Membaca Iklim Prestasi di Indonesia
Penulis: Muhammad Fatkhurrozi
Indonesia memang harus puas finish di posisi 55 pada pesta olahraga Olimpiade Tokyo beberapa waktu lalu. Event 4 tahunan itu setidaknya menggambarkan kondisi prestasi olahraga kita yang masih jauh dari kata membanggakan. Meski Indonesia sangat terkenal di cabang bulutangkis, namun capaian olahraga lainnya secara umum masih jauh dari prestasi.
Performa kita di bidang sains sebenarnya tak seburuk olahraga. Sering anak negeri kita tampil juara sepuluh besar di ajang olimpiade sains internasional. Prestasi tim robot perguruan tinggi kita juga tak kalah mendunia. Satu dua bidang juga kadang masih bisa dibanggakan. Namun fenomena masyarakat yang masih memilih hiburan, kadang membuat prestasi sains kita luput dari media.
Negeri ini sudah sejak lama mendambakan prestasi internasional yang ‘awet bangga’-nya. Kehadiran satu dua putra emas seperti Habibi, Ricky Elson, atau Khoirul Anwar memang bisa diacungi jempol. Namun iklim politik yang tak bersahabat kadang membuat kita geram. Populasi mahasiswa PTN, yang merupakan anak-anak relatif lebih pintar di komunitasnya, yang masih minoritas juga membuat kita mengelus dada. Itu pun tak semua kualitasnya setara dengan yang di Pulau Jawa.
DIKTI sendiri sudah menyelenggarakan berbagai kegiatan untuk menyuburkan iklim berkarya mahasiswa. PKM yang digagas berhasil melahirkan ribuan ‘alumni lomba’ tiap tahunnya meski hanya segelintir yang serius menghasilkan karya. Bahkan ada yang memplesetkan PKM menjadi “Pekan Korupsi Mahasiswa”. Iklim berkarya kita dikejar demi bersaing dengan, minimal, negeri tetangga.
Gagal Fokus
Realita bahwa mahasiswa kita masih perlu menyelenggarakan prosesi kultural kampus memang tak bisa dipungkiri. Mahasiswa kita masih bangga bila berhasil menyelenggarakan syukuran wisuda yang meriah atau event kekeluargaan yang wah.
Di berbagai kampus, acara perayaan wisuda sendiri sudah ritual wajib yang persiapannya saja memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Mungkin beban kuliah sudah terasa sebegitu beratnya, sehingga mahasiswa merasa perlu “balas dendam” merayakan kelulusannya. Padahal jika dibandingkan dengan perguruan tinggi di Amerika atau Eropa, kualitas PTN kita masih perlu perbaikan disini-sana.
Kalau kita renungkan, sebenarnya manfaat apa yang bisa dirasakan masyarakat banyak dengan digelarnya karnaval wisudawan lengkap dengan pengaraknya yang dirias agar terlihat sangar? Persiapan berbulan-bulan hanya untuk setengah hari yang masyarakat sekitar hanya dapat macetnya saja.
Mungkin manfaat peningkatan skill organisasi dan kepemimpinan. Namun pelatihan skill seperti ini bisa dalam bentuk yang lebih nyambung sama riset, misalnya menjadi EO call for paper. Bila menengok negara Barat, skill organizing atau leadership diintegrasikan dengan kurikulum pendidikannya. Sejak kecil, mereka sudah dididik untuk bicara di depan umum dan menyelenggarakan event kecil-kecilan. Maka usia perguruan tinggi akan menjadi ajang riset sehingga iklim penelitian kampus menjadi sedemikian dinamisnya.
Masih minim
Ukuran kemajuan suatu bangsa mungkin bisa berbeda tergantung ideologi masing-masing. Namun satu parameter yang bisa dianggap universal adalah besarnya kontribusi. Terlepas kontribusi negatif-destruktif maupun positif-konstruktif. Ya, semakin besar karya suatu bangsa, semakin tinggi peradabannya.
Jepang, Swedia, Austria, Jerman mungkin beberapa contoh negara maju. Semuanya memang leading dalam riset dan teknologi terapan. Namun ada yang kontribusinya lebih dari itu. Uni Soviet, Amerika, dan Daulah Islamiyah (dulu) pernah menjadi negara adidaya yang pasti juga negara maju. Bedanya, ketiganya menyumbang kontribusi berupa ideologi selain materi (teknologi).
Melihat realita, riset kita jelas tertinggal, bahkan walau itu harus bersaing dengan negara tetangga. Anggaran riset negara kita hanya 0,3% dari PDB pada 2018 [1], dan masih mempertahankan prestasinya sebagai anggaran riset paling rendah di ASEAN 2019-2020 dengan 0.31% dari PDB [2]. Tak jarang, litbang pada beberapa instansi diplesetkan jadi “sulit berkembang”.
Bangsa kita memang masih minim kontribusi. Boro-boro kontribusi, lha wong yang kemandirian dalam negeri saja masih susah diwujudkan. Saat ini hampir tidak ada satupun produk yang melekat di baju kita atau yang kita konsumsi sehari-hari yang betul-betul “made in Indonesia”. Semuanya tidak lepas dari campur tangan orang luar, minimal punya sekian persen saham di perusahaan. Yang mungkin bisa dicap asli Indonesia paling-paling kerupuk atau sambel terasi. Kalau tahu-tempe sudah pasti kita tahu bahan baku kedelainya 90% dari Amerika[3].
Untuk menggenjot produktivitas riset, insentif bagi periset dan kemudahan birokrasi jelas hal yang tidak bisa ditawar. Selanjutnya tinggal peran mahasiswa dan intelektual. Bila mahasiswa kita lebih suka mengadakan event wisudaan daripada penelitian, bila intelektual lebih suka jadi birokrat daripada nongkrong di lab, maka apa lagi yang masih bisa diharapkan? Padahal, masih ada segelintir orang ‘ikhlas’ di negeri ini yang masih optimis membawa Indonesia kepada kebangkitan teknologi. Di beberapa instansi kadang kita temui ‘Oemar Bakrie’ yang rela mengabdi walau tidak digaji.
Bila ikhtiar telah dilakukan, intelektual kita sudah jebolan luar negeri, dan pelajar kita mulai mau jadi peneliti. Namun kenyataan tidak berubah, berarti ada yang salah dengan sistem negeri ini.
Memang suatu problema kadang tidak bisa dipandang sebagai masalah teknis saja. Permasalahan riset kita bukan hanya peneliti yang malas atau insentifnya yang masih minim, namun juga berbelitnya birokrasi atau wakil rakyat kita yang sejatinya hanyalah ‘petualang demokrasi’.
Adalah tugas para pemimpin umat di segala lini, baik ulama maupun ilmuwan, birokrat maupun teknolog, yang sedang berkuasa maupun yang di luar kekuasaan, agar bersama-sama mewujudkan perubahan yang tidak hanya pada ranah teknis saja, namun juga ranah sistem yang mendasar demi iklim berkarya kita yang lebih kondusif.[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan:
[2] https://infoanggaran.com/detail/anggaran-riset-indonesia-terendah-di-asean