Kapitalisme, Sosialisme, dan Islam: Bagaimana Tiga Ideologi Ini Memandang Konsep Keadilan?
Sosialisme sering diusung sebagai konsep ideal yang kontra kapitalisme, dengan jargon ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan sendiri merupakan hasil modifikasi dari pola ekonomi sosialisme yang banyak dijalankan pemimpin negara-negara Amerika Latin seperti Kuba, Venezuela, Bolivia, Argentina, dan Brazil. Perseturuan kemudian mengerucut kepada perseteruan kuno antara kubu kaya melawan miskin.
Kapitalisme sendiri sejak awal memang memproklamirkan dirinya sebagai pembela para pemilik modal. Kapitalisme hanya pernah tobat satu kali ketika Amerika Serikat dilanda krisis ekonomi parah pasca-perang dunia pertama. Presiden F.D Roosevelt akhirnya menggunakan mazhab Kaynesian ciptaan John Maynard Keynes dalam mengatur ekonomi negaranya. Mulai saat itu, negara ikut campur secara langsung dalam ekonomi dan memberlakukan subsidi bagi rakyat kecil.
Akan tetapi, romantisme ini berakhir sejak AS dipimpin Ronald Reagen. Reagen dan Thatcher (PM Inggris) bahu membahu mengembalikan kapitalisme ke jalannya semula. Sejak saat itulah, muncul mazhab neoliberal yang melahirkan sistem baru yang lebih kejam dari kapitalisme klasik, yakni korporatokrasi.[1,2]
Maka, jika kapitalisme dipercaya mampu memakmurkan Indonesia, kata “kemakmuran” itu wajib digarisbawahi. Kemakmuran dari negara yang dijalankan layaknya bisnis tersebut, sejak awal jelas bukan ditujukan kepada rakyat, tapi kepada para pemilik modal, baik asing maupun dalam negeri. Dalam korporatokrasi, pemerintah yang lepas tangan dan menyerahkan banyak urusan kepada swastamemang menjadi fenomena umum. Korbannya jelas adalah rakyat.
Sedangkan yang katanya ekonomi kerakyatan, bisa merujuk pada model Kaynesian atau bisa juga meniru model ekonomi sosialis ala Amerika Latin. Model ekonomi ini memang terlihat sangat pro rakyat miskin. Mulai dari subsidi, pendidikan dan kesehatan gratis, hingga upaya nasionalisasi. Kuba misalnya, pernah menerapkan program 1 dokter untuk 100 warga.[3] Di awal wabah Covid-19, surplus dokter Kuba bahkan diekspor ke negara tetangga yang membutuhkan.[4]
Langkah paling ekstrim dilakukan oleh Argentina dan Bolivia. Argentina berani melakukan tawar-menawar dengan IMF terkait tagihan utang yang dianggap pemerintah Argentina sangat merugikan rakyat Argentina.[5] Sedangkan Bolivia pernah melakukan program nasionalisasi perusahaan-perusahaan minyak dan gas yang selama ini dikuasai korporasi asing.[6]
Program-program tersebut memang cenderung populer di mata rakyat kecil. Tapi tanpa didukung pemerintah yang kuat, model kepemimpinan seperti ini bisa goyah akibat rongrongan para kapitalis yang lama menjadi penguasa di negeri tersebut. Evo Morales pernah diajukan mosi tidak percaya oleh parlemen yang pro terhadap kapitalis. Hugo Chavez nyaris dikudeta oleh militer dan para pebisnis.
Pemerintah-pemerintah model seperti ini sangat rentan jatuh. Apalagi kalau rakyat yang selama ini mereka bela tiba-tiba berbalik akibat iming-iming materi dari para kapitalis. Mengingat gurita kapitalis yang sudah menyelusup jauh hingga ke pelosok-pelosok negeri, mereka yang pro status quo pasti tidak begitu saja rela menyerahkan kursi empuknya.
Untuk Indonesia yang menjadi akuarium dunia, ini semua memang menjadi ironi. Negeri yang sangat kaya akan tetapi kemiskinan merajalela. Meski di masa pandemi, pada 2021 penjualan mobil-mobil mewah seperti BMW dan Mercedes-Benz di Indonesia mencapai 2433 dan 2193 unit. Secara rata-rata, dua merek tersebut mampu membukukan penjualan sebanyak 6-7 unit mobil per hari.[7] Padahal di hari dan negara yang sama, bisa jadi ada orang yang belum makan selama enam hari akibat tidak adanya penghasilan.
Akan tetapi yang lebih menjadi ironi adalah adanya kesalahan terkait konsep keadilan dan pengaturan masyarakat. Mereka yang percaya kepada kapitalisme, menyandarkan keberpihakan keadilannya kepada uang. Uang-lah yang berkuasa dan paling layak dibela. Artinya, mereka yang memiliki uang atau kapital yang banyak adalah yang paling layak mendapatkan berbagai fasilitas dan paling layak pula mendapat banyak perhatian dari penguasa. Oleh karena itu, ketika mereka berkuasa di negeri ini, maka segala aturan disandarkan pada kaidah “pemilik modal adalah segalanya”.
Dengan alasan mengembangkan iklim investasi ribuan SDM, SDA, dan perusahaan negara yang potensial dijual kepada swasta dan asing. Atas nama kemandirian dan mengurangi pengeluaran pemerintah, subsidi untuk rakyat dicabut. Tak peduli kalau rakyat megap-megap.
Berbeda dengan kapitalisme, ekonomi kerakyatan yang lahir dari rahim sosialisme lebih mengedepankan kepentingan rakyat kecil. Pembelaan terhadap rakyat kecil dilakukan sedemikian rupa, sedangkan kepada mereka yang selama ini dianggap sebagai kalangan borjuis akan diacuhkan oleh negara. Model ini dikenal sebagai model pertentangan kelas, di mana kelas proletar (rakyat kecil) berhak memimpin golongan borjuis (para konglomerat dan korporasi).
Meski tidak seekstrim era Uni Soviet atau ketika Aidit memimpin PKI, sistem ini tetap membuat para konglomerat ketar-ketir. Mereka takut apa yang selama ini mereka nikmati akan dipreteli oleh negara.
Uniknya, sistem ekonomi kerakyatan – yang di negara “wakanda” hanya digunakan sebagai jargon untuk menarik simpati “wong cilik” – ini seringkali dikait-kaitkan dengan Islam. Karena ada beberapa oknum tertentu yang memandang bahwa Islam juga melakukan pembelaan terhadap rakyat kecil.
Jelas sejak awal sistem ekonomi kerakyatan berbeda dengan Islam, apalagi neoliberal yang juga tidak ada sangkut pautnya dengan nilai-nilai Islam. Islam memiliki patokan tersendiri dalam melihat apa dan siapa yang layak dibela dan mendapat keadilan. Islamtidak menyandarkan pembelaan kepada seseorang hanya karena orang tersebut kaya ataupun miskin, Islam ataukah kafir.
Dalam sistem Islam, syariat menjadi prasyarat penting bagi negara. Negara menerapkan hukum-hukum syariat di tengah-tengah masyarakat tanpa pandang bulu. Keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, dengan syariat menjadi sumbu putarnya. Siapapun dia, entah kaya atau miskin, pekerja atau pemodal, pejabat atau rakyat, bahkan Khalifah sekalipun, jika menyalahi syariat maka ia layak mendapat peringatan dan hukuman. Beberapa peristiwa ini memperlihatkan bagaimana sistem keadilan Islam berjalan.
Gubernur Mesir, Amru bin Ash hendak membangun masjid besar di Kairo. Ia membebaskan tanah di lokasi proyek tersebut. Namun, proyek terganggu akibat tanah seorang wanita yahudi tua miskin yang rumahnya tidak mau digusur. Dengan segala daya upaya, Amru dan aparatnya memaksa wanita tua ini menyingkir agar gubuknya bisa dirobohkan dan tanahnya digunakan untuk pembangunan masjid. Wanita tua ini tersinggung dan merasa terzalimi, dengan susah payah ia berangkat ke ibukota Khilafah di Madinah. Ia segera menemui Khalifah Umar bin Khattab dan mengadukan perbuatan Gubernur Amru bin Ash kepadanya.
Tanpa banyak kata, Khalifah Umar mengambil tulang belikat unta dari tempat sampah. Kemudian dengan pedangnya ia menggores tulang tersebut dengan huruf alif, lalu ia menggores huruf alif tersebut dengan goresan melintang. Khalifah kemudian menyuruh sang nenek mengirimkan tulang tersebut kepada gubernur Amru bin Ash. Ketika pesan telah sampai ke Mesir, Gubernur Amru bin Ash seketika menjadi pucat pasi dan segera memerintahkan pemberhentian proyek pembangunan masjid. Bahkan ia menyuruh aparatnya untuk membangun kembali gubuk sang nenek yahudi dan menggantinya rumah yang permanen karena terlanjur dirobohkan.
Melihat ini semua, wanita yahudi tersebut kaget dan bertanya kepada sang gubernur. Amru menjelaskan maksud pesan tersebut, “Khalifah berpesan kepadaku bahwa apapun pangkat dan kekuasaanku suatu saat pasti aku akan menjadi seperti tulang ini. Karena itu aku harus adil seperti adilnya huruf alif. Adil di atas juga adil di bawah. Sebab kalau aku tidak adil maka Khalifah akan menggores leherku ini dengan pedang”.
Sedangkan di waktu yang lain Abdullah bin Rawahah mendapatkan tugas memungut sebagian hasil panen kurma orang-orang Yahudi Khaibar sesuai dengan perjanjian. Para petani yahudi tersebut mencoba menyuap Ibn Rawahah. Namun Ibn Rawahah menolak tegas, “Demi Allah, kecintaanku kepada Allah dan Rasul-Nya yang melebihi apapun di dunia ini, membuatku tidak akan pernah mengkhianati amanat ini. Tetapi demi Allah.., kebencianku yang amat sangat terhadap kalian wahai makhluk yang lebih hina dari k3r4 dan b4b1, tidak akan pernah membuatku berbuat zalim dan tidak adil sedikitpun kepada kalian”.
Mendengar pengakuan jujur Ibn Rawahah tersebut, para petani tersebut juga membuat pengakuan jujur, “karena sikap seperti inilah bumi dan langit tegak.” [8]
Inilah model keadilan dalam Islam, tanpa pandang bulu. Maka ketika sistem Islam ditegakkan oleh negara, orang kafir pun bahkan kagum karenanya.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
[1] John Perkins. 2007. Pengakuan Bandit Ekonomi: Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia & Negara Dunia Ketiga. Ufuk Press. Jakarta
[2] Muhammad Amien Rais. 2008. Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia. PPSK Press. Yogyakarta.
[3] https://www.medcom.id/telusur/medcom-files/GKd3xMpk-paradoks-kesehatan-kuba
[4] https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/15/173000165/surplus-kuba-kirim-dokter-ke-penjuru-dunia-hampir-ke-40-negara?page=all
[5] https://ekonomi.bisnis.com/read/20210325/620/1372286/argentina-tak-sanggup-lunasi-utang-rp648-triliun-ke-imf
[6] https://www.berdikarionline.com/pengalaman-dari-nasionalisasi-di-bolivia/
[7] https://otomotif.bisnis.com/read/20220119/275/1490946/penjualan-mobil-mewah-meningkat-di-2021-siapa-kuasai-pasar-indonesia
[8] Syaikh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi. Hayatus Shahabah : Kisah Kehidupan Para Sahabat Rasulullah. Qisthi Press: Jakarta.