Sejarah

Kapan Khilafah Mulai Bergabung dengan Keluarga Eropa dan Mengadopsi Hukum Publiknya?

Share the idea

Menurut para ulama, Khilafah memiliki fungsi untuk menjaga agamadan mengatur urusan dunia (hirasah al-din wa siyasah al-dunya). Namun, semenjak masa Sultan Abdülmecid I (k. 1839-1861) yang memberlakukan sistemTanzimat (Reformasi), Khilafah telah dikebiri kekuasaannya dalam kepengaturan urusan duniawi.

Di era Tanzimat ini, Khilafah Utsmaniyyah mulai memberlakukan banyak undang-undang yang terinspirasi dari Barat. Hal ini merupakan respon Utsmaniyyah yang mengira bahwa dengan meniru Barat, termasuk hukum publiknya, mampu membuatnya bangkit seperti Barat.

 Dalam hal politik luar negerinya, Sultan Abdülmecid I mengajukan agar Khilafah Utsmaniyyah menjadi bagian dari keluarga negara Eropa (famille européene). Usulan ini ditolak oleh negara-negara Eropa.

Melalui lobi-lobi yang berlangsung selama beberapa tahun, akhirnya Khilafah Utsmaniyyah diterima sebagai bagian dari Eropa dalam Kongres Paris yang berlangsung selama Februari-April 1856. Count Walewski, Menteri Luar Negeri Prancis sekaligus Presiden pada kongres tersebut menyatakan,

“Yang Mulia Kaisar Prancis, Yang Mulia Kaisar Austria, Yang Mulia Ratu Inggris Raya dan Irlandia, Yang Mulia Raja Prusia, Yang Mulia Kaisar Semua Orang Rusia, dan Yang Mulia Raja Sardinia, menyatakan Sublime Porte (Utsmaniyyah) mengaku ikut serta dalam “Konser Eropa” (concert Européen, perimbangan kekuasaan antara negara-negara Eropa). Yang Mulia harus, masing-masing pihaknya, menghormati kemerdekaan dan integritas teritorial Kekaisaran Utsmaniyyah, menjamin kesamaan pengamatan ketat dari keterlibatan ini, dan akibatnya akan mempertimbangkan setiap tindakan atau peristiwa yang dilanggar sebagai masalah umum. Konvensi atau Perjanjian yang disimpulkan di antara mereka dan Sublime Porte sekarang akan menjadi bagian dari hukum publik Eropa (Les Conventions ou Traités conclus ou á conclure entre Elles et la Sublime Porte feront désormais partie du droit public européen)..”

Penerimaan Eropa atas Khilafah Utsmaniyyah sebagai bagian dari mereka mempunyai syarat yang berat: Khilafah Utsmaniyyah harus meninggalkan Islam sebagai dasar hubungan internasionalnya, dan sebagai gantinya harus menganut sejumlah hukum publik Eropa (du droit public européen).

Henry Wheiton pada tahun 1846 dalam bukunya, Element of International Law, dalam bab berjudul Extension of the International Law of Christendom to the Asiatic and African Nation turut menegaskan apa yang dimaksud sebagai hukum publik Eropa tersebut:

 “Hubungan yang lebih baru antara negara-negara Kristen di Eropa dengan negara-negara Mohammedan dan ‘pagan’ di Asia dan Afrika menunjukkan suatu pernyataan pada pihak yang terakhir untuk meninggalkan penggunaan internasional khusus mereka (doktrin politik luar negeri Islam: dakwah dan jihad, pen.) dan mengadopsi pandangan-pandangan Kristen (adopt those Christendom). Hak-hak hukum telah diakui oleh, dan secara timbal balik diperluas ke Turki, Persia, Mesir, dan negara-negara Barbar (Afrika Utara)….”

Maka, semenjak Khilafah Utsmaniyyah mengadopsi hukum publik Eropa yang merupakan cikal bakal dari Hukum Internasional di masa modern ini, Istanbul tidak bisa lagi aktif dalam politik luar negeri, terutama dalam aspek ekspansi dan perlindungan militer terhadap dinasti Muslim lain yang menyatakan tunduk kepada Istanbul (vassal states).

Kini kekuasaan Utsmaniyyah bagai auman macan ompong, hingga akhirnya publik Eropa meledek Utsmaniyyah sebagai ‘Orang Eropa yang Sakit’ (The Sick Man of Europe, de zieke man van Europa).

Sebagai perbandingan, ambillah contoh sikap Khilafah Utsmaniyyah terhadap Kesultanan Aceh pada abad ke-16 dan abad ke-19. Sebagaimana yang dicatat dalam sebuah ferman di Mühimme Defterleri (Publikasi berkala yang memuat informasi dari segala bentuk kebijakan dan pengumuman negara di era Khilafah ‘Utsmaniyyah. Semacam Staatsblad di era Kolonial Belanda dan Lembaran Negara Republik Indonesia di masa kemerdekaan RI).

Ketika Sultan Aceh di tahun 1566, ‘Alaa’ al-Diin Ri’aayat Syaah al-Qahhar meminta pertolongan kepada Istanbul untuk melawan “kafir Portugis yang menyerang orang-orang Islam” (ehl-i IIslam üzerine Portukal keferesi), Sultan Selim II (k. 1566-1574) yang baru naik tahta “mulai bangkit rasa kasih sayang yang melimpah terhadap kondisi penduduk Islam di wilayah itu” (cevanibde olan ehl-i IIslam hutsutslarinda mezid-i merhamet-i hüsrevanem dzuhura gelüp) dan mengirimkan 15 kapal galley dan 2 kapal galleon ke Aceh.

Kapal Utsmaniyyah pada akhirnya tiba di Aceh dan menyalurkan logistik persenjataan dan ahli-ahli militer kepada Sultan ‘Alaa’ al-Diin Ri’aayat Syaah al-Qahhar. Ini menunjukkan kepedulian Sultan Selim II yang tinggi terhadap urusan Aceh. Bahkan Sultan Selim II mengakui Aceh sebagai salah satu provinsi Khilafah (vilayet-i Açi).

Itu situasi di abad ke-16. Beda lagi di abad ke-19, terutama setelah Utsmaniyyah mengadopsi sebagian hukum publik Eropa (Hukum Internasional) pasca-deklarasi Tanzimat dalam hubungan luar negerinya.

Dalam bayang-bayang kolonialisme Belanda yang mengancam kedaulatan Kesultanan Aceh, beberapa kali Sultan Aceh mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta dukungan militer sewaktu masa Sultan Abdülmecid I dan Sultan Abdülaziz (k. 1861-1876). Aceh masih menganggap dirinya sebagai vasal Khilafah Utsmaniyyah, sebagaimana yang terjadi di abad ke-16.

Namun ketika permintaan bantuan itu sampai ke kantor Sadr-i Azam dan Kementerian Urusan Luar Negeri Khilafah, mereka menganggap urusan ini tidak memberi keuntungan bagi Utsmaniyyah karena jarak yang begitu jauh menuju Aceh hanya membuang-buang tenaga. Selain itu, Istanbul juga khawatir jika permintaan Aceh ini diterima maka akan mengganggu hubungan baik antara Utsmaniyyah dengan Kerajaan Belanda dalam kerangka hukum internasional.

Maka, apa yang disebut sebagai Hukum Internasional atau Undang-Undang Internasional sejatinya tidak boleh ada dan tidak boleh dibuat. Sejarah membuktikan bahwa ialah biang kerok yang menjadikan kaum Muslim tidak bisa melaksanakan jihad untuk mengekspansi wilayah kekuasaan Khilafah dan mengintervensi secara militer untuk membela saudara-saudaranya yang tertindas di regional-regional tertentu.

Sebuah situasi memprihatinkan yang masih berlanjut bahkan hingga hari ini. Di masa kontemporer, penindasan negara-negara adidaya dimanifestasikan oleh kehadiran Keluarga Internasional dan Hukum Internasional, yaitu United Nation (UN) atau Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

Kaum Muslim di Palestina, Rohingya, Xinjiang, dan daerah-daerah lain mengalami penderitaan akibat penjajahan kaum kafir, sementara kaum Muslim hanya bisa menyaksikan hal tersebut bagai sinetron yang berulang-ulang, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka paham bahwa mereka wajib untuk membela saudaranya dengan jihad mengangkat senjata, namun itu semua terhalang atas dasar “hukum internasional” yang tidak memperkenankan intervensi kaum Muslim kecuali melalui meja runding PBB. Wallahu a’lam.[]

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Yogyakarta: Penerbit Quwwah, 2017.

Giancarlo Casale, His Majesty’s Servant Lutfi: The Career of a Preveiously Unknown Sixteenth-Century Ottoman Envoy to Sumatra based on an Account of his Travels from the Topkapı Palace Archives, Turcica, 37 (2005).

Hugh McKinnon Wood, The Treaty of Paris and Turkey’s Status in International Law, The American Journal of International Law, Vol. 37, No. 2 (April 1943).

İsmail Hakkı Göksoy, Ottoman-Aceh Relations as Documented in Turkish Sources, dalam R. Michael Feener, dkk (ed.), Mapping the Acehnese Past, (Leiden: KITLV Press, 2011).

William Hale, Turkish Foreign Policy Since 1774, (London: Routledge, 2013).

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *