Benarkah Khilafah Menjadi Penyebab Konflik Suriah?
Khilafah, seringkali dituding sebagai penyebab konflik di Suriah: sebuah konflik mengerikan yang tak boleh terjadi juga di Indonesia. Namun, benarkah tudingan itu? Pembacaan kita lebih lanjut atas berbagai jurnal, berita, maupun sumber literatur lainnya justru menunjukkan sebaliknya.
- Maraknya Kasus Kemiskinan dan Korupsi
Reformasi ekonomi yang diinisiasi oleh al Assad dalam rangka stabilitas ekonomi dan menguatkan sektor privat di internal negaranya justru berdampak pada tingginya tingkat pengangguran dan terkonsentrasinya kapital pada segelintir orang saja, sehingga terjadi kesenjangan pendapatan yang begitu tinggi.
Memang terjadi peningkatan persentase investasi terhadap GDP di masa pemerintahan al Assad, yakni dari 17% di awal masa pemerintahannya (2000) yang melonjak hingga 23% di tahun 2007. Namun peningkatan nilai investasi tersebut sebagian besar berkutat dalam sektor non-riil sehingga tidak berdampak pada peningkatan lapangan kerja bagi rakyat Suriah. Sebaliknya, sektor yang banyak menyerap tenaga kerja justru mengalami penurunan, seperti sektor pertanian yang di tahun 2000 sebesar 16% menjadi hanya 9% di tahun 2007. Demikian juga yang terjadi dalam sektor industri riil yang bergerak pada bidang produksi barang dan jasa.
Akumulasi masalah ekonomi yang semakin diperparah dengan tingginya tingkat korupsi ini memicu berbagai demonstrasi sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap pemerintah.
- Aksi Represif Rezim Terhadap Rakyat
Suriah sesungguhnya tidak asing dengan konfrontasi militer. Hafez al Assad yang merupakan ayah dari Bashar al Assad – yang menjadi penguasa saat ini – berhasil merebut takhta melalui kudeta militer terhadap pemerintahan Saleh Jadid di tahun 1970. Naiknya Bashar sebagai Presiden Suriah pada tahun 2000 menggantikan ayahnya yang meninggal dunia, tidak kemudian menihilkan pergolakan rakyat atas kekuasaan tiran al Assad ini.
Baik Hafez maupun Bashar al Assad memerintah dengan “tangan besi” dan tidak menghendaki adanya aktor-aktor yang menentang dirinya. Maka setiap gerakan perlawanan terhadap otoritasnya, akan diberangus oleh sang diktator.
Di sisi lain, fenomena “Arab Spring” sebagai sebuah gelombang revolusi yang menghendaki lengsernya pemimpin-pemimpin Arab yang telah berkuasa puluhan tahun juga ikut mempengaruhi situasi dalam negeri Suriah. Salah satu bentuk perlawanan masyarakat atas rezim al-Assad diekspresikan oleh Sekelompok bocah berusia 9-15 tahun yang menuliskan grafiti di dinding sebuah sekolah di kota Dara’a yang bertuliskan “The Government must go!”. Para bocah kemudian ditahan dan disika, hingga salah satu dari bocah tersebut meninggal dunia dan mayatnya di letakan begitu saja di pinggir jalan. Penduduk kota pun merespon dengan menggelar aksi demonstrasi. Namun, pemerintah menanggapi demonstrasi tersebut dengan membunuh ratusan demonstran dan juga menangkap yang lainnya.
Melihat realita ini, sebagian dari para penentang Assad serta kalangan militer yang membelot kemudian bertransformasi menjadi kelompok pemberontak bersenjata, seperti Free Syrian Army/Tentara Pembebasan Rakyat Suriah (FSA). Sejak FSA berdiri, para kelompok oposisi bukan lagi melakukan perlawanan dengan aksi demostrasi, melainkan mulai angkat senjata bersama FSA untuk menumbangkan kekuasaan al Assad di Suriah.
- Campur Tangan Kepentingan Politik Berbagai Negara Hingga Isu Sekte dan Agama
Kehadiran Amerika Serikat, Rusia, Jerman, bahkan negeri Muslim lain seperti Turki, Arab Saudi, Lebanon, dan Iran dalam kancah konflik Suriah ini semakin memperkeruh masalah. Negara-negara tersebut tidak benar-benar murni ingin menyelesaikan konflik yang terjadi, karena justru mereka membawa kepentingan pragmatis masing-masing. Di bawah dalih “memerangi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme” serta “demokratisasi dan memunculkan penguasa yang inklusif”, mereka tidak segan-segan meluncurkan bom dan menembakkan peluru mereka kepada rakyat sipil Suriah.
Begitu pula dengan aktor internal. Banyaknya kelompok-kelompok bersenjata di sana juga menambah kompleksitas konflik Suriah ini. Fragmentasi kelompok-kelompok oposisi di internal Suriah juga berbagai macam, mulai dari yang sekuler-moderat yang fokus untuk menumbangkan rezim Assad, hingga yang Islam dengan agenda untuk menerapkan syariah serta menegakkan Khilafah.
Banyaknya aktor yang terlibat di sana membuat perang di Suriah secara bertahap akhirnya bertansformasi menjadi perang yang bersifat asimetris (sering disebut juga sebagai “proxy war”).
Berbagai kepentingan juga sangat bermain di sana, mulai dari kepentingan minyak dan gas, hegemonik, mempertahankan kekuasaan keluarga al-Assad yang menganut sekte Syiah Alawiyah-Nushairiyah, menjaga dominasi politik partai Ba’ath yang beraliran sosialis, isu konfrontasi antara Syiah yang merupakan minoritas di Suriah dan Sunni yang merupakan mayoritas, hingga kepentingan untuk memperjuangkan dan menegakkan Islam.
Tak lupa, sikap para penguasa negeri kaum muslimin yang akhirnya mengikuti solusi dan skema politik yang ditetapkan oleh Barat sejatinya semakin memperparah kondisi Suriah. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru sikap hipokrit mereka yang di satu sisi memberi bantuan kemanusiaan kepada korban konflik, tapi di sisi yang lain mereka jugalah yang ikut berperan dalam menggempur dan memborbardir berbagai wilayah di Suriah akhirnya membuat semakin banyak nyawa kaum Muslimin berjatuhan.
Maka, berbagai narasi yang mengatakan bahwa Suriah yang kini porak-poranda karena konflik itu disebabkan oleh adanya politisasi agama, aksi mengkritik pemerintah, radikalisme dan ekstremisme, hingga karena ada yang menyuarakan penegakan syariah dan khilafah, tentu merupakan argumen yang berdasar pada asumsi belaka, karena bukan hal tersebut yang menyebabkan konflik di Suriah itu pecah. Apa yang terjadi di Suriah sebetulnya merupakan manifestasi dari salah satu konsep dalam ilmu sosiologi dan politik, yaitu bahwa ketidakberhasilan pemerintah dalam mengurus rakyatnya akan mampu menimbulkan kerusuhan dan kekacauan di level rakyat itu sendiri. Wallahu a’lam. []
Sumber:
Agus Herlambang. Mengurai Benang Kusut Konflik Suriah. Jurnal Transborders vol. 1.
Hafidz Abdurrahman. Kembalinya Suriah, Bumi Khilafah yang Hilang. Bogor: Al Azhar Press.
Jurnal Islam Al-Wa’ie edisi Januari 2019 “Men-Suriah-kan Indonesia?”. Jakarta: Pusat Studi Politik dan Dakwah Islam.
Muhammad Fakhry Ghafur, dkk. Problematika Kekuatan Politik Islam di Yaman, Suriah, dan Aljazair. Bandung: Pustaka Jaya.
Muhammad Shalih al-Munajjid. Karomah Negeri Syam: Menyingkap Keistimewaan Negeri Syam dan Penduduknya. Sukoharjo: Penerbit Zamzam.
Raymond Hinnebusch. Syria: Revolution from Above. New York: Routledge.
Reese Erlich. Inside Syria: The Backstory of Their Civil War and What the World Can Expect. New York: Prometheus Books.