Konsepsi Berpikir Islam Mengatasi Pandemi
Penulis : Andika Abu Nadzhifah
“Yang wajib itu taat pada syariat Allah, bukan taat untuk disuntik vaksin Sinovac!”
Taat pada syariat Allah itu, artinya mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah, kan?
Sekarang, kita cek. Apa kaidah syariat dalam kaitannya penanganan pandemi?
“Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR Muslim)
“Jika urusan diserahkan bukan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari)
“Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR Ahmad)
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.” (HR Ahmad dan Ibn Majah)
Serta dalil-dalil lain.
Dari sana, bisa ditarik beberapa prinsip untuk menangani pandemi berlandaskan syariat.
- Hindari wabah penyakit. Jangan justru cari mati dengan mendatangi penyakit. Jika diterjemahkan dalam konteks pandemi Covid-19, hindari terinfeksi virus dengan perlindungan memadai, seperti memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (alias 3M).
- Pisahkan orang sakit dengan orang sehat, dan isolasi orang sakit. Kalau sekarang, harus ada sejenis pool test untuk mendeteksi siapa yang terinfeksi Covid-19, karena penyakit ini agak unik bahwa dia kadang tidak menunjukkan gejala. Tes PCR satu-satu sangatlah membuang uang dan sumber daya terbatas. Maka, pool test merupakan cara yang lebih efektif.
- Selain jangan sampai diri sendiri terinfeksi, jangan membuat orang lain tertular. Proteksi dengan 3M selain untuk melindungi diri sendiri juga untuk melindungi orang lain dari bahaya. Karena kita bisa saja jadi vektor penyebaran virus walau tanpa gejala. Selain itu, untuk membentengi diri dari dharar, mesti ada perlindungan spesifik (bukan umum) terhadap virus. Caranya? Vaksinasi.
- Ikuti orang berilmu dalam menangani pandemi Covid-19. Orang berilmu di sini bukan yang hafidz Qur’an atau faqih fiddin semata, bahkan dalam beberapa kasus, pendapat mereka tidak relevan. Orang berilmu yang dimaksud adalah pakar sains seperti dokter, epidemiolog, virolog, farmakolog, molecular biologist, dll. Bukan pelukis, seniman, apalagi penjual herbal.
Apa yang direkomendasikan oleh para pakar tersebut? Pertama, 3M. Sudah jelas. Kedua, lockdown/karantina wilayah, tapi itu di awal pandemi. Sekarang sudah kacau balau, lantas apa yang harus dilakukan? Proteksi diri sendiri. Apa rekomendasi pakar? Vaksin!
Jadi, urutan berpikirnya begini:
- Taat syariat
- Syariat menyuruh menjauh dari wabah, jangan membahayakan orang lain, dan mengikuti orang yang paham
- Para pakar merekomendasikan vaksinasi untuk mencegah bahaya pada populasi
- Vaksin yang tersedia saat ini kebetulan cuma Sinovac, belum ada Pfizer atau Moderna atau AstraZeneca apalagi Vaksin Merah Putih
- Lakukan vaksinasi menggunakan vaksin Sinovac
Kesimpulannya? Jangan mempertentangkan antara kewajiban taat syariat dengan keharusan vaksinasi, terlepas apapun merk vaksin yang ada. Karena mengikuti rekomendasi pakar terkait vaksinasi sendiri merupakan bagian dari ketaatan pada syariat terkait penanganan pandemi.
Sudah ada ilmuwan muslim sekaligus pengemban dakwah Islam ideologis yang juga menjadi pakar di bidangnya.
Mereka tidak hanya memahami perbedaan perkara hadhoroh-madaniyah, namun lebih dari itu: mereka adalah orang-orang yang juga memahami fakta.
Perpaduan mereka dengan para ahli fikih yang juga menjadi pengemban dakwah ideologis, adalah kombinasi yang memberi panduan yang tepat bagi kita yang awam.
Maka, yang kita butuhkan saat ini adalah kesabaran untuk terus belajar dan ber literasi.