BudayaSejarahTeknologi

Ketika Islam Menjadi Pusat Peradaban Dunia

Share the idea

Termotivasi bahwa menuntut ilmu dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah ibadah, pada masa dinasti Abbasiyyah didirikanlah lembaga pendidikan di Baghdad yang terkenal sebagai “House of Wisdom”, Rumah Kebijaksanaan, Bayt Al-Hikmah. Lembaga ini didirikan pada masa Harun Ar-Rasyid, Khalifah yang menjadikan Bani Abbasiyah mencapai puncak kemegahan dan kesejahteraan yang belum pernah dicapai sebelumnya.

Pada masanya, Baghdad menjadi induk dunia, tempat lahirnya berbagai peradaban dengan penduduk melebihi dua juta orang. Al-Khatib Al-Baghdadi (ulama sunni ahli hadits dan sejarawan) menuturkan, “Baghdad tidak ada bandingannya di dunia dari segi kemuliaan nilainya, kemegahannya, banyaknya ulama dan cendekiawan.”

Catatan: Peradaban Islam menarik hati orang-orang Eropa, termasuk raja-rajanya. Di masa pemerintahan Raja Roger II dan Frederick II (Raja Sisilia – Italia), pakaian dan cara hidup mereka terinspirasi dari pakaian dan cara hidup bangsa Arab. Penasehat dan pegawai banyak yang berasal dari kaum muslimin. Yang lebih mengherankan, tiga Raja bangsa Normand di Sisilia menggunakan gelar-gelar Arab. Roger II bergelar Al-Mu’taz Billah, William I bergelar Al-Hadi Biamrillah, dan William II menggunakan gelar Al-Musta’iz Billah. 

Umat Islam percaya bahwa kemajuan ilmu pengetahuan akan meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan kebahagiaan, sebagai salah satu wujud penguasa mengurusi rakyatnya. Bahkan pada masanya, House of Wisdom memiliki ruang lingkup yang sangat luas, yang dapat mengalahkan instansi pendidikan modern. Ia merupakan universitas, perpustakaan, lembaga terjemahan, sekaligus laboratorium pendidikan, semuanya dalam satu kampus.

Ia menjadi pusat pengembangan pengetahuan, yang mengumpulkan cendekiawan dari seluruh dunia, mulai dari Yunani, Koptik, Persia, India, baik muslim maupun non-muslim, didatangkan untuk belajar satu sama lain, disatukan untuk memajukan ilmu pengetahuan dengan cara yang menguntungkan seluruh dunia.

Catatan: Untuk memotivasi para cendekiawan, Khilafah memberikan hadiah emas bagi siapa saja yang berhasil menerjemahkan buku apa pun dari bahasa aslinya ke bahasa Arab, sebarat bobot buku tersebut. Walaupun berpusat di Baghdad, berkembangnya ilmu pengetahuan dapat dirasakan oleh seluruh dunia. Inovasi ini bahkan diakui oleh Paus Katolik Silvester II, yang juga ikut serta belajar di wilayah muslim Spanyol dan Afrika Utara.

Banyak sejarawan yang menyebut zaman keemasan Islam ini sebagai “The Golden Age of Islam”. Sebaliknya, di masa yang sama, Eropa sedang mengalami “The Dark Ages” atau masa kegelapan (banyak sejarawan yang tidak ingin mengakui keterbelakangan Eropa, sehingga menyebut “The Dark Ages” sebagai “Abad pertengahan”.

Terdapat beberapa aspek unik yang patut menjadi catatan:

1. Khilafah berhasil merobohkan “dinding” yang sebelumnya memisahkan berbagai kelompok berbeda. Sebelum Islam, tidak ada alasan bagi seorang cendekiawan Alexandria (Mesir) melakukan perjalanan jauh ke Ctesiphon (Persia) untuk belajar dan mengajar. Andaikata ia melakukannya, perbedaan bahasa menjadi sebuah hambatan dan membuatnya tidak terlalu bermanfaat bagi orang-orang Persia.

2. Bahasa Arab telah menjadi lingua franca (bahasa pergaulan yang dapat menyatukan antar bangsa dengan latar belakang yang berbeda, di zaman sekarang seperti bahasa Inggris yang berlaku secara internasional). Sebagai bahasa pemersatu, bahasa Arab digunakan sebagai media komunikasi antar ilmuwan.

3. Satu hal paling masuk akal yang menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa umat Islam begitu bersemangat meluangkan waktu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, adalah karena ibadah. Ayat-ayat dan hadits Nabi banyak memotivasi umat Islam untuk merenungkan dunia di sekitar mereka, menjanjikan para penuntut ilmu dimudahkan jalan menuju Surga, dan lain-lain.

Catatan: Motivasi karena ibadah yang menjadikan Islam sebagai pemakmur bumi tersebut sangatlah jauh dibandingkan dengan kebangkitan Eropa yang diiringi dengan berbagai penjajahan yang menimbulkan berbagai penderitaan. Jika muslim termotivasi karena ibadah, sebaliknya, Eropa termotivasi oleh egoisme mereka untuk menguasai (menjajah) dunia.

 Walau tak dapat mencakup semua, izinkan penulis memaparkan sedikit dari sekian banyak penemuan umat Islam yang memberikan kontribusi luar biasa bagi peradaban manusia.

1. Di saat orang-orang Yunani mengalami kebingungan dan gagal memisahkan aljabar teoritis dan geometris, Al-Khawarizmi menemukan angka nol. Kata aljabar berasal dari judul bukunya “Al-Jabr” yang berarti “penyelesaian”. Bagi setiap muslim, studi matematika tidak boleh menjadi sebuah momok menakutkan, namun haruslah menjadi sebuah perjalanan religius dan wujud kecintaan untuk menyibak kekuasaan Allah atas berbagai aturan alami dunia.

2. Keinginan untuk mencapai akurasi yang tepat dalam menghadap kiblat ketika shalat, Al-Battani berhasil mengembangkan trigonometri dan membuat buku pedoman yang mencantumkan ratusan kota, koordinat, dan arah kiblat ke Mekkah. Karena alasan inilah, banyak masjid yang dibangun lebih dari seribu tahun lalu ditemukan telah mengarah langsung ke Mekkah dari ribuan kilometer jauhnya. Sifat trigonometri tersebut menjadi dasar cara kerja GPS saat ini.

3. Ketika teori Ptolemy (ilmuwan Yunani) tentang “geosentris” (bumi mejadi pusat pergerakan benda-benda langit) dianggap terobosan akhir tentang astronomi, Al-Biruni mengemukakan teori “heliosentris” (bumi lah yang mengelilingi matahari). Teori ini kemudian dikembangkan oleh Al-Majriti, dan karyanya tersebar luas ke seluruh benua, hingga menginspirasi Copernicus dan Galileo untuk mengungkap teori yang sama. Pengembangan astronomi memudahkan umat Islam melakukan berbagai pelayaran dakwah dan perjalanan Haji ke Mekkah.

4. Ketika orang Yunani menghitung ukuran bumi dengan hasil yang meleset jauh (karena mengecilkan ukuran Samudra Atlantik), geografer muslim mendapatkan hasil bahwa diameter bumi adalah 12.728 kilometer, hanya meleset sekitar 37 kilometer. Selanjutnya, mereka menghitung keliling bumi sejauh 39.968 kilometer, sementara kenyataannya adalah 40.074 kilometer. Sebuah perhitungan mencengangkan, mengingat belum ditemukan satelit dan teleskop.

5. Al-Idrisi berhasil memperbaiki peta buatan Ptolemy, dengan keakurasian dan detail tak tertandingi (bahkan lengkap dengan deskripsi budaya, politik, serta masyarakat), sehingga dijadikan patokan bagi para geografer dunia. Bahkan, peta buatannya dipesan khusus oleh Raja Roger II (Raja Sisilia – Italia). Peta buatannya sangat memudahkan umat Islam melakukan dakwah.

6. Ketika orang-orang Eropa meyakini bahwa penyakit adalah hukuman dari Tuhan, Ibnu Sina (di Eropa dikenal sebagai Avicenna. Karya terkenalnya berjudul Al-Qanun, diterjemahkan menjadi Canon of Medicine) membantah teori tersebut dan mengemukakan bahwa penyakit berasal dari sebuah rantai kasual dengan karakteristik unik yang dapat menyebar melalui udara, air, dan tanah.

Catatan: Di masa ini, rumah sakit Islam dibangun khusus untuk memelihara kesehatan warga miskin, karena orang kaya mampu mempekerjakan dokter pribadi. Rumah sakit yang dibangun bahkan telah menyerupai konsep rumah sakit modern (dari sisi ukuran dan ruang lingkup). Perbedaan terbesar rumah sakit modern dan rumah sakit saat itu, adalah layanan kesehatan yang sepenuhnya gratis.

Kelak, hasil interaksi Eropa dengan umat Islam pasca Perang Salib, menginspirasi mereka untuk bangkit dan mengejar ketertinggalan. Di saat Eropa terinspirasi untuk maju, umat Islam yang terlena dengan berbagai capaian mereka mengalami malapetaka di jantung dunia Islam akibat serangan bangsa Mongol.

Ketika cahaya kreativitas ilmiah muslim mulai meredup dan umat Islam merasa puas, Kristen Eropa mulai mengambil alih. Mereka mulai menerjemahkan ratusan teks bahasa Arab ke dalam bahasa latin di masa Renaissance. Di sana, terjadi revolusi ilmiah, hingga kemudian kita mengenal nama-nama Copernicus, Galileo, dan Newton.

Catatan: Transfer peradaban Islam ke Eropa setidaknya dilakukan melalui 3 jalur utama, yaitu 1) Andalusia (Spanyol), 2) Sisilia (Italia), dan 3) Perang Salib. Invasi besar dari bangsa Mongol yang berada 5.000 kilometer jauhnya dan dampak Perang Salib terhadap kemunduran umat Islam, akan kita bahas pada artikel-artikel selanjutnya.

Sumber:

Adnan Khan. 2008. Mitos-Mitos Palsu Ciptaan Barat. Pustaka Thariqul Izzah. Bogor.

Ahmad Al-‘Usairy. 2008. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX.Akbar Media Eka Sarana. Jakarta.

Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira. Jakarta.

Raghib As-Sirjani. 2009. Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 

Tim Riset dan Studi Islam Mesir. 2013. Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid 1. Pustaka Al Kautsar. Jakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *