Koalisi Jihad Sultan-Sultan di Nusantara Melawan Penjajah
Bagi para pegiat sejarah hubungan antara Nusantara dan Khilafah, tentu tak asing dengan peta yang menjadikan pulau Sumatra itu sebagai pusat perhatian. Sebelum kami memberikan poin-poin menarik dari peta tersebut, izinkan kami membagikan peristiwa besar yang melatarbelakangi adanya peta ini, berikut surat penting dari salah satu penguasa di Nusantara kepada sang khalifah…
Kita berkelana ke tahun 1837, tahun yang sama ketika Tuanku Imam Bonjol, ulama besar dari negeri Minangkabau, ditangkap penjajah. Di istana Kesultanan Aceh yang melegenda, yakni Istana Darud Dunya, serombongan pejuang Minangkabau yang berhasil menyelamatkan diri datang menghadap Sultan Aceh yang berkuasa saat itu. Ialah Paduka Sri Sultan ‘Ala’uddin Manshur Syah, Johan Berdaulat Zhillullah fi’l-‘Alam.
Saat itu, ia merupakan sultan terkuat di Asia Tenggara pada awal abad ke-19.
Sultan Manshur Syah, sang sultan Aceh ini, telah menyaksikan bagaimana negeri-negeri Islam di belahan Asia Tenggara jatuh dicaplok oleh kekuatan imperialis Belanda.
Kedatangan veteran Padri ke Istana Darud Dunya yang membawa surat tentang kabar mengecewakan di Minangkabau, makin menggelisahkan Sultan Manshur Syah akan nasib negeri-negeri Islam di Nusantara.
Disebutkan dalam surat itu, Palembang dan Padang sudah dicaplok, dan sultan-sultan mereka dibuang.
Uniknya, surat serupa tak hanya datang dari Minangkabau. Segenap pembesar negeri Jawa, Bugis, Bali, Kalimantan, dan Palembang; yakni semua negeri yang sudah dipukul Belanda, mengirim surat serupa guna meminta tolong kepada Paduka yang berdaulat di Bandar Aceh.
Sang Paduka, Sultan Manshur Syah, berpendapat. Bahwa semua ini, tak mungkin dilawan tanpa persatuan.
Menariknya adalah, menurut sang sultan, kunci persatuan untuk negeri-negeri Islam yang sudah dipecah-belah oleh kafir penjajah itu hanyalah satu: yakni bersandar kepada satu-satunya pemimpin kaum Muslimin sedunia, Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Inilah satu-satunya kunci yang menurut beliau, dapat menyatukan kata dan kekuatan para sultan dan raja di Asia Tenggara.
Maka, Sultan Aceh ini mengirim surat kepada Khalifah Abdul Majid I pada 8 Februari 1849 untuk memperbarui baiat Kesultanan Aceh. Dengan baiat inilah, Sultan Manshur Syah berharap dapat menjadi pemersatu perlawanan seluruh sultan Asia Tenggara di bawah naungan Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Dalam surat tersebut, Sultan Manshur Syah mengatakan bahwa para pembesar dari Jawa, Bugis, Bali, Borneo, Palembang, dan Minangkabau telah mengirim surat ke Aceh. Dan dalam bahasanya sendiri, Sultan Manshur Syah mengungkapkan,
“Apabila bangkit perang orang Belanda itu, segala orang Islam pun bangkitlah melawan dia lagi memukul dia tiap2 negeri yang telah tersebut itu. Karena segala orang yang sudah diperintah oleh Belanda pada tiap2 negeri, semuanya menanti titah daripada Patik di negeri Aceh. Dan tantangan Patik pun menanti titah dan wasitah (daripada) duli hadrat yang di negeri Rum (Istanbul).”
Penelusuran atas berbagai surat yang terus dikirim sang sultan kepada sang khalifah, menunjukkan tekad Sultan Manshur Syah untuk meminta kepada Khalifah Abdul Majid I sebuah Ma’muriyyah Sulthaniyyah. Yakni sebuah titah kesultanan, atau yang dalam khazanah ‘Utsmani, disebut juga sebagai Ferman (firman).
Titah untuk apa? “An tashira kalimatuhum mutawafiqah fi iqamatil jihadi fi sabilillah”. Untuk menjadikan seluruh sultan dan raja di Nusantara, seiya sekata dalam Jihad Fi Sabilillah!
Kalau sebelumnya perjuangan di Nusantara itu berdiri sendiri seperti Pangeran Diponegoro di Jawa, Pangeran Antasari di Banjar, dan juga Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau; maka Sultan Manshur Syah dari Aceh menstrategikan sebuah perang raya. Perang yang menyatukan seluruh sultan dan raja di Nusantara, untuk bersama-sama menggalang jihad menaklukkan Batavia dan mengusir Belanda.
Dan menurut Sultan Manshur Syah, Perang raya tersebut hanya dapat diciptakan atas izin dari Khilafah ‘Utsmaniyyah!
Masuklah kita pada bagian utama dari kisah ini. Bahwa kemudian, Sultan Manshur Syah mempercayakan pengiriman suratnya ke Istanbul melalui utusannya, Muhammad Ghauts Sayful ‘Alam.
Ketika menghadap ke haribaan Khalifah, Muhammad Ghauts memperlihatkan peta dunia Islam di Asia Tenggara buatannya. Sebuah peta geopolitik yang menyebut Minangkabau, Daik (Riau-Lingga), Selangor, Kedah, Pattani, Trenggano, Pahang, Banjar, Bone, Semarang, dan Bali sebagai “Wazir Sultan Manshur Syah Aceh”.
Tercatat ada 11 bandar yang ditempati oleh seorang wazir Sultan Aceh. Misalnya, “Bali Wazir Syah Manshur Aceh”. Berdasarkan surat-surat yang dikirimkan bersamaan dengan peta-peta itu, kuat dugaan bahwa Sultan Aceh ingin menyampaikan bahwa itu adalah wilayah yang dinaungi oleh Sultan Aceh.
Jadi, meski negeri-negeri tersebut punya raja, sultan, maupun wilayah sendiri, akan tetapi Aceh menjadi penaung bagi negeri-negeri Muslim di Asia Tenggara.
Kisah heroik mereka jelas belum berhenti. Bahkan, ada banyak sekali pertanyaan yang muncul setelah mengetahui fakta ini.
Jangan lewatkan kisah lengkap dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam buku ke-2 yang diterbitkan oleh @kli.books: “Dafatir Sulthaniyah”
- Dirancang mewah, full color, dan ringan. Lengkap dengan gambar-gambar pendukung, buku 158 hlm ini bisa tamat hanya dalam beberapa kali duduk
- Buku arsip pilihan yang mampu membuat kita tercengang, mengernyitkan dahi, dan menarik napas panjang. Menguak bukti loyalitas muslimin Jawi (Thailand, Indonesia, Brunei, Malaysia, hingga Filipina) kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Ambil bukunya melalui link berikut: