Indonesia Dalam Sepekan
SEBUAH NOTULENSI DARI ACARA NGIDE (NGOBROL IDEOLOGIS) KLI PADA AHAD, 21 JUNI 2020
(REVISI) UNDANG-UNDANG MINERBA
Tujuan besar dari undang-undang ini adalah meningkatkan investasi melalui penjaminan perpanjangan kontrak perusahaan minerba.
Undang-undang ini terhubung dengan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) sebagai penyederhana birokrasi, sehingga izin pertambangan tidak lagi melalui banyak pintu. Hal ini juga mencakup izin yang semula harus ke lokal (daerah), kini semua berpindah ke pusat. Artinya, pemerintah pusat lebih memiliki kontrol atas perizinan pertambangan – sebagaimana sistem sentralisasi gaya orde baru.
Hal menarik lainnya adalah dihilangkannya hak mediasi ketika terjadi sengketa antara perusahaan tambang dengan rakyat setempat. Apabila rakyat menang di pengadilan, maka hukumannya bukan lagi pengembalian lahan, melainkan cukup dengan ganti rugi. Usaha tambangnya? Tetap jalan.
Padahal, isu pertambangan tidak pernah akur dengan masalah lingkungan. Meski sudah ada aturan terkait reklamasi – yaitu pemulihan atas lahan yang sudah dieksplorasi – namun dalam implementasinya justru tidak dilakukan dan ditinggalkan begitu saja. Padahal, lahan bekas tambang tersebut sudah tidak produktif. Hebatnya, semua ini juga terhubung dengan wilayah yang akan dibangun sebagai ibukota baru sebagai salah satu bekas lahan tambang.
Berbagai hal tersebut tentu menjadi kabar baik bagi para investor sektor tambang. Tapi bagi masyarakat, justru semakin menunjukkan bahwa pemerintah kita telah lepas tangan.
Namun, wajarkah ini terjadi? Dalam Islam, sektor tambang adalah kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara dan diberikan manfaatnya semaksimal mungkin kepada rakyat. Namun, dalam sistem kapitalisme kejadian tersebut sah-sah saja. Pemerintah boleh menjualnya kepada para pengusaha tambang, dengan negara tetap mendapat kompensasi, meski hanya sebagian kecil.
Lucunya lagi, barang-barang tambang kita sebenarnya justru lebih banyak terbang ke luar – dengan harga murah tentunya. Sedikit sekali (sekitar 30%) yang dioptimalkan di dalam negeri (misalnya dimanfaatkan di sektor industri, dll).
Emas lebih parah lagi, dengan 90% lebih dibawa ke luar. Artinya, hanya 10% hasil emas yang digunakan di dalam negeri. Nasib yang sama juga dialami oleh nikel dan bauksit yang bahkan 100% dibawa ke luar. Untuk kepentingan siapa semua ini? Siapa lagi kalau bukan para pengusaha.
Berbagai fakta di atas sebenarnya juga menunjukkan, bahwa sektor industri Indonesia selama ini dapat berjalan tanpa membutuhkan tambang yang melimpah. Perlu digarisbawahi, bahwa tambang itu terbatas dan butuh waktu yang sangat panjang untuk tersedia lagi (bahkan hingga jutaan tahun). Ia tidak seperti air yang sangat melimpah dan tidak terbatas. Alangkah baiknya, bahan-bahan seperti ini ditahan dulu dan tak perlu dihambur-hamburkan. Urgensitas kebutuhan kita saat ini masih sedikit, dan baru akan sangat butuh ketika kondisi industri kita sudah sangat berkembang.
Selain mencegah ekspor besar-besaran, sebaiknya kita juga sudah mulai berpikir sumberdaya alternatif lain yang bahkan lebih ramah lingkungan, lebih lama habisnya, dan lebih hemat. Contohnya adalah nuklir.
Hal ini tentu sangat penting, mengingat selama ini yang menikmati alam Indonesia bukan kita, melainkan industri luar negeri. Lucunya lagi, kelak hasil industri mereka dijual kembali kepada kita dengan harga yang lebih tinggi. Uang hasil penjualannya masuk kemana? Ya ke kantong pengusaha, investor, maupun pengusaha yang jadi penguasa.
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” pun lenyap. Tak pernah digunakan. Revisi UU minerba justru semakin menguatkan posisi pengusaha karena disahkan dengan undang-undang. Izinnya semakin mudah, bahkan dijamin diperpanjang.
Sebagai sebuah fenomena yang terus terjadi meski berganti rezim, fenomena ini layaknya seorang anak yang sedang menjual seluruh warisan orang tuanya. Setelah habis, apalagi yang ia dapatkan?
Namun, rantai setan peristiwa ini sebenarnya juga dapat dipahami, mengingat penguasa negeri hanya memiliki waktu 5 tahun. Pragmatisnya, jika waktunya sangat singkat dan terbatas, mengapa tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan semaksimal mungkin?
Ketidakadilan hukum turut memperparah kejahatan ini. Seolah kita harus pasrah, dan tak dapat menghentikan penjahat yang berkedok pengurus rakyat. Film “Sexy Killers” pun membuka memori kita atas persekongkolan ini.
RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila)
Ini sebenarnya adalah satu hal yang tidak penting dan tidak jelas tujuannya. Konon, hal ini bertujuan membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kalau memang benar demikian, bukankah artinya selama ini perjalanan pancasila itu tak ada landasannya? Kenapa dari tujuh kepemimpinan presiden yang berbeda, hal fundamental ini baru akan direalisasikan?
Kuat dugaan, bahwa kemunculan wacana ini adalah untuk menegaskan landasan hukum pancasila yang kelak akan digunakan sebagai “alat gebuk” ideologi-ideologi yang selama ini dianggap bertentangan dengan pancasila. Itulah mengapa, muncul istilah “Khilafahisme”. Selain penggunaan istilah yang tidak tepat (karena Khikafah sejatinya adalah sebuah sistem bernegara, bukan ideologi), pancasila seolah dibenturkan dengan Islam.
Di sisi lain, ketika pemerintah sampai harus membutuhkan HIP, bukankah di saat yang sama menunjukkan bahwa BPIP itu tidak berguna?
Menurut Prof. Refly Harun dalam wawancaranya dengan Prof. Suteki, nilai-nilai pancasila tak perlu dibuat undang-undang seperti ini dan seharusnya sudah otomatis merasuk dalam setiap aktivitas di semua kementerian. Misalnya, kementerian pendidikan yang menjadikan nilai-nilai pancasila muncul dalam kurikulum pendidikan. Begitu pun kementerian agama, keuangan, dll.
Jika sampai membutuhkan HIP, artinya pemerintah selama ini tidak mampu untuk menerapkan nilai-nilai pancasila itu sendiri.
Di sisi lain, isu ini muncul ketika Indonesia juga ramai dengan isu-isu lain, seperti Novel Baswedan. Isu kebangkitan komunisme pun dimunculkan kembali. Masyarakat kemudian tidak fokus pada pembahasan bahaya kapitalisme dan liberalisme sektor-sektor strategis. Padahal jika diperhatikan, pihak yang selama ini dituduh sebagai komunis, terlepas dari benar atau tidaknya, nyatanya menggunakan sistem ekonomi kapitalis. Dua premis yang secara hakikat saling berlawanan.
PLN
PLN ini diserang dari dua sisi, baik oleh masyarakat sebagai pelanggan utama, maupun pemerintahnya itu sendiri. Pelayanan PLN yang semakin buruk seolah memberi sinyal, bahwa negara tak mampu dan tak serius mengurus sektor kelistrikan. Ini tentu indikasi kuat terhadap liberalisasi PLN, bahwa kelak akan ada perusahaan swasta (terutama asing) yang bersaing dengan PLN. Sebagaimana yang terjadi hari ini pada BBM (dengan Shell dan Total sebagai pesaing misalnya), ataupun sektor telekomunikasi (dengan XL, Axis dan 3 yang juga sebagai pesaing Telkomsel). Dengan kualitas pelayanan yang buruk dan harga yang tinggi, tentu masyarakat justru akan menjauhi perusahaan dalam negeri.
Isu ini kembali santer pasca peristiwa blackout yang menggelapkan sebagian besar pulau Jawa dan Bali. Mulai muncul mosi tidak percaya dan berharap PLN tidak menjadi penjual listrik tunggal.
Dalam kapitalisme, justru ini yang diinginkan. Prinsipnya adalah pasar bebas untuk mencegah monopoli harga. Padahal, PLN adalah sektor strategis milik negara.
Jika ditarik mundur ke belakang, sebenarnya Indonesia didorong oleh IMF melalui Letter of Intent untuk menghilangkan subsidi dan meliberalisasi sektor-sektor strategis, seperti BBM dan listrik. Tujuan akhirnya adalah menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar, agar perusahaan asing bisa ikut serta.
Tentu saja di balik kebijakan ini ada janji positif, seperti investasi. Namun, investasi ini tentu saja investasi yang buruk, karena menyerahkan sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak kepada mekanisme pasar. Alasan lain yang selama ini digunakan sebagai pembenaran adalah, bahwa sumberdaya dan kemampuan dalam negeri tidak mampu mengelola itu semua. Sungguh klasik, seolah orang-orang besar negeri ini tak ada memiliki “political will” yang kuat untuk berdaulat dan maju.[]
Selain membahas 3 hal tersebut, NGIDE (Ngobrol Ideologis) kali ini juga membahas kasus #enggaksengaja, perkembangan penanganan COVID-19, dan fenomena industri bola hari ini. Semua tentu dibedah dengan kacamata ideologis.
Nikmati semua percakapannya di IGTV akun instagram Komunitas Literasi Islam