Benarkah Kita Adalah Anak Cucu Muhammad Al-Fatih dan Sholahuddin Al-Ayyubi?
Kita, tentu sering mendengar. Bahwa kita, adalah anak cucu dari Muhammad al-Fatih, Sholahuddin al-Ayyubi, hingga Thariq bin Ziyad.
Mereka adalah sosok mulia sekaligus teladan perjuangan, yang kontribusinya sangatlah besar bagi perkembangan dakwah Islam di berbagai penjuru dunia.
Namun, kita juga tidak boleh lupa. Bahwa kita, sejatinya adalah juga anak cucu dari Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, hingga Sultan ‘Alauddin Muhammad Dawud Syah.
Memori kita atas mereka, sangatlah penting. Bukan karena nasionalisme yang terbukti memecah belah umat Islam.
Namun, pemahaman kita atas perjuangan mereka, justru menunjukkan. Bahwa, nenek moyang kita yang hebat itu, ternyata juga memperjuangkan Islam.
Mereka bahkan bangga dengannya, lantang menyerukannya, dan tentu saja jauh dari “image” bahwa mereka justru dekat dengan ajaran Hindu maupun Buddha.
Sultan Agung dari Mataram misalnya, selain pernah mengirim utusan ke Kekhilafahan Utsmani hingga mendapat gelar dari Sultan Murad IV sebagai Sultan Abdullah Muhammad Maulana Al Jawi Al Matarami, di masanya juga menjadi puncak kejayaan kesultanan Islam di Jawa sekaligus puncak Islamisasi masyarakat Jawa.
Kesultanan Mataram menguasai hampir sebagian besar Jawa, mulai dari Cirebon, Ukur (Bandung), Madura, Surabaya, Pasuruan, seluruh wilayah Bang Wetan, bahkan juga meliputi Palembang, Sukadana dan Banjar. Tak lupa, Mataram menjalin persekutuan dengan Aceh, Gowa-Tallo, dan Ternate dalam menghadapi tekanan VOC.
Itu baru Sultan Agung. Kita, tentu tak lupa dengan perjuangan Pangerang Diponegoro yang juga digelari sebagai Sultan Abdul Hamid Herocokro Kabirul Mukminin Sayyidin Panatagama Sabilullah Khalifatur Rasulillah Ingkang Jumeneng Ing Tanah Jawi As-Sani.
Beliau, secara luar biasa mampu menggelorakan Perang Jawa selama 5 tahun. Pasukan Pangeran Diponegoro yang ditata layaknya Jannissary ‘Utsmani itu, mampu memberi dampak besar pada Belanda, termasuk jumlah korban penjajah yang diperkirakan mencapai 15 ribu serta kerugian finansial hingga 20 juta gulden.
Perang paling besar di Jawa ini, tentu saja tidak terjadi hanya karena ribut-ribut masalah makam dan jalan.
Perjuangan yang tak kalah impresif, ternyata juga terjadi di ujung Sumatera, Aceh. Kesultanan Aceh Darussalam bersitegang dengan tingkah pongah Pemerintah Kolonial Belanda yang menaklukkan satu per satu kesultanan-kesultanan yang berada dalam patronase Aceh, mulai dari Sumatera Selatan sampai ke Sumatera Utara.
Perang urat syaraf itu akhirnya memuncak ketika Belanda mengultimatum Aceh untuk berperang secara terbuka pada tahun 1873, mengawali sebuah kisah 30 tahun perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda yang baru mampu diakhiri pada 1903. Sultan ‘Alauddin Muhammad Dawud Syah, sultan terakhir kesultanan Aceh, berkontribusi sangat besar dalam peperangan tersebut, termasuk dalam permintaan bantuannya kepada Khalifah ‘Utsmani saat itu, Sultan Abdul Hamid II.
Beberapa fakta tersebut, selain membantah anggapan penjajahan Belanda selama 350 tahun (karena masih banyak Kesultanan Islam yang merdeka dan tidak berada di bawah penguasaan Belanda, termasuk Kesultanan Aceh yang baru takluk pada 1903), juga membuka satu tabir yang selama ini memang jarang dibahas.
Yaitu, relasi antara Khilafah dengan negeri ini. Bahwa, Khilafah ternyata tidak tertolak. Ia, bahkan berjasa bagi perkembangan dakwah dan eksistensinya terus diperjuangkan.
Jejak itu ternyata terus ada, termasuk di masa penjajahan Belanda hingga masa keruntuhan ‘Utsmaniyah.
Relasi antara Hindia-Belanda dengan Khilafah di masa penjajahan Belanda, dibahas dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda” karya Nicko Pandawa. Buku ini, merupakan hasil penelitiannya selama bertahun-tahun, dan mampu memberikan catatan kaki yang lengkap hingga 891 buah.