Delusi Feminisme
Oleh: Ika Rini Puspita
Delusi, yaitu suatu keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat, yang terus ada walaupun bukti menunjukkan hal tersebut tidak memiliki dasar dalam realitas (Nevid Jeffrey, 2005 dalam bukunya Psikologi Abnormal). Bahasa sederhananya menganggap sesuatu itu nyata padahal hampa.
Mati-matian mempercayai sesuatu bahkan memperjuangkannya, padahal bertolak belakang dengan realita. Seperti itulah feminisme, menebar delusi pada peradaban manusia. Hingga muncul satu-persatu problem baru yang beranak pinak. Membuat sosok ‘perempuan’ merasa terjajah!
Hingga hari ini, feminisme terus digadang sebagai solusi atas gerakan perempuan yang mampu mewujudkan kesetaraan dari penindasan berabad-abad silam. Yunani misal dalam memandang wanita sebagai pemuas hasrat kaum pria bagaikan selir-selir yang melayani pria wanita melahirkan dan menjaga anak selayaknya baby sitter saja.
Di masa India kuno kedudukan wanita hanya sebagai barang pelengkap bagi kaum pria bahkan dikenal istilah ‘sumangali dharma’ yang berarti kesetiaan dan pelayanan seksual secara total seorang istri kepada suaminya bahkan dalam tradisinya seorang istri memanggil suaminya dengan panggilan yang mulia atau Tuhan, dan jika suaminya meninggal maka setiap janda harus melakukan tradisi ‘sati’ (ritual membakar diri) (Siauw. Felix Y. Dkk. 2017).
Fenomena historis ‘pengambaran perempuan’ di atas merupakan masa-masa kelam perlakuan terhadap kaum perempuan. Maka wajar saja jika para perempuan bangkit, menuntut haknya yang dibelenggu. Kebangkitan kaum perempuan inilah yang dimanfaatkan (ditunggangi) oleh kelompok yang memiliki kepentingan sampai diilusi dengan bayang-bayang kebebasan ala feminis.
Begitulah, sebelum Islam datang, peradaban dunia dipenuhi pandangan yang menganggap perempuan tak punya hak-hak yang wajib dihargai di tengah masyarakat. Dan setelah peradaban Islam hadir, ia telah mengangkat posisi perempuan ke posisi yang mulia.
Walaupun tetap saja ada pandangan-pandangan yang mengatakan perempuan tetap diperlakukan tidak adil, seperti dalam pembangian waris misalnya, masih lebih sedikit dari pada laki-laki, poligami, cerai, jilbab-kerudung, dan lain-lain (bahasa kerennya adalah feminis Islam).
Seiring dengan perjalanan abad pencerahan di Eropa, gerakan perempuan pun tumbuh demi mengubah nasib perempuan yang miris di bawah kesewenang-wenangan kaum yang berkuasa. Gerakan feminisme merasa telah menemui buah-buah manis perjuangan.
Hak pilih bagi perempuan, kuota parlemen perempuan, keterlibatan yang luas dalam dunia kerja, kesamaan posisi dengan pasangannya, hak-hak reproduksi, hak tubuh, dan hal-hal lain yang mereka suarakan. Tapi, nyatakah keberhasilannya atau hanya semu semata?
Beberapa peristiwa besar bagi gerakan feminisme di antaranya adalah ditetapkannya Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) tahun 1979 dan diselenggarakannya Deklarasi Beijing tahun 1995. Sehingga keduanya terdapat dalam penetapan UU di berbagai Negara.
Namun nyatanya yang terjadi adalah terciptanya berbagai kesengsaraan dan tekanan yang tak kalah mengerikan bagi perempuan di berbagai Negara. Sebut saja, seiring meningkatnya partisipasi perempuan di ruang publik, angka kekerasan terhadap perempuan pun semakin meningkat.
Menurut Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2020, angka kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir, di mana pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus Sementara itu di Eropa, meskipun memulai perjuangan kesetaraan gender lebih dulu, angka kekerasan terhadap perempuan sangatlah tinggi.
Survei luas Uni Eropa yang dilakukan pada tahun 2014 oleh Badan Hak-Hak Dasar Eropa menyatakan bahwa satu dari tiga wanita di Uni Eropa telah mengalami beberapa bentuk serangan fisik dan atau seksual sejak usia 15 tahun [1]. Selanjutnya, dengan masuknya perempuan di dunia kerja pun ternyata membawa efek yang bisa kita saksikan sekarang.
Peran ganda antara bekerja mengurus anak dan suami jadi tidak maksimal. Karena sibuk di luar, keluarga (anak) hanya mendapat waktu sisa. Peran mengurus anak jadi tidak maksimal, berdampak ke anak itu sendiri.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Institute for Social and Ekonomic Research membuktikan anak dari ibu yang bekerja mengalami penurunan kemampuan dalam mengikuti ujian di sekolah sebesar 20 persen.
Anak usia 5-10 tahun yang ibunya sangat sibuk bekerja mengalami stres mental sehingga berprestasi buruk di sekolah jika dibandingkan dengan anak yang ibunya di rumah. Dari fakta di atas lantas seruan agar para ibu untuk masuk ke dunia kerja merupakan sebuah kebebasan atau jerat masalah baru bagi perempuan?
Sebuah kajian di Swedia menemukan fakta bahwa promosi ke jabatan tinggi di politik menggenjot tingkat perceraian di kalangan perempuan. Perempuan yang menjadi pimpinan eksekutif perusahaan juga lebih cepat bercerai dibandingkan laki-laki dengan tingkat karier serupa [2].
Di Inggris data tahun 2017 menunjukkan terjadinya penurunan jumlah pernikahan antara pasangan yang berbeda jenis, dengan penurunan 45 persen sejak 1972 [3]. Tentu saja tren ini membuat angka pertumbuhan penduduk juga menurun, dan bisa dipastikan penurunan terus-menerus angka kelahiran dapat berbahaya bagi sebuah Negara.
Solusi Gender yang Absurd
Intinya perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal kebebasan mengembangkan diri dari semua bidang. Faktanya, Negara yang terkenal kebijakannya yang progender yang disandarkan pada indeks kesetaraan gender PBB nyatanya memiliki indeks kekerasan tertinggi seperti Denmark (52), Finlandia (47%), dan Swedia (46%) [4].
Bagi feminisme, seseorang bebas memilih identitas gender, orientasi seksual, dan ekspresi gender mana pun. Paham ini pula yang membuat LGBT diterima oleh feminisme karena bagian dari perjuangannya. Memperjuangkan LGBT sama dengan memperjuangan definisi gender yang mereka serukan, tidak kaku, dan bisa diubah sesuai keadaan.
Fakta lain yang tak terelakkan hari ini akibat paham feminisme adalah masuknya perempuan ke dalam eksploitasi. Hal itu kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang yang hendak mengambil kesempatan meraih keuntungan dengan menjual keindahan perempuan.
Problematika buruh perempuan juga tak kunjung mereda, mulai dari ketidakadilan dalam upah hingga kekerasan di tempat kerja. Faktanya, walau melegalisasi UU, permasalahan perempuan tidak akan selesai. Sebab, ideologi (kapitalisme) sendiri yang justru yang merendahkan perempuan. Kita tahu bagaimana kapitalisme menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi.
Melihat semua fakta-fakta ini, membuat kita bertanya, apakah pergerakan feminisme mengantarkan perempuan pada kondisi ideal, ataukah membelokkan arahnya ke dalam kepayahan yang lain (delusi)?
Feminisme akan terus gagal mewujudkan kondisi ideal bagi perempuan ketika mereka tidak mau menerima keunikan yang sudah Pencipta berikan bagi perempuan maupun laki-laki.
Menafikkan perbedaan laki-laki dan perempuan selanjutnya akan menghancurkan peradaban manusia, seperti hari ini kita melihat rapuhnya tatanan sosial masyarakat di Barat maupun di Timur karena implementasi paham Sekuler yang mencampakkan peran Pencipta.
Sebab, ideologi Islam tidak butuh ide feminisme untuk memuliakan wanita. Ia sudah sempurna dalam hal pengaturan. Wallahu a’lam.
Referensi:
[1]Lauren Chadwick , 2019, https://www.euronews.com/2019/11/19/there-is-huge-resistance-europe-s-problem-with-violence-against-women
[2]Hephzibah Anderson, 2020, https://www.bbc.com/indonesia/vert-cap-51276786
[3]https://www.independent.co.uk/news/uk/home-news/marriage-rate-uk-latest-figures-lowest-record-ons-a9464706.html
[4] https://www. Muslimahnews.com./2020/03/24/ilusi-feminisme-menyelesaikan-permasalahan-kekerasan-terhadap-perempuan/