Berakhirnya Perjuangan Khilafah di “Indonesia”
Tulisan ini merupakan tulisan ketiga dari rangkaian artikel dengan subtema: “Perjuangan Khilafah di Masa Pra-Kemerdekaan”
Tidak lama setelah kongres tersebut, terdengar kabar bahwa Kongres Kairo ditunda satu tahun ke depan, yang disusul dengan undangan Kongres yang akan diadakan di Mekkah. Beberapa perdebatan muncul dalam menyikapi undangan yang kedua ini. Sebagian besar suara menginginkan untuk terlibat dengan Kongres Mekkah, dengan didasari berbagai pendapat, termasuk ide bahwa Khilafah haruslah berada di Mekkah.
Pada awal 1925, Ibnu Sa’ud yang kala itu menjadi penguasa Mekkah, mengumumkan niatnya untuk menyelenggarakan Kongres dunia Muslim di Mekkah. Sebelumnya, dalam perang Hijaz Ibnu Saud berhasil mengusir Syarif Husein dari Mekkah. Dengan kemenangan Ibnu Saud ini, baik Mekkah maupun Kairo berebut kedudukan khilafah.
Undangan dari Ibnu Sa’ud tersebut menjadi topik pembicaraan dalam Kongres Al-Islam keempat di Yogyakarta dan kelima di Bandung. Kedua kongres ini didominasi oleh golongan pembaharu. Pada Kongres keempat, friksi yang ada sebelumnya semakin muncul kepermukaan. K. H. Abdul Wahab, juru bicara golongan tradisional, mengusulkan kepada kongres untuk mengirim delegasinya ke Mekkah untuk menjumpai Ibnu Saud supaya memberi toleransi mazhab dan praktek tradisional. Atas usulannya tersebut, K.H. Abdul Wahab mendapatkan respon yang membuatnya kecewa. Banyak kalangan pembaharu segan datang untuk membela praktek keagamaan yang mereka sendiri menentang. Oleh sebab itu golongan tradisional merasa Kongres Al-Islam sudah tidak memiliki kegunaanya lagi untuk mereka.
K.H. Abdul Wahab selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan rapat kalangan ulama golongan tradisional. Mereka bersepakat untuk mendirikan suatu panitia yang disebut Komite Hijaz. Komite ini kemudian diubah menjadi Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya pada 31 Januari 1926.
Sebagai ganti atas Kongres Kairo yang dibatalkan, Indonesia mengirim delegasi pada Kongres di Mekkah yang diadakan pada 1 Juni 1926. Selama kongres berlangsung, delegasi Indonesia ini tidak memberi kesan bagi peserta kongres yang lain dan tidak pernah angkat bicara. Bahkan Tjoroaminoto yang dikenal orator ulung di Indonesia tidak paham bahasa Arab. Untuk menghindari timbulnya berbagai masalah, Kongres Mekkah ini tidak menyinggung persoalan-persoalan politik. Dalam surat kawat yang dikirim dari Mekkah, Tjokroaminoto menyatakan bahwa kongres yang diikutinya itu hanya berusaha meningkatkan derajat umat Islam. Kongres juga membuat rumusan tata-tertib untuk kongres berikutnya. Oleh karena itu kongres gagal menuntaskan persoalan khilafah.
Laporan delegasi Indonesia dalam Kongres Mekkah kemudian disampaikan dalam Kongres Al-Islam keenam pada 23 September di Surabaya. Diputuskan pula dalam kongres ini untuk menggabungkan Kongres Al-Islam dengan Kongres Islam Sedunia di Mekkah, sehingga menjadi cabang Hindia Timur. Nama Kongres Al-Islam kemudian diubah menjadi MAIHS (Mu’tamar al-‘Alam al-Islami far’ al-Hindiyya al-Syarqiyyah).
Hasil ironis muncul setelah kongres tersebut. Pengiriman delegasi ke Mekkah yang antara lain bertujuan untuk berpartisipasi dalam mewujudkan persatuan dunia Islam justru telah membawa dampak yang tidak baik bagi persatuan umat Islam di Indonesia. Dampak yang pertama adalah retaknya hubungan antara golongan tradisional dan golongan pembaharu. Golongan tradisional merasa aspirasi mereka tidak terwakili pada Kongres Al-Islam keempat dan kelima. Kekecewaan kemudian membuat golongan tradisional keluar dari Kongres Al-Islam dan keanggotaan Komite Khilafah.
Dampak lain yang terjadi adalah merenggangnya hubungan antar golongan pembaharu sendiri, yakni antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah. Kerenggangan hubungan ini awalnya terjadi karena adanya rumor mengenai pribadi Tjokroaminoto yang mengecewakan ulama Muhammaddiyah selama di Mekkah. Pada saat Tjokroaminoto di Mekkah, beberapa tokoh Muhammadiyah juga berada di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Ketika itu mereka kecewa melihat perilaku Tjokroaminoto, suatu hal yang tidak mereka duga terdapat pada pemimpin besar ini. Walaupun Kongres Al-Islam keenam menangkis tuduhan-tuduhan itu dan berharap agar hubungan antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah tidak terpengaruh olehnya, tetap saja kerenggangan hubungan keduanya tidak dapat dihindari.
Buntut dalam masalah ini adalah pemberlakuan disiplin partai oleh Sarekat Islam kepada Muhammadiyah. Walhasil, anggota Sarekat Islam tidak boleh merangkap menjadi anggota Muhammadiyah. Mereka harus memilih salah satu antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Sarekat Islam kemudian berusaha memonopoli persoalan khilafah. Mereka mengklaim sebagai satu-satunya wakil umat Islam Indonesia dengan mengubah MAIHS menjadi bagian dari partainya. Perubahan itu dilakukan meskipun tidak disetujui oleh Muhammadiyah. Oleh karena itu setelah perubahan ini periode Kongres Al-Islam selanjutnya eklusif menjadi pertemuan Sarekat Islam saja.
Pada tahun 1927 berlangsung kongres kedua Mekkah, Dari Indonesia dihadiri oleh Haji Agus Salim. Oleh karena MAIHS sudah ‘dimonopoli’ oleh Sarekat Islam, maka kepergian Haji Agus Salim ini pun atas nama Sarekat Islam dan tidak bisa dikatakan sebagai perwakilan umat Islam Indonesia secara umum. Kongres sendiri tidak berusaha menuntaskan masalah khilafah. Menurut Haji Agus Salim, Ibnu Saud tidak menginginkan masalah ini dibicarakan dalam kongres.
Demikianlah, isu mengenai khilafah kemudian semakin mereda. Baik kongres di Mekkah maupun di Kairo menutup pembicaraan mengenai khilafah. Pertemuan Islam Internasional yang sering diselengarakan pada periode selanjutnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan usaha penegakkan khilafah. Hubungannya pertemuan-pertemuan tersebut dengan istilah Pan-Islamisme hanyalah dalam arti meningkatkan solidaritas sesama umat Islam, bukan dalam arti untuk menegakkan khilafah.
Begitu juga dengan Indonesia. Setelah perselisihan internal di kalangan umat Islam semakin membesar, perjuangan khilafah yang semula menjadi “perjuangan bersama” akhirnya ditinggalkan. Sarekat Islam yang kemudian memonopoli masalah ini pada akhirnya juga meninggalkannya. Hal ini sejalan dangan sikap Sarekat Islam pada 1929 yang melepaskan Pan-Islamismenya dan berpihak pada nasionalisme Indonesia. Di samping itu, organisasi lain seperti Muhammadiyah dan NU memusatkan perjuangan mereka kepada urusan agama, pendidikan dan sosial. []
Sumber:
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996).
Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995, hlm. 115-140.
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1901-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.