Sejarah

Jejak Khilafah Di Nusantara: Konspirasi Inggris Menghentikan Bantuan Khilafah Dari Singapura

Share the idea

Selain Batavia, Sultan Abdul Hamid II juga menempatkan konsul-konsulnya di Singapura yang saat itu berada di bawah kekuasaan Inggris. Pemerintahan ‘Utsmaniyyah pertama kali membuka kantor konsulat di Singapura pada 1864, dengan Sayyid ‘Abdullah al-Junayd sebagai konsul jenderalnya. Setelah kematiannya setahun kemudian, Inggris ditekan oleh Belanda untuk tidak membuka kembali konsulat ‘Utsmaniyyah di sana, karena Singapura adalah tempat transit para jamaah haji dari Hindia-Belanda (Indonesia saat ini), dan dikhawatirkan konsul ‘Utsmaniyyah di sana akan menghasut mereka agar memberontak kepada Belanda.

Inggris pun mengiyakan, walau sebenarnya Inggris tidak terlalu mengkhawatirkan keberadaan konsulat Khilafah sebagaimana kekhawatiran Belanda. Seruan Pan-Islamisme yang digaungkan Khilafah baru dirasakan sebagai momok bagi Inggris di Malaya dan Singapura setelah Perang Dunia I pecah. Namun karena wilayahnya yang berdekatan dengan Hindia-Belanda, Pemerintah Kolonial Belanda pantas untuk ketakutan terhadap peran konsul ‘Utsmaniyyah di Singapura yang terbukti menjadi ancaman nyata karena relasinya dengan beberapa sultan di Sumatera.

Pada 1901, Inggris mengizinkan pembukaan kembali konsulat ‘Utsmaniyyah di Singapura. Sultan Abdul Hamid II menempatkan Haci Ahmet Attaullah Efendi sebagai konsul jenderalnya. Attaullah Efendi adalah anak dari Ebubekir Efendi, qadhi sekaligus konsul ‘Utsmaniyyah yang ditempatkan di Cape Town, Afrika Selatan. Attaullah Efendi disekolahkan al-Azhar Mesir dan segera meraih reputasi sebagai ulama muda kharismatik dan aktivis Pan-Islamisme yang gagah. Selain bahasa Arab dan Turki, ia juga menguasai bahasa Inggris, Afrika, Urdu, dan Melayu, sehingga keberadaannya begitu dekat dengan kaum Muslim setempat termasuk Singapura. Kharisma Attaullah Efendi akhirnya juga terdengar ke dunia Melayu lain yang berada dalam penindasan Belanda: Jambi.

Sejak tahun 1833, Kesultanan Jambi menyatakan ketundukannya pada Belanda. Tapi ketika Thaha Saifuddin bin Muhammad Fakhruddin naik takhta pada 1855, ia menolak tunduk pada penjajah. Baginya, ketundukan seorang muslim dalam bernegara haruslah ditujukan kepada Khilafah.

Hal ini membuat Belanda murka sehingga menginvasi Jambi, menjatuhkan Sultan Thaha dari kekuasaannya, dan menempatkan sultan-sultan yang loyal terhadap kuasa Belanda.

Sebagai bukti ketundukannya, pada 1859 Sultan Thaha mengirim surat kepada Sultan Abdul Majid I dan memperkenalkan dirinya sebagai “penguasa negeri di pulau Aceh yang bernama Jambi”. Kepada Sang Khalifah, ia memohon dianugerahkan “ferman kesultanan” (al-firman al-sulthaniyyah), “medali kekaisaran” (nisyan khaqaniyyah), dan “bendera ‘Utsmaniyyah yang mulia” (rayah jalilah ‘Utsmaniyyah). Tujuannya, tentu Sultan Thaha ingin diakui sebagai penguasa Jambi yang sah atas persetujuan Khilafah.

Sayangnya, hubungan Jambi dan Khilafah di masa ini terbatas sekadar pemberian medali kehormatan Mecidiye dan uang 20.500 kurusy kepada para utusan.

Empat puluh tiga tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1902, Sultan Thaha kembali mengirim utusan kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah. Kali ini dirinya mengharapkan konsul ‘Utsmaniyyah di Singapura, Attaullah Efendi, sebagai perantara yang dapat diandalkan. Harapannya pun terkabul: surat yang ia kirim mendapat simpati dari Attaullah Efendi, yang kemudian meneruskan surat Sultan Thaha tersebut ke Istana Yildiz, kediaman Sultan Abdul Hamid II.

Sultan pun segera memerintahkan Menteri Angkatan Lautnya agar mengirim satu atau dua kapal ke Jambi. Menterinya menganjurkan beberapa kapal milik Angkatan Laut ‘Utsmaniyyah seperti Pelenk-i Derya (Macan Samudera, kapal penjelajah torpedo buatan Jerman) dan Syahin-i Derya (Elang Samudera).

Pada 24 Juli 1904, konsul Belanda di Istanbul, van Bijlandt, tersentak kaget ketika pada momen selamlik (iring-iringan Sultan menuju masjid untuk salat Jumat) ia ditegur oleh salah satu penasihat Sultan Abdul Hamid II, Ahmet Izzet Pasya, tentang berita perusakan masjid-masjid “di wilayah dekat Singapura”. Van Bijlandt mengelak, bahwa hal itu tidak mungkin terjadi di Hindia-Belanda karena Pemerintah Kolonial “mendukung asas toleransi beragama”.

Alasan van Bijlandt tentu tidak diterima, dan ia diminta menghadap Sultan Abdul Hamid II secara langsung untuk dimintai keterangan. Ketika menghadap di Istana Yildiz, Sultan menuntut menghentikan penindasan terhadap umat Islam di Jambi. Van Bijlandt berusaha berkelit dengan sopan, bahwa itu bukan urusan Sultan Abdul Hamid karena menurutnya Jambi bukanlah bagian dari wilayah kekuasaan Khilafah ‘Utsmaniyyah.

Argumen van Bijlandt segera dibantah oleh Sultan dengan membandingkan peran negara Eropa yang sering mengintervensi politik di Suriah dengan mengatasnamakan kaum Kristen atau minoritas lain. Dengan argumen tersebut, Sultan Abdul Hamid merasa berhak untuk mengintervensi sengketa antara Sultan Thaha dengan kolonialis Belanda karena orang-orang di Jambi merupakan bagian dari umat Islam.

Menteri Urusan Jajahan, A.W.F. Idenburg (1861-1935), didorong oleh Snouck Hurgronje, mengambil sikap garis keras, yaitu tidak mengakui hak Sultan Abdul Hamid II, sekecil apapun, untuk mengurusi orang-orang seagamanya yang berada di bawah kekuasaan Belanda.

Melvil Baron van Lynden, Menteri Luar Negeri Belanda, tidak setuju dengan sikap Idenburg hingga menyarankan agar insiden Jambi harus ditutup-tutupi agar tidak menyiramkan minyak pada api kemarahan Sultan Abdul Hamid. Tapi Idenburg tetap bersikukuh: justru karena adanya “fanatisme Hindia” (geestdrijverij in Indiё), perlu diberikan teguran keras kepada “campur tangan yang tidak pada tempatnya terhadap urusan dalam negeri Belanda”.

Sultan Abdul Hamid II harus diberitahu bahwa kaum Muslim di Hindia-Belanda “merasa bahagia berada di bawah ayoman Pemerintahan Eropa yang mengerti hal yang benar” dan tidak perlu memberikan “penghargaan” kepada Sultan untuk simpatinya terhadap sesama orang Muslim. Dalam sengketa diplomatik ini, Belanda (seolah) menang. Hal ini tidak lepas dari campur tangan konsul ‘Utsmaniyyah yang seorang Kristen Yunani di London, Musurus Pasya, yang telah mewanti-wanti Inggris agar mewaspadai aktivitas Attaullah Efendi dan Abdullah Yusuf Pasya yang “telah mengotori Pemerintah Turki.”

Di Singapura sendiri, manuver Attaullah Efendi yang membantu Sultan Thaha dari Jambi mengakibatkan Inggris memasang sikap waspada terhadap institusi konsulat ‘Utsmaniyyah di Singapura. Pada 11 November 1903, Attaullah Efendi meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Kematiannya yang tragis mengakibatkan duka cita yang mendalam di kalangan Muslim Singapura. Walau belum terbukti, orang-orang menduga kecelakaan yang menimpa Attaullah Efendi merupakan konspirasi Pemerintahan Inggris yang dengan sengaja membunuh konsul ‘Utsmaniyyah lulusan al-Azhar tersebut. Yang jelas, Inggris tidak lagi mengizinkan pembukaan konsulat ‘Utsmaniyyah di Singapura pasca-kematian Attaullah Efendi.[]

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *