Kemustahilan Ateisme Di Balik Bencana Geologi
Jika kita mengamati alam dan lingkungan dengan seksama, maka kita akan memahami bahwa alam dilengkapi dengan seperangkat mekanisme hukum alam yang membuat alam itu sendiri dapat tetap lestari. Jika pada suatu tempat terjadi proses alamiah yang bersifat konstruktif, maka di bagian lain akan ada proses yang bersifat destruktif. Jika di suatu bagian terjadi peningkatan tekanan, maka di bagian lain akan terjadi proses pelepasan tekanan. Jika di suatu cekungan terjadi sedimentasi, maka di punggungan lain akan terjadi erosi. Begitu seterusnya hingga bumi terus mengalami proses penyeimbangan.
Sama halnya dengan mekanisme bencana. Bencana alam merupakan salah satu mekanisme alamiah yang bertujuan untuk menyeimbangkan kondisi bumi, agar tetap lestari.
Jika alam mencoba mempertahankan kondisi idealnya, maka manusia pun begitu. Manusia dilengkapi dengan naluri bertahan diri, yang berfungsi untuk mempertahankan eksistensi dirinya. Maka, manusia merespon mekanisme alamiah ini dengan mengobservasi dan berusaha memprediksi kapan terjadinya bencana alam.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Zhang Heng, ilmuwan hebat dari Dinasti Han di Cina. Pada 132 M, ia merancang suatu alat yang menjadi cikal bakal seismograf yang digunakan untuk mengamati pergerakan gempabumi. Hasil observasi tersebut kemudian dijadikan landasan untuk memprakirakan kemungkinan lokasi terjadinya gempabumi di masa yang akan datang.
Berbagai macam data pengamatan bencana alam, dijadikan referensi oleh manusia untuk memprediksi datangnya bencana alam. Mulai dengan mengamati secara subyektif dengan panca indera manusia, hingga di masa kini dengan data yang direkam oleh satelit, yang mampu mengumpulkan data kondisi atmosfer hingga pergerakan lempeng tektonik.
Begitupun yang dilakukan oleh Kongres AS pada 1977 M ketika mendirikan NEHRP (National Earthquake Hazards Reduction Program) yang ditujukan untuk mengurangi risiko kerugian jiwa dan harta benda akibat gempabumi yang terjadi pada masa depan di Amerika Serikat melalui pembentukan dan pemeliharaan program pengurangan bahaya gempa yang efektif. Dengan adanya program ini, diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan lokasi gempabumi akan terjadi, namun belum dapat diandalkan dalam penentuan tanggal dan waktu terjadinya gempabumi. Kesimpulannya, observasi dan analisis terhadap fakta yang diperoleh selama ini belum cukup untuk melakukan suatu prakiraan bencana yang akurat.
Tidak bisa berhenti sampai disitu. Sebab, memprediksi terjadinya bencana saja tidak cukup untuk mengurangi jumlah korban jiwa dan harta benda. Harus ada upaya untuk mengantisipasi dampak yang dihasilkan ketika bencana terjadi. Maka, dibuatlah mitigasi bencana yang berpedoman pada pemahaman manusia atas cara kerja bencana alam dan pemanfaatan hukum-hukum alam untuk mengurangi efek negatif dari bencana tersebut.
Ketika manusia telah memahami cara kerja suatu bencana alam, maka mereka akan selalu waspada dan dengan mudah mencari tempat perlindungan yang aman dari dampak negatif bencana alam tersebut. Misalnya, dengan menjauh dari pusat erupsi gunungapi ketika terjadi erupsi, atau dengan berlindung di bawah meja ketika terjadi gempabumi. Begitu pula dengan desain-desain konstruksi yang dibangun dalam rangka mengurangi efek negatif bencana alam, yang tidak mungkin dilakukan jika tidak memahami mekanisme alamiah dari bencana alam tersebut.
Inilah titik kritis yang perlu kita pahami. Bahwa, suatu bencana alam tidak dapat terjadi begitu saja. Ia memiliki penyebab-penyebab yang spesifik, yaitu suatu kondisi yang menyebabkan suatu bencana geologi layak terjadi, yang dalam pengamatan manusia sesuai dengan hukum alam.
Maka yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa ada penyebab tersebut dan mengapa penyebab itu terjadi spesifik pada waktu tertentu? Hal inilah yang belum terjawab oleh manusia. Bahkan jika kita bertanya lebih jauh lagi, mengapa harus ada hukum alam? Terhadap pertanyaan ini, manusia hanya dapat menjawab sebatas mekanismenya saja.
Dengan memahami hakikat bencana alam serta hukum alam yang bekerja pada fenomena tersebut, dapat kita sadari bahwa manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang terbatas. Manusia bahkan hanya bagian yang sangat kecil dari komponen alam semesta. Alam semesta yang memiliki keteraturan luar biasa, hingga dapat bertahan sejak Big Bang 14 milyar tahun yang lalu merupakan bukti sahih bahwa hukum alam bukanlah suatu hasil proses acak, sebagaimana dalih para penganut materialisme.
Bencana dan kondisi geologi justru mengajari kita, bahwa segala yang ada di alam semesta ini memiliki keteraturan yang sungguh sangat rapi dan teliti. Kita dapat amati, bagaimana persebaran gunungapi serta zona rawan gempabumi tersebar secara rapi di batas-batas lempeng tektonik. Bagaimana pula kekuatan bencana alam yang super dahsyat dapat meluluhlantakkan peradaban manusia, yang bahkan proses yang destruktif ini terjadi dengan sangat teratur. Bahwa, gempabumi diawali dengan foreshock dan diakhiri dengan aftershock. Erupsi gunungapi yang tiap gunung memiliki karakteristik erupsi yang berbeda-beda. Sehingga manusia pun dapat menemukan suatu pola keteraturan hingga dapat beradaptasi dengan bencana dan meminimalisir dampak negatifnya.
Jika kita cermat memahami realitas ini, maka kita akan sampai pada suatu pertanyaan: Siapa yang membuat alam semesta ini sedemikian teraturnya? Jika kita menjawabnya dengan hukum alam, maka pertanyaannya akan berlanjut: siapa yang memformulasikan hukum alam ini hingga semuanya menjadi sangat pas?
Sampai disinilah batas manusia. Manusia tidak dapat menjelaskan jawaban dari pertanyaan itu. Pada kondisi seperti ini, manusia akan memahami bahwa sesungguhnya ada suatu subjek yang mempunyai kewenangan dalam mengatur seluruh mekanisme alamiah ini, yang kita sebut sebagai Sang Pencipta.
Oleh karena itu, dalam proses berawalnya alam semesta hingga saat ini, adalah sebuah kepastian bahwa ia melibatkan suatu desain Mahasempurna dan Mahatepat. Pasti ada penciptaan yang disengaja dan direncanakan oleh Sang Pencipta. Hal ini menjadi kesimpulan umum para ilmuwan, termasuk ilmuwan yang berpaham materialisme yang tidak mengakui adanya Sang Pencipta.
Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. Materialis Inggris, Henry Lipson (1910-1991) menerima kebenaran penciptaan, meskipun ‘tidak dengan senang hati’, ketika dia berkata,
“…If living matter is not, then, caused by the interplay of atoms, natural forces, and radiation, how has it come into being? … I think, however, that we must go further than this and admit that the only acceptable explanation is creation… I know that this is anathema to physicists, as indeed it is to me, but I must not reject a theory that we do not like if the experimental evidence supports it.”
“…jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul? …Namun, saya pikir, kita harus mengakui bahwa satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan… Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya. Namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti eksperimental mendukungnya”.
Inilah kesimpulan yang seharusnya dibuat oleh manusia ketika mengamati semua fenomena alam yang dapat mereka indera di dunia ini. Ada satu hal penting yang kita dapatkan ketika kita menyingkirkan semua kemungkinan jawaban yang ada, walaupun kenyataan ini mungkin sesuatu yang tidak dapat dijelaskan sains: “Sang Pencipta mutlak adanya”.
God does exist, or should I say: God must exist! []
Referensi Bacaan:
Abdullah, M. H. (2002). Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.
An-Nabhani, T. (1993). Peraturan Hidup dalam Islam. Bangil: Pustaka Al-Izzah.
Arya, A. S., Boen, T., & Ishiyama, Y. (2014). Guidelines for earthquake resistant non-engineered construction. UNESCO.
Siauw, F. Y. (2014). Beyond the inspiration. Jakarta: AlFatih Press.
Thompson, Bert. (1977). Issues In Evolution. Montgomery: Apologetic Press.
Yuxia, F. R. W. (2003). Reconstruction of Mechanical Principles of the Zhang Heng’s Seismoscope [J]. Earthquake Research In China, 4.