PemikiranSejarah

Genealogi dan Paradigma Fikih : Perkembangannya dari Masa ke Masa

Share the idea

Penulis : Ricky Faishol Siddiq, Lc.

Merujuk pada fikih abad awal yaitu abad pertama di zaman risalah kenabian, dimana fatwa, hukum, dan syariat langsung berada di bawah otoritas Nabi Muhammad. Fikih di masa ini dipandang sebagai satu istilah yang mencakup semua aspek kehidupan, karena fikih kala itu dapat dipahami langsung dari nash-nash Alquran dan Hadis, baik itu yang mencakup masalah teologi, ritual keagamaan, ataupun spiritual (adab dan akhlak).

Istilah fikih di masa kenabian sangat luas cakupannya dan belum terfokus pada satu disiplin ilmu seperti yang kita kenal saat ini. Karena di masa itu, Islam di Makkah berfokus untuk membenahi aqidah dan membebaskan manusia dari kukungan mitos, mitologi, dan animisme. Kemudian barulah ritual keagamaan banyak disyariatkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

Musthofa Ahmad Zarqo’ mencatat, “bahwa tidak ada pembedaan istilah antara “al-Fikih” dan “al-Ilmu” pada zaman kenabian, sehingga tidak dikenal pula istilah “al-Fuqoha” dan “al-Ulama”. Adapun para sahabat Nabi yang masuk dalam kategori ahli ilmu dan ahli syari’at dinamakan “al-Quro” (penghafal alquran) karena rujukan utama hukum syari’at adalah Alquran, selain hafal Alquran para sahabat juga dikaruniai pengetahuan akan kandungan hukumnya. Dengan posisi multi-level sebagai penghafal Alquran dan ahli hukum, maka sahabat dinamakan al-Ulama as-Syari’ah pada masa itu”.

Fikih pada masa ini lebih bersifat realistis dibandingkan fikih teoritis, yaitu menghukumi sebuah insiden setelah terjadinya insiden tersebut, atau meminta hukum dan fatwa kepada Nabi Muhammad atas kejadian yang dialami dan bukan hanya sekedar asumsi bahwa insiden itu akan terjadi. 

Pada masa sahabat dan tabi’in, kehidupan beragama para sahabat seakan runtuh seketika karena kehilangan rujukan dalam memecahkan problematika keumatan. Pada masa inilah dimulai masa ijtihad (menggali hukum) yang sebelumnya diisi oleh masa i’timad (bergantung pada Rasulullah). Setelah ditinggal Rasulullah, para sahabat mulai sibuk dengan olah pikir mereka dalam menggali sebuah hukum suatu insiden, dengan Alquran sebagai pisau analisis utama penggalian hukum, kemudian hadis Nabi (jika tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran).

Seperti inilah fikih pada masa sahabat, ia tetap tidak kehilangan identitasnya sebagai alternatif pemecah masalah. Seperti ijtihad Khalifah Umar ketika melarang memberikan bagian zakat bagi muallafah al-qulub (zakat kepada muallaf) pada masanya, karena sebab (illat) diberikannya bagian mereka adalah lemahnya Islam pada masa Nabi. Sedangkan pada masa Khalifah Umar sebab ini sudah tidak ada, dan kekuatan Islam pada waktu itu sudah terhimpun.

Pada awal pemerintahan Khalifah Utsman, para sahabat menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab seperti Hijaz, Yaman, Mesir, Iraq, dan Syam untuk menyebarluaskan syariat Islam. Pada masa inilah bisa dikatakan sebagai awal mula pembangunan pondasi ilmu fikih seperti yang kita kenal sekarang, karena dari tangan para sahabat itulah lahir cendekiawan muslim tabi’in yang ahli dalam ilmu syariat. Al-Imam Ibn Qoyyim mencatat, “Ilmu fikih tersebar di Iraq melalui tangan para pengikut Ibnu Mas’ud, dan tersebar di Madinah melalui para pengikut Zaid bin Tsabit dan Ibnu Umar, dan tersebar di Makkah melalui pengikut Ibnu Abbas”.

Pada masa ini, umat Islam terpecah menjadi tiga golongan: Khawarij, Syiah, dan Ahlusunnah. Hal ini berimplikasi kepada penyebaran para sahabat dan tabiin ke seluruh negeri, seperti penyebaran periwayatan hadis, dll.

Masa ini juga ditandai dengan kemunculan dua madrasah fikih besar yang memiliki basis metodologi penggalian hukum yang berbeda, yaitu Madrasah Ahlu Hadis di Madinah yang dipelopori oleh Said bin Musayyab, dimana mereka memberikan porsi lebih kepada nash Alquran dan hadis dalam metode ijthadnya. Kedua, Madrasah Ahlu Ra’yi yang diinisiasi oleh Abdullah bin Mas’ud di Bagdad. Dimana pengunaan rasio lebih dominan daripada nash dalam metode penggalian hukum, hal ini dikarenakan letak geografis yang sangat jauh sehingga sedikitnya jumlah hadis di Baghdad.

Sekitar abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H, yaitu masa keemasan fikih dan sudah dikenal sebagai satu disiplin ilmu yang mandiri dan independen, ditandai dengan munculnya mazhab-mazhab fikih dan munculnya para ulama yang memiliki otoritas dan integritas dalam mengolah nash Alquran dan Hadis menjadi sebuah hukum yang aplikatif (fikih).

Namun, fikih pada masa itu dapat dipandang sebagai satu instrumen hukum pemecah masalah dengan cara kembali kepada qoul, fatwa, dan putusan hukum yang terkodifikasi dalam kitab-kitab fuqoha.  Kitab-kitab  inilah yang dianggap sebagai kitab al-mu’tabaroh (otoritatif) dari setiap Mazhab.

Fikih dalam agama Islam menempati posisi kunci sebagai produk pemikiran ulama yang mencoba melakukan intrepretasi atas normativitas teks/nash yang dikaitkan dengan kebutuhan zamannya. Khazanah fikih klasik mengenal berbagai macam aliran fikih yang mencerminkan kecenderungan para fukaha dalam melakukan ijtihad. Kecenderungan itu dipengaruhi oleh perbedaan pendekatan dan metodologi yang digunakan dalam melakukan ijtihad. Berbagai ragam aliran fikih pada era klasik lebih mencerminkan kebutuhan umat saat itu ketimbang sekedar adu argumen berbasis metodologi tertentu yang tidak memiliki nilai praksis apapun.

Imam Abu Hanifah yang kita kenal dengan mazhabnya yaitu Hanafi lebih bebas dalam berijtihad karena memberi porsi lebih kepada rasio (Madrasah Ahlu Ra’yi) karena ia dihadapkan pada dinamika kota Bashrah yang tinggi, sementara perbendaharaan teks Alquran dan Hadis jumlahnya terbatas. Inilah kondisi yang memberi peluang kepada Imam Abu Hanifah untuk lebih kreatif dalam memainkan ekperimen intelektualnya. Berbeda dengan Imam Malik di Madinah yang memberikan porsi lebih kepada nash Alquran dan Hadis dalam berijtihad (Madrasah Ahlu Hadis).

Pada masa pertengahan abad ke-4 H sampai 12 H, ditandai dengan menurunya aktivitas ijtihad dan jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar yaitu pertengahan abad ke-7 H. Aktivitas ijtihad yang langsung merujuk pada Alquran dan Hadis berubah menjadi aktivitas interpretasi terhadap pendapat imam-imam mazhab.

Dari pertengahan abad ke-7 H sampai abad 12 H inilah abad dimana fikih mulai diadopsi ke dalam hukum positif yang dinamakan aktivitas Taqnin, ditandai dengan munculnya kitab Majalah Ahkam Adliyah (kitab kodifikasi mazhab Hanafi ke dalam hukum positif). Aktivitas ini pun dianggap sebagai pembaharuan dalam ijtihad.

Dari abad 12 H sampai saat ini, fikih terus mengalami perubahan dan memunculkan paradigma kontemporer, yang tidak menghilangkan identitas fikih sebagai sebuah instrumen hukum pemecah problematika umat. Paradigma ini ditandai dengan kemunculan ijtihad model baru seperti ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).

Tulisan ini hanya ringkasan, karena berbicara tentang paradigma dan genelogi fikih tidak cukup hanya dengan satu dua kertas. Wallahu a’lam.[]

Sumber:

Musthofa Ahmad Zarqo’, al-Madkhol al-Fiqh Amm’, (Damaskus: Daarul Qolam, 1998)

Manaaul Qotton, Tarikh Tasyrii al-Islamiy, (Riyad: Maktabah Maarif, 1996)

Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, I’lam Muwaqqi’in, (Riyadh,Daar Ibn Jauzi, 2002)

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *