Kisah Dramatis Sang Sultan yang Tetap Setia Kepada Khilafah Hingga Kematiannya
Indonesia sejatinya tidak dijajah 350 tahun. Bahkan hingga tahun 1904, sultan Aceh, Bone, dan raja-raja Bali masih gagah menolak tunduk kepada penjajah.
Dalam kasus Aceh, perang terbuka antara Aceh dan Belanda itu nyatanya terjadi lebih dari 30 tahun, yakni pada tahun 1873-1904.
Belanda sendiri baru dapat mengumumkan perang terbuka pada 1873, yakni tiga tahun sepeninggal Sultan Manshur Syah yang membaiatkan diri dan rakyatnya pada Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Dalam suratnya kepada Khalifah Abdul Majid I pada 1850, Sultan Mansyur Syah meminta sebuah titah resmi (ferman) dari Khilafah untuk menjadikan seluruh sultan dan raja di Nusantara menggalang jihad fi sabilillah menaklukkan Batavia dan mengusir Belanda. Menurut Sultan Manshur Syah, perang raya itu hanya dapat diciptakan atas izin Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Pengiriman surat dari Kesultanan Aceh bahkan masih terjadi di masa sultan terakhirnya, Muhammad Daud Syah. Sayangnya, surat tertanggal 26 Juni 1897 ini tak pernah sampai kepada Sultan Abdul Hamid II yang berkuasa kala itu, karena disabotase oleh agen kepercayaan Belanda, Snouck Hurgronje.
“Kepada Khalifah al-Muslimin, Amir al-Mu’minin, Maulana Sultan al-Ghazi ‘Abdul Hamid Khan di Istanbul adanya.“
Maka yang hamba haraplah diterima perserahan hamba ini oleh Tuan yang mahamulia, supaya terpeliharalah agama Allah dan syariat al-Muhammadiyyah, dan untungan hamba, dan sekalian (rakyat) Islam min ahli la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang di dalam aniaya mal’un ‘aduwullah kafir Hulanda (musuh Allah yang terlaknat kafir Belanda)..”
Sultan Muhammad Daud Syah sendiri baru bisa dipaksa tunduk menjelang berakhirnya perang melalui cara pengecut nan licik, yakni dengan menyandera istrinya. Selain melucuti Siwah Emas kebesarannya, sepatu sang sultan pun dibuka dan dibiarkan berjalan tanpa alas kaki.
Setelah ditangkap dan diasingkan ke Ambon, pada 1917 sang Sultan diperbolehkan kembali kecuali ke Sumatra. Sultan Daud memilih Batavia sebagai kediaman hingga wafatnya pada 6 Februari 1939 dan dimakamkan di daerah Rawamangun, yang saat ini berada dekat dengan kampus Universitas Negeri Jakarta.
Sultan Daud Syah sendiri tidak pernah mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional, walau mungkin beliau pun tak pernah mengharapkan namanya dikenang dalam perayaan semacam itu. Haluannya lain, patokannya lain, pun cita-citanya lain.
Sebagaimana kakeknya dahulu (Sultan Manshur Syah), ia memilih mengadukan nestapa kesultanannya kepada Khalifah kaum Muslimin, tentu setelah Allah dan Rasul-Nya.
Bukan kepada Belanda yang selalu ia anggap mal’un ‘aduwullah kafir Hulanda (musuh Allah yang terlaknat kafir Belanda). Apalagi bukan kepada arus nasionalisme yang dipopulerkan orang seperti Mustafa Kemal Atatürk yang menghancurkan Khilafah, dan pecinta-pecinta Kemal di negeri yang kelak dinamai Indonesia ini.[]
Kisah Sultan Daud Syah yang tetap setia kepada Khilafah hingga pembuangan, hanyalah sepenggal dari salah satu kisah paling dramatis yang ada di buku, “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda“ karya Nicko Pandawa.
Selain menjelaskan bentuk hubungan Khilafah dan negeri ini di masa kolonialisme, buku tersebut juga menjawab berbagai pertanyaan kita seputar Khilafah, termasuk sebab-sebab kemunduran umat Islam dan alasan di balik belum tegaknya Khilafah pasca 1924.