PemikiranPolitikSejarah

Membaca Strategi Politik Luar Negeri Amerika

Share the idea

Dalam buku Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Syekh Taqiyuddin An-Nabhani telah mengenalkan istilah-istilah yang dapat membantu siapa saja dalam mempelajari ilmu politik, yakni fikrah (ide pokok yang mendasari politik luar negeri suatu negara), thariqah (metode baku untuk mewujudkan fikrah), al-khithah as-siyasiyah (garis politik yang meliputi grand strategy kebijakan politik – sifatnya dapat berubah sesuai dengan kepentingan), dan al-uslub as-siyasi (strategi praktis dan aplikatif untuk mengimplementasikan garis politik).

Amerika Serikat merupakan negara ideologis yang dibangun atas dasar fikrah ideologi kapitalisme. Untuk menyebarluaskan ideologinya ke seluruh dunia sebagai bentuk strategi politik luar negeri nya, Amerika dan negara kapitalisme lainnya senantiasa menggunakan metode yang tetap (thariqah), yaitu penjajahan (imperialisme). Penjajahan ini memiliki berbagai macam jenis dan dapat berubah penerapannya mengikuti kepentingan politik (grand strategy) Amerika, seperti pemaksaan dominasi politik, militer, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi.

Dalam tataran strategi praktis dan aplikatif, strategi penjajahan Amerika umumnya bergantung kepada partai politik penguasa. Sebagai contoh adalah partai Demokrat (Partai asal Presiden John F. Kennedy, Jimmy Carter, Bill Clinton, Obama) yang lebih mendorong kebijakan soft power yang tampak “merangkul” berbagai negara dunia serta berbagai organisasi internasional maupun regional, seperti daya tarik budaya dan bantuan ekonomi. Sebaliknya, partai Republik (Partai asal Presiden Eisenhower, Bush, Trump) cenderung keras, agresif, dan lebih mengedepankan hard power, seperti pemaksaan, ancaman langsung, kekuatan militer, dan politik stick and carrot (pemberian penghargaan atas ketaatan atau hukuman atas penolakan terhadap ketentuan negara yang memiliki power).

Penggunaan soft power seringkali dirasa lebih berbahaya, karena bersifat “mengelabui dalam diam”, yaitu pihak terjajah merasa dibantu oleh pihak penjajah. Pemimpin negara yang menjadi agen AS pun diberikan kesempatan bergerak lebih leluasa. Kebijakan pemimpin boneka tersebut menunjukkan seolah mereka akan merealisasikan sejumlah kepentingan rakyatnya. Terhadap negara agen, gaya bahasa persuasif cenderung lebih sering digunakan oleh Amerika dibandingkan gaya bahasa yang bersifat menekan dan mengancam. Dalam penyelesaian berbagai masalah, mereka lebih sering dirangkul dan dilibatkan.

Beberapa contoh kebijakan yang menggunakan soft power adalah Marshall Plan (paket bantuan ekonomi dalam rangka membendung pengaruh Komunisme), pertukaran pemuda, penyebaran nilai dan budaya khas kapitalisme seperti demokrasi, HAM, dan pluralisme melalui berbagai buku dan media, mengajak/mengundang tokoh-tokoh muslim untuk berkunjung ke sejumlah negara Barat (modus seperti ini pernah dilakukan terhadap Nurcholish Madjid. Tokoh yang pada awalnya dijuluki sebagai “Natsir Muda” ini kemudian berubah 180 derajat sekembalinya dari kunjungannya), dan pemberian beasiswa untuk mempengaruhi perilaku bangsa lain terhadap Amerika. Terkait beasiswa ini, Colin Powell (mantan Menteri Luar Negeri AS) menyatakan, “Program beasiswa kelak akan membuat para alumni menjadi ‘diplomat’ Amerika dengan sendirinya.”

Catatan: Memberikan pengaruh nilai-nilai demokrasi, HAM, dan pluralisme seringkali dilakukan dengan menunjukkan kesuksesan Amerika sebagai negara maju. Namun, perlu digarisbawahi, bahwa berbagai kesuksesan tersebut merupakan bentuk politik dalam negeri Amerika. Hal ini tentu sangat berbeda ketika kita berbicara mengenai politik luar negeri Amerika, dimana imperialisme yang terjadi di berbagai negara adalah sebuah fakta yang nampak jelas keberadaannya, sehingga menunjukkan bahwa Amerika sejatinya adalah negara penjajah.

Terkait kebijakan hard power, salah satu yang paling populer adalah kebijakan-kebijakan Presiden George W. Bush. Dalam kebijakan yang mengandalkan hard power, Bush menuntut agen-agen Amerika yang menjadi penguasa di dunia Islam menunjukkan ketundukan dan kesetiaan secara total kepada Amerika, tanpa memberi ruang untuk berinisiatif sendiri. Bush juga tidak menginginkan penguasa-penguasa boneka tersebut menunjukkan penentangan terhadap Amerika, walau hanya berpura-pura. Presiden Amerika Serikat ke-43 tersebut juga menuntut untuk tidak menutup-nutupi kebijakan negara agen yang pro Amerika dengan melakukan politik penyesatan yang senantiasa menggaungkan ungkapan dan janji manis kepada rakyatnya, “demi rakyat” dan “atas nama rakyat”.

Salah satu kalimat penuh arogansi dari Bush yang terkenal adalah ketika meminta negara lain menyikapi isu War on Terrorism pasca peristiwa 9/11. Dalam pidatonya di hadapan Kongres pada 20 September 2001, Bush memberikan ultimatum,

“Every nation ini every region now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorist.”

Perubahan menjadi soft power seringkali dilakukan mengingat invasi militer sangat menguras dana dan akan menimbulkan perlawanan secara terbuka. Joseph S. Nye (penulis buku Soft Power, Profesor di Harvard University) mengungkapkan, “Soft power lebih mengedepankan kemampuan menciptakan pilihan-pilihan bagi orang lain, yakni kemampuan memikat dan mengkooptasi pihak lain agar rela memilih, melakukan hal yang kita kehendaki tanpa kita harus memintanya.”

Menurut Nye, metode soft power sangatlah efektif untuk mewujudkan tujuan politik suatu negara dalam jangka panjang, walau konsekuensinya adalah membutuhkan waktu dan proses yang lebih lama.

Baik soft power maupun hard power hanyalah pilihan dan perbedaan kecenderungan, yang dapat digunakan bersamaan dan saling menguatkan. Hal inilah yang kemudian disebut oleh Nye sebagai Smart Power. Kebijakan terkait Smart Power ini seringkali diprioritaskan pada masa Presiden Obama. Namun, baik menggunakan soft maupun hard power, metode politik luar negeri yang digunakan Amerika untuk menyebarkan kapitalisme tetaplah sama, yaitu penjajahan. Prioritas utamanya adalah tujuan politik Amerika. Ketika dibutuhkan kekuatan militer untuk merealisasikan tujuannya, maka Amerika pun tak ragu untuk menggunakannya.

Catatan: Smart Power yang populer digunakan oleh Obama seringkali menipu khalayak melalui berbagai pidato politiknya. Namun, perlu diingat, bahwa Presiden bukanlah dinilai sebagai penceramah, pengkhotbah, atau pun orator ulung yang mengumbar kata-kata manis. Yang harus dinilai dari seorang Presiden bukanlah ucapannya, tapi tindakannya. Bagaimana mungkin Obama disebut sebagai sosok yang bermoral, sementara kebijakan invasi atas Irak, Afghanistan, Pakistan, Palestina, dan berbagai negeri muslim lainnya masih terus dilakukan? 

Untuk memperkuat pengaruh dalam kancah perpolitikan internasional, Amerika mengajak seluruh dunia untuk menjadikan kapitalisme sebagai standar hidup manusia di seluruh dunia. Maka, Amerika senantiasa menyebarkan nilai-nilai demokrasi dan liberalisme ekonomi dunia dengan berbagai cara. Bill Clinton sebagai Presiden Amerika ke-42 pernah menyampaikan, “Kita harus menyebarkan demokrasi dan ekonomi pasar bebas, karena hal ini dapat menjaga kepentingan-kepentingan kita, sekaligus menunjukkan nilai-nilai yang kita anut, yaitu nilai-nilai Amerika yang luhur.”

Oleh karena itu, tidaklah heran jika siapapun Presiden nya, nilai-nilai yang senantiasa disebarkan oleh Amerika adalah demokrasi, sekulerisme, pluralisme, HAM, pasar bebas, dan liberalisme. Andaikata Presidennya berganti, ia hanyalah pemain baru di sebuah sistem yang lama. Barack Obama (Presiden Amerika ke-44) pernah menyampaikan,

“Di setiap wilayah di muka bumi ini, kebijakan luar negeri kita harus mendukung idealisme tradisional Amerika Serikat: menjunjung tinggi nilai demokrasi dan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, keadilan, serta pertukaran budaya; juga pendirian berbagai lembaga yang menjamin pemerataan kesejahteraan di dalam ekonomi pasar.” Lebih lanjut, ia pun mengungkapkan, “Kesamaan kepentingan di dunia akan memulihkan pengaruh kita serta merebut hati dan pikiran demi mengalahkan terorisme dan menyebarkan nilai-nilai Amerika Serikat ke seluruh dunia.”

Di bidang pendidikan, pengaruh Amerika terlihat dalam perubahan berbagai kurikulum dan mengenalkan sekulerisme dengan dalih perkembangan zaman. Di bidang sosial, AS memfokuskan pada isu perempuan untuk menjauhkan perempuan dari nilai-nilai Islam, membuat berbagai konferensi, memasukkan ide mereka dalam berbagai Undang-Undang, serta mendanai berbagai LSM. Di bidang pemikiran dan ideologi, AS mendanai berbagai pusat kajian dan organisasi HAM. Di bidang keamanan, AS menjalin hubungan dengan dinas intelejen berbagai negara.

Kapitalisme juga diinternasionalisasikan melalui Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights) 1948 yang menjamin kebebasan manusia dalam beragama, berpendapat, kepemilikan, dan perilaku. Dalam bidang ekonomi, kepentingan Amerika dijaga melalui berbagai lembaga yang berada di bawah pengaruhnya, seperti WTO (World Trade Organization), World Bank, dan IMF (International Monetary Fund) dengan berbagai kebijakan kontroversialnya seperti bantuan hutang bersyarat, kebijakan pencabutan subsidi, liberalisasi perdagangan dan investasi, kebijakan peningkatan pajak dan tarif jasa, peningkatan suku bunga yang menghambat berjalannya roda perekonomian dan industri. Tak jarang mereka juga merekaya krisis serta melakukan intervensi atas urusan politik dalam negeri berbagai negara jajahannya. Berbagai langkah internasionalisasi ini dibutuhkan oleh Amerika agar setiap tindakannya di dunia internasional menjadi legal, walaupun hanya untuk kepentingan nasionalnya.

Terhadap Islam, Amerika menganggapnya sebagai ancaman terbesar bagi kapitalisme. Maka, Amerika melakukan segala macam cara untuk mencegah kebangkitan Islam sebagai sebuah kekuatan politik. Untuk memudahkan penentuan langkah yang diambil, Barat seringkali, mengelompokkan berbagai negeri dan gerakan Islam. Contohnya adalah penyebutan “evil axis” (poros setan) terhadap Iran, Iraq, Sudan, dan Libya. Terhadap gerakan Islam, Amerika mengambil sikap tegas dan mengecam kalangan “radikal”, serta merangkul kalangan “moderat”. Walhasil, pengaruh Amerika dapat dirasakan di berbagai aspek kehidupan, baik agama, pendidikan, media massa, sosial, pemikiran, ideologi, ekonomi, maupun keamanan.

Namun, meskipun telah mengetahui strategi politik luar negeri Amerika untuk menyebarkan kapitalisme nya secara umum, satu hal yang perlu diingat, bahwa politik adalah sebuah hal yang dinamis. Maka, sebagai umat Islam yang mengemban misi menerapkan syariat Islam (sebagai bentuk politik dalam negeri) dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia (sebagai bentuk politik luar negeri), mempelajari politik dan berbagai dinamika nya adalah sebuah keniscayaan. Hal ini dapat dilakukan dengan menjadikan seluruh dunia sebagai objek pengamatannya, mengikuti setiap berita dan informasi, menganalisisnya, memberikan pendapat berdasarkan sudut pandang Islam, mengikuti dan terlibat dalam aksi-aksi politik. Wallahu a’lam. []

Sumber:

Abdul Qadim Zallum. 2001. Pemikiran Politik Islam. Pustaka Al-Izzah: Bangil.

Abdul Qadim Zallum. 1999. Persepsi-Persepsi Berbahaya untuk Menghantam Islam dan Mengokohkan Peradaban Barat. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.

Abdul Qadim Zallum. 2001. Serangan Amerika untuk Menghancurkan Islam. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor.

Adian Husaini dan Nuim Hidayat. 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Gema Insani Press: Jakarta.

Farid Wadjdi. 2010. Menantang Amerika: Menyingkap Imperialisme Amerika di Bawah Obama. Al-Azhar Press: Bogor.

Farid Wadjdi. 2003. Kebencian Barat terhadap Gerakan Islam Ideologis. Wahyu Press: Jakarta.

I Gede Armyn Gita. 2012. Analisis Smart Power dalam Strategi Militer Amerika Serikat Melawan Al-Qaeda (2009-2012) [Tesis]. Universitas Indonesia: Jakarta.

Joseph S. Nye, Jr. 2004. Soft Power: The Means to Success In World Politics. PublicAffairs: New York.

Muhammad Al Khoththoth et al. 2003. Invasi AS ke Iraq. Wahyu Press: Jakarta.

Muhammad Ismail Yusanto. 2016. Khilafah Jalan Menuju Kaffah. Irtikaz: Yogyakarta.

Muhammad Ismail Yusanto. 2016. Perjuangan dengan Dakwah Islam. Irtikaz: Yogyakarta.

Muhammad Musa. 2003. Hegemoni Barat terhadap Percaturan Politik Dunia: Sebuah Potret Hubungan Internasional. Wahyu Press: Jakarta.

Taqiyuddin An-Nabhani. 2005. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir. HTI Press: Jakarta.

Yanyan Mochamad Yani dan dan Elnovani Lusiana. 2018. Soft Power dan Soft Diplomacy. Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam. 14 (2): 48-65.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *