnya tanggung jawab di akhirat jika lalai dalam mengurusi umat.
Umar bin Khattab memiliki anak bernama ‘Ashim yang kelak akan mencetak generasi Umar selanjutnya, yaitu Umar bin Abdul Aziz. Sekitar empat puluh tahun kemudian, cicit Umar bin Khattab ini diamanahi jabatan Khalifah dalam kekhilafahan Bani Umayyah.
Walaupun berasal dari Bani Umayyah, ia masih memiliki nasab yang dekat dengan Umar Bin Khattab. Neneknya adalah gadis penjual susu yang jujur yang kisahnya masyhur di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Nasab atau garis keturunan ini, sedikit-banyak mempengaruhi watak dan karakter Umar bin Abdul Aziz, sehingga semakin menyempurnakan kepemimpinan sholeh sebagai cerminan dari wujud Islam rahmatan lil ‘aalamiin.
Malik bin Dinar berkata, “Takala Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah, para penggembala domba dan kambing bertanya, “Siapa orang shaleh yang kini menjadi khalifah umat ini? Keadilannya telah mencegah serigala-serigala untuk memakan domba-domba kami.”
Begitulah penguasa seharusnya menjamin kesejahteraan penduduknya. Tidak hanya manusia, bahkan binatang buas pun takluk karena keadilan dan kepemimpinannya. Tak heran, jika siapa saja yang mencintai dan meneladani kepemimpinan Rasulullah, maka ia akan memiliki karakter dan rasa kepedulian seperti yang dicontohkan sang Nabi.
Kepemimpinan dari kedua Umar ini, tentu tak dapat dibandingkan dengan apa yang kita lihat di zaman ini. Sedih memang, namun kenyataan ini haruslah diakui. Kepemimpinan dan kepengurusan atas kebutuhan masyarakat terlihat karut marut, penghidupan yang sempit, bahkan kezaliman juga terjadi di mana-mana, menunjukkan cobaan dan penderitaan yang silih berganti dari waktu ke waktu. Sampai kemudian, Allah pun “mengazab” melalui wabah yang tak kasat mata. Kepiluan dan kelaparan pun bukan hanya dirasakan oleh binatang buas, tapi juga manusia. Bahkan tak jarang kita temui, manusia yang kemudian berubah menjadi buas – dan bahkan lebih buas dari binatang buas itu sendiri.
Menganggap diri mencintai Rasulullah saja tidak cukup. Semua itu harus diiringi bukti tanpa mengumbar berbagai janji yang sejak awal tak bisa ditepati.
Pemimpin sejati adalah yang dicintai rakyatnya, dan ia pun mencintai mereka.
Dan tentu saja, kepemimpinan sang penguasa yang shaleh ini hanya bisa termaksimalkan dalam sistem yang juga shaleh. Wallahu a’lam.[]
Sumber:
Ibnu Hisyam. 2016. Sirah Nabawiyah Jilid 1. Darul Falah: Bekasi.
Imam As-Suyuthi. 2015. Tarikh Khulafa. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2017.Sur’atul Badihah. Al-Azhar Press: Bogor