BudayaPemikiranPolitik

Mengintip Tingkah Laku Feminis Jerman yang Menggemaskan

Share the idea

Perkenalkan, namanya Seyran Ates. Seorang pengacara Jerman yang juga merupakan tokoh pendiri Masjid Ibn-Rushd-Goethe.[1] Melalui masjid inilah, liberalisme dikampanyekan oleh para aktivis liberal, bahkan oleh pemerintah Jerman itu sendiri.

Contohnya? Mengakomodir muslimah menjadi imam sholat dengan jama’ahnya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bercampur dalam shaf yang sama, termasuk membolehkan pelaksanaan shalat tanpa harus menutup auratnya.

Belum puas dengan itu, pengenalan nilai-nilai liberalisme tak lengkap rasanya jika tidak berlanjut dengan kampanye LGBT. Dukungan ini tidak hanya terpampang jelas dalam halaman awal website masjid, namun juga melalui aksi frontal pengibaran bendera pelangi yang dipublikasikan juga dalam Instagram resmi masjid.[2]

Website resmi masjid dan dukungannya atas L68T, demokrasi, maupun Islam progresif dan inklusif

Apakah eksistensi masjid liberal itu, legal? Tentu saja.

Sebab, berbagai proyek Masjid ini memang didanai oleh Kementerian Urusan Keluarga, Lansia, Perempuan, dan Pemuda sebagai bagian dari kampanye “Democracy Living”. Hal ini juga disampaikan dalam website resmi masjid,

“Ein Projekt der Ibn Rushd – Goethe Moschee. Gefördert vom Bundesministerium für Familie, Senioren, Frauen und Jugend im Rahmen des Bundesprogramms Demokratie leben.”[3]

Kampanye L68T, dibungkus dengan slogan bahwa “Cinta pada dasarnya adalah sesuatu yang halal” (Liebe ist halal).[4] Pembolehan perilaku LGBT atas nama cinta ini, bahkan mereka serukan dengan adanya “sertifikat halal” sebagaimana MUI (lihat logo pojok kiri atas)
Sebelum Seyran Ates, dunia diperkenalkan dengan tingkah laku Amina Wadud (gambar kiri) yang menjadi imam dalam shalat Jum’at campuran di AS dan Inggris pada 2005 dan 2008.[5]
Meski menganut prinsip kebebasan beragama dan berperilaku, uniknya, Ates justru melarang penggunaan niqab dan burqa di dalam masjidnya. Dalam wawancara dengan Spiegel Magazine, Ates menyampaikan, “Grundsätzlich stehen die Türen der Moschee allen offen – mit einer Ausnahme: Mit Nikab oder Burka wird niemand in unsere Moschee kommen.” (Pada dasarnya, pintu masjid terbuka untuk siapa saja, dengan satu pengecualian: Tidak ada yang boleh masuk dengan niqab atau burka)[6]

Meski memiliki corak yang berbeda dengan Prancis dan Inggris, namun apa yang terjadi di Jerman merupakan sesuatu yang wajar dan biasa terjadi di negara yang menganut sekularisme, liberalisme, dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi maupun HAM.

Sebab, demokrasi sejatinya bukan hanya berbicara tata cara memilih pemimpin. “Democracy Living” yang dikampanyekan oleh kalangan liberal Jerman, sejatinya adalah mewujudkan sebuah sistem yang melindungi hak dan kebebasan individu. Termasuk di antaranya adalah kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan berperilaku.[7]

Layaknya dua sisi koin. Keterkaitan demokrasi dengan sekularisme, menjadikan setiap proses maupun hasil akhir aturan bernegara adalah bebas dari dalil-dalil agama, apalagi memaksakan penerapannya. Jika ada, maka dalil tersebut tak boleh bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Kurangnya pemahaman kita atas hakikat demokrasi, bahkan menjadi catatan khusus para peneliti Barat. Dalam buku “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi”, Eva Warburton menyampaikan,

“Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak orang Indonesia tidak memahami demokrasi dalam pengertian liberal, yaitu sebagai sistem untuk melindungi hak dan kebebasan individu. Sebaliknya, mereka mengasosiasikan demokrasi dengan hak ekonomi, kesejahteraan publik dan pemerintahan yang bersih.”[8]

Demokrasi yang seperti ini, tentu tak hanya berlaku di Jerman. Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa menerapkan dan menyebarkannya sebagai satu-satunya ideologi yang harus dianut seluruh penduduk dunia. Unik memang, sebuah kebebasan yang dipaksakan kepada kaum muslimin.

Seyran Ates bersama Dr. Ludovic Mohamed Zahed, seorang gay yang menjabat sebagai imam masjid (kiri atas)
Yenny Wahid mengampanyekan ide kesetaraan untuk LGBT (kanan atas) [10]
Eva Janadin dan Anne-Sophie Monsinay melakukan duet maut memimpin do’a dan shalat di Prancis dengan jama’ah laki-laki (kiri bawah) [11]
Dukungan Amerika atas kampanye LGBT di Asia dan Indonesia (kanan bawah) [12]

Jadi, apakah yang diperjuangkan oleh para aktivis liberal saat ini, akan berdampak pada masa depan? Menarik kiranya kita menyimak apa yang disampaikan Seyran Ates dalam wawancaranya dengan Exberliner,

“Mungkin dalam 100 tahun, generasi mendatang akan menengok masa lalu dan melihat bahwa pernah ada situasi ketika kaum wanita direndahkan, namun tidak ada masjid liberal yang membela hak-hak mereka. Tapi sekarang, masjid liberal itu sudah banyak. Kurasa dalam 100 tahun itu, perjuangan kita akan lebih santai.

Dan dalam 200 tahun, generasi mendatang juga akan menengok sejarah dan terkejut saat mengetahui bahwa di masa lalu, Islam adalah agama yang sangat kaku dan menindas.”[13]

Jika perjuangan mereka berhasil, maka prediksi NIC (National Intelligence Council’s, lembaga pusat pemikiran jangka menengah dan strategis jangka panjang AS) atas kondisi dunia di tahun 2040, bisa saja terwujud. Dalam laporannya, NIC menjadikan kebangkitan demokrasi (Renaissance of Democracies) sebagai peristiwa besar yang terjadi selama periode 20 tahun itu.[14]

https://linktr.ee/kli.books
https://linktr.ee/kli.books

Sumber dan Referensi Bacaan:

[1] https://www.dw.com/id/kisah-seyran-ates-seorang-imam-perempuan-dari-berlin-yang-berjuang-untuk-kesetaraan/a-51432569

[2] Website resmi masjid: https://www.ibn-rushd-goethe-moschee.de/ Instagram resmi masjid: https://www.instagram.com/ibnrushdgoethemoschee/ Postingan instagram yang mengibarkan bendera LGBT https://www.instagram.com/reel/Cfd5DiZAJT8/?igshid=MDJmNzVkMjY=

[3] https://www.ibn-rushd-goethe-moschee.de/a-i-d/

[4] https://liebe-ist-halal.de/#die-kampagne

[5] https://www.kompas.com/global/read/2022/04/16/112500470/mengenal-amina-wadud-wanita-pertama-yang-pimpin-shalat-jumat-di-as-dan?page=all

[6] https://www.spiegel.de/politik/deutschland/seyran-ates-warum-die-frauenrechtlerin-eine-moschee-gruendet-a-1151177.html

[7] Romli Abu Wafa. 2012. Rekonstruksi Doktrin Pemikiran dan Politik Aswaja. Al Azhar Fresh Zone Publishing: Bogor. Kritik yang lebih filosofis dan mendasar terhadap demokrasi, dapat disimak dalam buku karya Syekh Abdul Qadim Zallum yang berjudul, “Demokrasi Sistem Kufur: Haram Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya.”

[8] Thomas Power dan Eve Warburton (ed). 2021. Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.

[9] https://expatguideturkey.com/gay-imam-mohamed-zaheds-speech-in-turkey-canceled/

[10] http://wahidfoundation.org/eng/index.php/news/detail/LGBT-People-Have-Right-to-Live-Equally-With-Others-Yenny-Wahid

[11] https://www.rts.ch/info/monde/10701074-deux-femmes-ont-dirige-la-priere-musulmane-en-france-une-premiere.html

[12] https://www.usaid.gov/news-information/fact-sheets/being-lgbt-asia

[13] https://www.dni.gov/index.php/gt2040-home

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *