BudayaPemikiran

Konsep dan Metode Pendidikan Islam Menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani

Share the idea

25 tahun dari sekarang, umur Indonesia akan mencapai seratus tahun. Selama hampir seabad ini kita berusaha melaksanakan amanat UUD 1945 yang disusun oleh bapak bangsa ini yang salah satu bunyinya adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Apakah (mengacu istilah ala Orba) pendidikan kita telah tinggal landas mengantarkan generasi bangsa untuk menyambut seabad usia negaranya? Ataukah pendidikan kita tidak pernah kemana-mana, karena masih berkutat menyelesaikan berbagai masalah?

Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, Mendikbud baru (yang merupakan menteri termuda dalam kabinet) mencanangkan Program Merdeka Belajar. Program ini sebagai kelanjutan dari Kurikulum Dua Ribu Tiga Belas. Merdeka Belajar dimaksudkan sebagai formula bagi Kurtilas. Merdeka Belajar secara langsung mengacu kepada PISA (Programme for International School Assesment) sebagai tolak ukur kompetensi peserta didik seluruh dunia yang diukur setiap tiga tahun sekali.

PISA sendiri menitikberatkan pada keterampilan literasi, logis-matematis, dan sains. Berdasarkan nilai keseluruhan, survei PISA pada 2009 menempatkan Indonesia di peringkat ke-57 dari 65 negara. Tiga tahun setelahnya, alis kita harus dibuat mengerut sembari menarik napas panjang karena Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara.

Prestasi ini sedikit lebih baik pada 2015 dengan menempatkan Indonesia di urutan ke-64 dari 72 negara, namun harus kembali melorot pada tahun 2018 yang menempati urutan ke-74 dari 79 negara. Berbagai hasil ini sekaligus menunjukkan bahwa selama periode 2009-2018, Indonesia senantiasa istiqomah menduduki peringkat 10 terbawah secara global. Maka tak berlebihan kiranya jika firma pendidikan Pearson pada 2012 sudah menyatakan bahwa sistem pendidikan Indonesia merupakan yang terburuk di dunia.

Akar utamanya terletak pada ketidakjelasan arah pendidikan. Istilah “ganti menteri, ganti kurikulum” begitu popular di dunia pendidikan negeri ini. Sejak 1947, Indonesia telah berganti kurikulum setidaknya sebanyak 11 kali. Bahkan, tak sedikit kebijakan yang pada dasarnya sama, namun hanya berganti nama.

Pendidikan dikelola bukan dalam ruang lingkup teknis profesional tetapi justru pada lingkup kepentingan politik praktis, pencitraan, dan uji coba. Birokrat pendidikan dari pusat hingga ke tingkat sekolah seringkali dipilih dari orang-orang yang dekat dengan simpul kekuasaan. Pada akhirnya, operator pendidikan (sekolah dan guru) serta siswa menjadi korban kebijakan pendidikan yang tidak jelas yang digunakan hanya sebagai pemoles kekuasaan belaka.

Di sisi lain, akar pendidikan Indonesia yang mengambil asas sekular dan berprinsip mengikuti “pasar” menyebabkan pendidikan kehilangan ruh dan tujuan. Pendidikan di negeri ini bukannya melahirkan manusia beradab, tapi malah menghasilkan berbagai problem “kenakalan”.

Prinsip mengikuti “pasar” juga menjadikan pendidikan hanya diarahkan untuk menghasilkan buruh terampil nan murah. Maka tidak salah, hingga hari ini pendidikan di Indonesia seakan jalan di tempat atau bahkan mundur. Dan wajah Indonesia di masa depan masih berupa hari-hari mendung nan gelap.

Lalu apa solusi untuk memperbaiki wajah bopeng pendidikan di Indonesia? Tentu yang harus diperbaiki pertama kali adalah sisi akar konsep pendidikan di Indonesia. Kita semua paham bahwa Indonesia dihuni mayoritas kaum muslimin dan ditambah bahwa pada kenyataannya bapak bangsa negeri ini menggunakan Islam sebagai spirit untuk meraih kemerdekaan dari penjajah Belanda.

Islam yang bukan hanya sekedar agama ritual tapi juga merupakan sebuah ideologi yang secara praktis menjawab semua problematika manusia. Islam menawarkan seperangkat aturan praktis untuk menjalankan kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini adalah tata kelola pendidikan.

Sebagai suatu peradaban, Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar yang dikenal manusia yang memiliki capaian tertinggi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Seluruh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikenal manusia dewasa ini memiliki akar secara langsung dari peradaban Islam. Peradaban Islam telah mengambil, memilah, memurnikan, serta memodernkan berbagai pengetahuan dari peradaban-peradaban sebelumnya (Yunani, Romawi, Tiongkok, India, dan Persia) hingga kita di era modern ini dengan mudah mencernanya (Geraudy, 1982).

Beberapa ulama dan intelektual Islam modern mencoba mengejawantahkan konsep pendidikan Islam. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, ulama besar Palestina alumni Al Azhar menandaskan bahwa pendidikan adalah elemen penting peradaban. Pendidikan adalah salah satu penjaga Islam dimana hasilnya akan mewarnai masyarakat untuk ikut bersama-sama menjaga bangunan kehidupan Islam. Ketika pendidikan Islam dilalaikan oleh negara (sebagai pengelola utama pendidikan) maka akan lahir generasi yang lepas dari pemahamannya terkait ideologi Islam.

Sejarah membuktikan ketika negara Islam di suatu masa melalaikan pendidikan Islam (seperti pada kurun abad VIII-IX masehi), efeknya peradaban Islam mengalami kemunduran yang cukup parah.

Syekh Taqiyuddin menyebutkan setidaknya ada tiga tujuan pendidikan Islam. Pertama, adalah membentuk syakhsiyyah atau kepribadian Islam. Inilah elemen terpenting pendidikan Islam. Apabila pendidikan Islam gagal membentuk kepribadian Islam, itu artinya pendidikan Islam menggerogoti tubuhnya sendiri. Kedua, adalah untuk menanamkan tsaqafah Islam. Tsaqafah Islam adalah unsur yang dibutuhkan untuk melakukan ijtihad dan istinbat hukum dari nash-nash syara’.

Ijtihad dan istinbat hukum merupakan napas peradaban Islam. Dengan adanya dua hal tersebut, problematika manusia bisa dipecahkan dan kehidupan bisa tertata sesuai dengan syariat Islam. Adapun yang ketiga, adalah mengajarkan life skill atau ilmu kehidupan.

Islam adalah agama yang memahami fitrah kehidupan manusia. Manusia memerlukan ilmu dan tata cara untuk bertahan mengarungi kehidupan. Untuk itulah life skill wajib dipelajari dan diarahkan dalam koridor Islam. Dari ketiga hal di atas, syakhsiyyah menjadi kunci utama, karena apabila manusia memiliki kepribadian Islam yang mantap, maka ia memiliki semangat untuk menkaji tsaqafah Islam dan ilmu kehidupan.

Beliau juga membagi pendidikan Islam berdasarkan waktu pelaksanaannya. Yaitu, pada saat sudah berdirinya negara Islam dan saat sebelum berdirinya negara Islam. Ketika negara Islam telah berdiri, maka segala konsep dan metode diemban oleh negara dan dilaksanakan dalam bentuk kurikulum negara yang wajib dilaksanakan oleh semua level jenjang pendidikan.

Namun ketika negara yang berdasarkan Islam belum hadir seperti saat ini, maka beban tanggung jawab pendidikan tersebut jatuh pada dua pihak. Pertama, adalah sekolah sebagai unit terkecil pelaksana pendidikan. Sekolah adalah tempat untuk menanamkan tsaqafah Islam dan ilmu kehidupan. Namun sayangnya, sehebat apapun sekolah, dia tidak mampu berperan membentuk syakhsiyyah Islam. Peran pembentuk kepribadian Islam jatuh pada harakah atau gerakan Islam yang memiliki tujuan kebangkitan yang jelas serta mengemban aqidah dan ideologi Islam yang jernih dan murni sehingga mampu membangkitkan serta mengarahkan manusia untuk berjuang menegakkan ideologi Islam. Wallahu a’lam[].

Sumber:

https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2012/11/121127_education_ranks

https://kumparan.com/kumparansains/menilik-kualitas-pendidikan-indonesia-menurut-pisa-3-periode-terakhir-1sO0SlXNroC/full

https://tirto.id/alasan-mengapa-kualitas-pisa-siswa-indonesia-buruk-enfy

Muhammad Ismail Yusanto, dkk. 2004. Menggagas Pendidikan Islami. Al-Azhar Press: Bogor.

Roger Garaudy. 1982. Janji-Janji Islam. N.V. Bulan Bintang: Jakarta.

Taqiyuddin an-Nabhani. 2003. Al-Syakhsiyyah Al-Islaamiyyah (Jilid 1). Dar al-Ummah: Beirut.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *