Kelicikan Negara Adidaya Dalam Penjajahan Hukum Internasional
Kaum Muslim di Palestina, Rohingya, Xinjiang, dan daerah-daerah lain mengalami penderitaan akibat penjajahan kaum kafir, sementara kaum Muslim hanya bisa menyaksikan hal tersebut bagai sinetron yang berulang-ulang, tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka paham bahwa mereka wajib untuk membela saudaranya dengan jihad mengangkat senjata, namun itu semua terhalang atas dasar “hukum internasional” yang tidak memperkenankan intervensi kaum Muslim kecuali melalui meja runding PBB.
Maka, apa yang disebut sebagai Hukum Internasional atau Undang-Undang Internasional sejatinya tidak boleh ada dan tidak boleh dibuat. Sejarah dan realita di masa kontemporer membuktikan bahwa ialah biang kerok yang menjadikan kaum Muslim tidak bisa melaksanakan jihad untuk mengekspansi wilayah kekuasaan Khilafah dan mengintervensi secara militer untuk membela saudara-saudaranya yang tertindas di regional-regional tertentu.
Selain itu, ada tiga alasan lagi yang mendasari ketidak-bolehan Hukum Internasional, yakni:
- Bahwa hukum dan undang-undang adalah perintah penguasa. Padahal tidak ada satu penguasa pun yang berhak mengklaim sebagai pihak paling berkuasa atas negara-negara dunia dan masyarakat internasional.
- Bahwa undang-undang dalam hukum internasional itu wajib diterapkan, sehingga harus ada satu kekuasaan untuk menerapkannya. Padahal, tidak boleh ada satu kekuasaan internasional yang menerapkan perintah-perintahnya dengan kekuatan militer atas seluruh negara-negara di dunia. Karena yang demikian itu akan mendatangkan banyak perang dan konflik berdarah.
Kita bisa melihat eksistensi kekuatan militer yang berlagak menjadi “polisi dunia” seperti Holy League di zaman Eropa dulu maupun militer Amerika Serikat, NATO (North Atlantic Treaty Organization), maupun “pasukan perdamaian” PBB di zaman sekarang telah menimbulkan banyak bencana di berbagai regional, alih-alih menuntaskan permasalahan yang ada.
- Bahwa keberadaan undang-undang itu adalah untuk mengatur interaksi-interaksi. Sementara itu, interaksi-interaksi internasional sesungguhnya muncul di antara komunitas-komunitas manusia secara sukarela. Interaksi antara dua negara atau lebih, masing-masing mengatur kepentingan keduanya malelui kerelaan keduanya. Dengan demikian, yang mengatur interaksi ini adalah kesepakatan (Norma Internasional), bukan Hukum Internasional.
Adapun penderitaan dunia akibat negara-negara adidaya, sebenarnya bukan karena negara-negara adidaya itu sendiri, melainkan karena berkoalisinya negara-negara tersebut dan berkumpulnya mereka untuk membagi-bagi kepentingan dan manfaat. Koalisi inilah yang menjadi biang keladi penderitaan.
Bahkan koalisi ini akan membahayakan negara-negara lain baik negara kecil maupun negara adidaya, baik koalisi itu dalam bentuk tradisional dimana masing-masing negara berbagi harta rampasannya secara sama rata, maupun dalam bentuk modern, dimana negara adidaya nomor satu saat ini, AS, mendominasi negara-negara anggota koalisinya untuk mewujudkan kepentingannya sendiri sebagai prioritas utama, menguasai semua atau sebagian besar harta rampasan, dan tidak menyisakan anggota-anggota koalisi lain kecuali sedikit.
Inilah yang terjadi pada koalisi negara-negara pada Perang Teluk II, ketika Irak menginvasi Kuwait, kemudian AS melancarkan invasinya yang sangat brutal pada permulaan tahun 1990-an dan berkoalisi dengan 30-an negara. Demikian pula halnya dengan invasi AS terhadap Irak pada tahun 2003, ketika AS dan sekitar 30 negara sekutunya menduduki Irak atas nama “koalisi multi-nasional”. Dari sekian banyak anggota negara koalisi, AS meraih keuntungan materiil dan rampasan perang paling banyak. Sementara negara-negara anggota lain hanya mendapat “remah-remah roti”.
Untuk menghancurkan ide koalisi negara adidaya secara total, kita butuh sebuah negara yang kuat untuk menantang ide koalisi tersebut. Selagi negara-negara adidaya sekarang ini tetap mendukung ide koalisi negara untuk melayani kepentingan mereka sendiri melalui Dewan Keamanan PBB, akan sangat sulit bagi negara-negara yang menderita akibat koalisi tersebut untuk melenyapkan ide koalisi ini. Tegaknya Daulah Islam adalah satu-satunya harapan bagi negara-negara yang tertindas untuk membebaskan diri dari ide koalisi.
Namun, mengatasi sebab-sebab penderitaan itu bukan berarti setelahnya tidak terjadi lagi perang, kegelisahan, dan kekacauan. Bukan berarti setelah itu tidak ada lagi perangkap internasional, manuver-manuver politik, serta kebohongan-kebohongan yang busuk. Akan tetapi arti penyelesaian itu adalah menghilangkan mimpi buruk bersama yang sangat berat untuk dihindarkan. Sebab, konflik antara negara adalah hal yang wajar. Begitu juga peperangan yang terjadi antar-negara, munculnya manuver, dan kebohongan, merupakan hal yang pasti terjadi.
Tetapi itu hanya akan merupakan peristiwa yang kasuistik, atau merupakan peristiwa terbatas dan tidak akan sampai menjerumuskan seluruh dunia ke kancah peperangan sebagaimana yang terjadi pada dua perang dunia yang telah lampau. Demikian pula negara-negara adidaya tidak akan berpikir untuk menghisap darah bangsa-bangsa di dunia, sebagaimana yang terjadi sekarang.
Yang akan ada di dunia hanyalah apa yang menjadi tabiat manusia, yakni adanya petunjuk dan kesesatan, adanya kebaikan dan keburukan, adanya yang terpuji dan tercela, serta adanya ini dan itu. Tidak seperti sekarang, dimana dunia ini yang ada berisi keburukan melulu, khususnya sejak bercokolnya ide koalisi negara-negara adidaya, keluarga internasional, hukum internasional, dan imperialisme hingga detik ini. Maka dari itu, keburukan yang telah mencengkram dunia selama berabad-abad harus dibatasi. Harus pula diwujudkan sebuah negara yang mampu membatasi keburukan itu, yaitu negara Khilafah Islamiyyah. Wallahu a’lam.[]
Sumber :
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani. 2005. Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir (Edisi Mu’tamadah).