Ketika Tiongkok Mewujudkan Imaji Fasisme ala George Orwell
Jika kita mencermati kasus Uighur dengan logika yang waras, maka niscaya timbul empati kita terhadap Uighur. Mari kita lihat data dari Human Rights Watch (HRW). Apa itu HRW? Kredibilitas HRW sebagai lembaga non pemerintahan yang fokus mencatat pelanggaran HAM di suatu negara tidak lagi diragukan. Mengapa? Selain karena perwakilan HRW yang tersebar di seluruh dunia, HRW seringkali memberdayakan warga negara dari negara yang bersangkutan. Tentunya mereka memahami betul seluk-beluk penindasan yang dilakukan negara terhadap rakyatnya. Hingga saat ini, HRW masih menjadi lembaga objektif dalam kasus kemanusiaan, dengan ikut menyerang Amerika Serikat atas kasus Guantanamo, Afghanistan, Snowden, dll.
Menurut laporan HRW, Otoritas Beijing telah melakukan penahanan massal komunitas Uighur sejak 2016 lalu. Angkanya tidak main-main, dengan kurang lebih 13 juta jiwa telah menjadi target penahanan di kamp destinasi massa milik Tiongkok.
Di sana mereka dipaksa untuk menerima doktrin politik ala komunis Tiongkok. Dilarang untuk keluar dari sana hingga ditindas secara agama. Bagi siapa saja yang menganggap hal ini normal, maka otaknya satu juta persen merupakan bagian dari otak FASIS!
Lebih jauh lagi, Pemerintah Tiongkok menciptakan mimpi buruk di wilayah komunitas Uighur terkonsentrasi. Otoritas Beijing merealisasikan lingkungan “Dystopia” ala George Orwell dalam novelnya yang berjudul “1984”, yang mana mereka dimata-matai menggunakan sebuah sistem yang dikenal dengan the Integrated Joint Operations Platform atau kerap disebut IJOP, dan dalam bahasa Tiongkok ditulis 体化联合作战平台.
Saat tim HRW menganatomi sistem ini, mereka menemukan bahwa software tersebut digunakan oleh Beijing untuk mengumpulkan informasi pribadi seseorang dalam jumlah massal. Selain itu, alat ini juga digunakan oleh mereka untuk melacak pergerakan seseorang.
Ini mimpi buruk yang digambarkan Orwell tentang masyarakat yang tidak mempunyai hak atas privasinya lagi. Setiap aktivitas mereka dimonitoring oleh sebuah sistem dengan dalih keamanan, padahal nyatanya demi mengendalikan. Cara-cara seperti ini lazim digunakan oleh rezim fasis.
Kisah yang lebih menyentuh datang dari seorang gadis yang tinggal di Kazhakstan dan kehilangan ayahnya saat sang ayah bertandang ke Xinjiang. Dia adalah Bota Kussaiyn. Menurut Bota, ayahnya mengunjungi Xinjiang demi bertemu seorang dokter di wilayah tersebut.
Bota dan keluarga sendiri pada dasarnya berasal dari Xinjiang, namun pada 2013 lalu mereka memilih pindah ke Kazakhtan. Dari informasi yang dia dapat, sang ayah dimasukkan oleh Otoritas Beijing ke kamp yang secara halus dikenal sebagai kamp pendidikan ulang. Bota hanya salah satu anak dari ratusan ribu anak yang mengalami hal itu.
Kisahnya ia ceritakan kepada lembaga kemanusiaan Amnesty International (AI). Sampai saat ini Bota belum bisa bertemu dengan ayahanda yang begitu ia cintai. Sang ayah masih ditahan di kamp yang menurut AI digunakan sebagai kamp untuk memaksa masyarakat menghapuskan kepercayaan terhadap agamanya dan memaksa mereka untuk bersikap loyal terhadap negara.
Hanya Hoaks?
Pemerintah Tiongkok, yang bahkan juga didukung oleh beberapa pihak di Indonesia menolak tudingan bahwa kamp tersebut dioperasikan dengan melanggar norma HAM. Sebagai masyarakat, tak jarang dari kita yang bahkan menganggap bahwa narasi pelanggaran HAM ini hanya hoaks. Benarkah demikian?
Maka, terpaksa dikatakan bahwa mereka yang menganggap semua itu hoaks adalah orang-orang yang hidup di tengah-tengah rimba belantara, hingga belum mengenal yang namanya smartphone terlebih lagi internet. Mereka tidak dapat membaca, atau bahkan lebih tepatnya malas untuk membandingkan berita dan laporan dari berbagai lembaga kemanusiaan yang kredibel terkait kasus tersebut.
Namun, bagi siapa saja yang memiliki smartphone, tinggal di kota, melek internet, tapi masih menganggap semua itu hoaks, maka sesungguhnya kualitas intelektualitasnya layak untuk diragukan karena tidak dapat mencerna kebenaran. Dan bagi siapa saja yang masih mengaku seorang intelektual tapi menolak fakta tersebut, maka patutlah dicurigai bahwa ia telah kenyang dengan aliran dana dari Beijing.
Baik, begini faktanya. Pada 10 Agustus lalu, panel HAM PBB menerima berbagai informasi kredibel mengenai setidaknya satu juta orang ditahan dalam kamp “rahasia” tersebut. Mohon dibaca kembali baik-baik. Kamp rahasia. Kenapa harus rahasia? Kalau kamp itu memang diperuntukkan bagi kebaikan, kenapa justru dirahasiakan?
Di sisi lain, Tiongkok terus menuding bahwa tuduhan pelanggaran HAM terhadap etnis Uighur adalah hoaks, namun mereka merahasiakan kamp tersebut. Bukankah ini suatu kejanggalan?
Asumsi ini tidak sendirian. John Fisher dari HRW juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, Tiongkok telah gagal menjelaskan mengenai tudingan bahwa mereka melakukan pelanggaran HAM di kamp neraka tersebut.
Kalau memang hoaks, mari kita lakukan pembuktian terbalik. Beranikah Tiongkok memberikan kesempatan kepada para jurnalis dari media kredibel mengakses kamp tersebut secara bebas tanpa pendampingan ketat dan membiarkan PBB melakukan investigasi?
Memang benar bahwa beberapa bulan lalu ada sebagian jurnalis dari media arus utama di Indonesia diundang Beijing untuk bertandang ke sana. Namun, salah satu jurnalis yang diundang menuturkan kesaksian bahwa mereka tidak dengan bebas melihat dan menelusuri kamp tersebut. Justru mereka diarahkan oleh seorang tour guide, yang sudah tentu tidak akan mengarahkan ke tempat yang mencoreng citra Tiongkok. Terlebih lagi, perjalanan itu sepenuhnya diakomodasi oleh Tiongkok. Mana mungkin mereka mengizinkan para jurnalis hingga berani menulis secara blak-blakan? []
Sumber:
Tiongkok says Uyghur detention centers fight terrorism, rejects UN criticism.
https://www.pri.org/stories/2018-11-06/Tiongkok-says-Uyghur-detention-centers-fight-terrorism-rejects-un-criticism.
Tiongkok’s Algorithms of Repression. https://www.hrw.org/report/2019/05/01/Tiongkoks-algorithms-repression/reverse-engineering-xinjiang-police-mass-surveillance.
Tell Tiongkok to close its secret ‘re-education’ camps for ethnic minorities. https://www.amnesty.org/en/get-involved/take-action/tell-Tiongkok-to-close-its-secret-reeducation-camps-for-ethnic-minorities/