Kekejaman Pasukan Salib dalam Penyerbuan Palestina
Dari mana pasukan Salib berasal?
Hasrat untuk mengalahkan umat Islam yang begitu tinggi, membuat Paus Urbanus II selaku pemimpin umat Kristen mengerahkan seluruh sumberdaya yang ada. Tidak semua pasukan salibis adalah orang-orang terpilih, terlatih, dan berpengalaman dalam perang. Mereka direkrut dari semua kalangan penganut Kristen dengan berbagai macam kasta, etnis, dan profesi. Sebagian besar pasukannya justru terdiri dari gembel, hamba sahaya, penjahat, pengangguran, dan narapidana.
Komposisi tersebut diakui oleh kalangan mereka sendiri. Uskup wilayah kota Akka (Akko/Acre – terletak di Galilea Barat, Israel), Jack Du Fitrey berkomentar, “Yang terlihat di tanah yang dijanjikan (Baitul Maqdis) ialah para atheis, maling, pezina, pembunuh, pengkhianat, pelawak, rahib yang suka melacur dan rahib wanita pelacur.”
Mereka keluar hanya bermodalkan semangat tinggi dan tanpa strategi. Karena kebodohan, keamatiran, dan keluguannya, mereka tidak mengetahui bahwa perjalanan mereka sangat panjang. Demi bertahan hidup, mereka melakukan berbagai tindak kriminal hingga memaksa kalangan mereka sendiri, orang-orang Byzantium dan Hongaria, untuk menghentikan kebrutalannya dengan membunuh mereka dalam jumlah yang besar.
Mengapa pasukannya disebut pasukan Salib dan peperangannya disebut perang Salib?
Hal ini disebabkan atribut salib yang selalu digunakan sebagai simbol “obsesi suci” mereka. Simbol tersebut digunakan dalam atribut-atribut perang. Pada salah satu momen, setelah berkhotbah, Paus Urbanus II memasangkan salib di atas lengan beberapa sukarelawan sebagai tanda bahwa perang ini adalah perang suci.
Beberapa contoh kebiadaban, hancurnya akhlak, dan perilaku bangsa Eropa yang jauh dari rasa kemanusiaan pada masa “The Dark Age”.
Penaklukkan wilayah yang mereka lakukan sungguhlah berbeda dengan ajaran Islam. Dalam politik internasional, kekuatan militer dan ekonomi suatu negara adalah kekuatan yang digunakan untuk menekan negara lain. Namun sungguh, apa yang mereka lakukan, jauh dari etika-etika perang dan rasa kemanusiaan. Ketika mereka memasuki suatu wilayah, mereka tidak menimbulkan rasa aman dan kesejahteraan. Yang terjadi adalah kehancuran.
Kekejaman pasukan salib tidak hanya menargetkan muslim, namun semua pihak yang menghalangi kepentingan mereka. Dalam perjalanannya, Yahudi Eropa bahkan dibantai dalam jumlah besar. Perilaku bengis tersebut bahkan juga ditakuti oleh sesama penganut Kristen. Kaisar Alexois (Kaisar dari Kekaisaran Byzantium yang terletak di Eropa Timur, penganut Kristen Katholik yang berbeda dengan Kristien Eropa Barat yang merupakan penganut Kristen Ortodoks) menolak mengizinkan mereka masuk ke kota. Ia takut para prajurit akan melakukan penjarahan seperti yang mereka lakukan terhadap puluhan kota besar dan kota kecil di sepanjang perjalanan.
Kebengisan tentara Salib juga nampak pasca keberhasilannya menaklukkan Antiokhia (salah satu wilayah Islam di bawah otoritas Dinasti Saljuk). Setelah merebut kota, penduduknya dihabisi. Ketika persediaan makanan di antara pasukan Salib menipis, mereka tidak ragu melakukan kanibalisme.
Kekejaman tersebut menanamkan teror bagi daerah sekitarnya, termasuk umat Islam yang saat itu sedang dalam keadaan lemah, terpecah belah, dan tidak berdaya. Intrik dalam Istana, perebutan kekuasaan, pemimpin-pemimpin yang lemah dari Dinasti Fatimiyah membuatnya tidak mampu menangani pasukan salib. Di sisi lain, Kekhilafahan Abbasiyah masih tak berdaya dan para emir berada dalam keadaan perang saudara terus menerus.
Parahnya, ketakutan pemimpin-pemimpin Islam terhadap pasuka salib – yang sekali lagi, mereka bukanlah pasukan terlatih – ditunjukkan dengan sikap mereka yang lebih suka menghindari konflik dengan tentara salib. Untuk menghindari serangan, mereka juga menyuplai musuh dengan makanan, persenjataan, dan ikut mengamankan rute perjalanan mereka.
Penaklukkan Yerusalem dan perebutan Baitul Maqdis pada tahun 1099 M merupakan bencana bagi umat Islam setelah Khalifah Umar bin Khattab untuk pertama kali membebaskan kota tersebut 462 tahun sebelumnya. Dalam penaklukkannya, mereka bertekad membersihkan seluruh penduduk Al-Quds, baik yang beragama Islam, Yahudi, dan Nashrani. Padahal, ketiga pemeluk agama tersebut sebelumnya hidup aman dalam lindungan Khilafah. Pasukan salib sepakat membunuh siapa saja yang mereka temui. Mereka menaklukkannya dengan paksa dan melakukan kejahatan yang membuat bulu kuduk merinding. Dalam waktu 8 hari, kaum muslimin yang dibunuh diperkirakan sebanyak 60.000 orang.
Kemenangan dan kekejian mereka kemudian dilaporkan dalam surat kepada Paus Urbanus II. Dengan bangga mereka menyampaikan, “Jika Sri Paus ingin tahu apa yang kami lakukan terhadap musuh-musuh kami, maka percayalah bahwa di Haikal (istana) Sulaiman dan rumah ibadahnya kuda-kuda kami berjalan di lautan darah kaum muslimin hingga sampai lututnya.”
Kekejian pasukan Salib dicerminkan oleh Raymond D’Aguilers (Sejarawan Perang Salib) “Di Kuil dan serambi Sulaiman (Masjid Al-Aqsha) para prajurit menunggangi kuda mereka dalam darah yang tingginya mencapai lutut dan tali kekang kuda.”
Penghancuran kota juga berdampak pada tempat ibadah. Tidak hanya menghancurkan masjid, pasukan salib juga menghancurkan sinagoge (tempat ibadah Yahudi). Mereka juga merampok berbagai inventaris tempat ibadah. Bahkan, sesama umat Kristen yang berbeda pandangan (Kristen Ortodoks), turut menderita ketika tentara salibis memaksakan Kristen Katolik versi mereka.
Berbagai tindak kejahatan tersebut menunjukkan tentara salib yang tidak menghormati arti kesucian kota. Padahal dalam berbagai khotbah menjelang perang salib, senantiasa disebutkan bahwa kota tersebut adalah kota suci mereka. Hal ini membuktikan, bahwa motif agama yang selama ini digembar-gemborkan oleh kalangan agamawan Kristen untuk memotivasi pasukan salib adalah palsu dan hanya sebagai pembungkus motif-motif lainnya yang tersembunyi.
Kengerian peristiwa ini juga diperkuat oleh Raimond Dajil, “Ada hal yang sangat luar biasa terjadi di kalangan orang-orang Arab! Ketika bangsa kami menguasai benteng pertahanan Al-Quds, kepala sebagian mereka dipenggal dan itu relatif lebih ringan dari apa yang mereka alami akibat ulah kami. Perut sebagian mereka dibelah dan mereka dipaksa menjatuhkan diri dari atas benteng untuk menyelamatkan diri. Sebagian dari mereka dibakar dengan api dan sebelumnya disiksa siang dan malam. Yang terlihat di jalanan dan lapangan Al-Quds adalah timbunan kepala, kaki, dan tangan orang-orang Arab. Orang tidak bisa berjalan kecuali di atas bangkai mereka. Itu hanya sebagian dari apa yang mereka alami! Bangsa kami telah melewati batas dalam menumpahkan darah di Haikal Sulaiman. Bangkai-bangkai orang yang terbunuh berenang di halaman sana sini. Tangan dan lengan yang berserakan berenang sepertinya ingin menyatu dengan bangkai-bangkai yang asing baginya. Terkadang lengan-lengan bersentuhan dengan tubuh yang tidak dikenalnya. Tentara-tentara yang melakukan kekejaman itu sendiri tidak sanggup menahan bau yang timbul dari bangkai-bangkai tersebut kecuali dengan susah payah.”
Demikianlah, ketika umat Islam begitu lemah, tercerai berai tanpa persatuan, dan jauh dari ajaran-ajaran Islam, maka Allah menghinakan mereka dan menguatkan musuh-musuh mereka. Al-Quds berada dalam cengkeraman tentara-tentara salib selama 92 tahun (perhitungan hijriyah) dan 88 tahun (menurut perhitungan masehi) hingga kemudian Allah kirim pemimpin yang kuat dalam beragama, Shalahuddin Al-Ayyubi. Al-Quds kemudian terus dikuasai oleh umat Islam selama 7 abad, hingga pasukan Salib yang dipimpin oleh Jenderal Allenby dari Inggris berhasil menaklukkan Palestina pada perang dunia pertama. Dalam keadaan mabuk, ia mengatakan kalimat legendarisnya, “Hari ini, perang salib telah berakhir.”
Kebencian atas umat Islam juga diungkapkan oleh komandan salib asal Perancis setelah penaklukkan tersebut. Ia menyempatkan pergi ke makam Shalahuddin di Damaskus, dan di hadapan kuburnya ia mengatakan, “Wahai Shalahuddin, inilah kami telah kembali.”
Tidakkah kita mengambil pelajaran?
Sumber:
Ali Muhammad Ash-Shallabi. 2014. Bangkit dan Runtuhnya Daulah Bani Saljuk. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira. Jakarta.
Muhammad Sayiid Al-Wakil. 2005. Wajah Dunia Islam Dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.