Mengapa Harus Konstantinopel dan… Roma?
Jazirah Arab. Sebuah peradaban yang tak pernah menjadi perhatian serius para penakluk dunia akibat kondisinya yang gersang, panas, dan jauh dari sumber kehidupan. Alexander the Great sekedar melewatinya, adapun Romawi dan Persia – dua kekuatan besar saat itu – tak berusaha memperebutkannya.
Di tengah-tengah peradaban inilah, Islam muncul. Nabinya, Rasulullah Muhammad, berhasil melepaskan pengikutnya dari masa-masa jahiliyah dan memberi keyakinan pada mereka bahwa Islam, adalah agama universal yang tidak hanya untuk bangsa Arab, namun juga wajib disebarkan kepada seluruh manusia.
Visi global inilah yang menjadikan mereka dengan penuh percaya diri bertanya kepada Rasulullah,
Berkata Abdullah bin Amru bin Ash, “Bahwa ketika kami duduk di sekeliling Rasulullah untuk menulis, lalu Rasulullah ditanya tentang kota manakah yang akan dibebaskan terlebih dahulu, Konstantinopel atau Roma. Maka Rasulullah menjawab, ‘Kota Heraklius terlebih dahulu’, yakni Konstantinopel” (HR. Ahmad)
Peristiwa ini sejatinya mengindikasikan banyak hal. Pertama: kaum muslimin dengan negaranya yang masih baru, saat itu ternyata turut memahami konstelasi politik global. Mereka pun sadar betul, bahwa pembebasan Romawi sebagai adidaya saat itu, adalah pencapaian luar biasa bagi dakwah Islam.
Rasulullah yang memberi jawaban dengan menyebut langsung nama Heraklius juga bukan jawaban sembarangan. Di masa itu, Heraklius sangat terkenal sebagai pemimpin kharismatik yang tak hanya mampu menjaga Konstantinopel dari serangan bangsa Avar dan Persia, namun juga mengembalikan salib suci ke Yerusalem. Artinya, Rasulullah sangat memahami bergaining position umat Islam dan Romawi. Dan kaum muslimin yang mendengar jawaban itu, tentu juga memahami posisi mereka.
Kedua: di tengah situasi yang masih rentan atas serangan kafir Quraisy, orang-orang Yahudi, dan berbagai aliansinya, kaum muslimin tidak menanyakan apakah Romawi mungkin takluk di tangan umat Islam atau tidak. Tapi sejak awal, secara to the point mereka langsung menanyakan, “kota manakah yang akan dibebaskan terlebih dahulu”. Artinya, kaum muslimin betul-betul percaya bahwa dakwah Islam kelak tidak hanya mampu mencapai Romawi, namun pasti akan menaklukannya!
Saat itu, Romawi Timur dengan Konstantinopel sebagai ibukotanya memang menjadi primadona. Kaisar Constantine selaku founding father Konstantinopel bahkan sejak awal memahami kepentingan strategis dari kota yang kelak dijuluki sebagai “The New Rome”. Sebagai kota niaga, Konstantinopel menjelma menjadi pusat ekonomi dunia yang mengendalikan rute antara Asia dan Eropa, serta pelayaran dari Laut Mediterania ke Laut Hitam.
Karenanya, ia adalah kunci atas dua dunia dan dua lautan, yang juga dikelilingi oleh air sebagai pertahanan alami dan tentu saja, tembok benteng nan tebal yang menjulang tinggi.
Namun, Konstantinopel tak hanya tentang kemewahan kota dan kelihaian pertahanannya, tapi juga perpaduan yang pas antara kemegahan peradaban Yunani dengan agama Kristen yang ditetapkan sebagai agama resmi kekaisaran di masa Theodosius Agung (k. 379-395 M).
Semua ini semakin lengkap dengan berdirinya Hagia Sophia, yang ditahbiskan sebagai katedral terbesar dan termewah di dunia pada masanya. Dengan berbagai keistimewaan itu, tak heran jika panglima yang mampu membebaskan Konstantinopel digelari Rasulullah sebagai “sebaik-baik pemimpin” dengan pasukannya adalah “sebaik-baik pasukan”.
Maka, tak berlebihan jika pembebasan Konstantinopel adalah perkara mustahil bagi umat Islam zaman itu. Bagaimanapun, mereka hanyalah kekuatan yang baru lahir dan bahkan masih bersusah payah menghadapi aliansi Quraisy yang mengepung mereka. Jangankan teknologi kapal dan militer laut yang mampu mengepung Konstantinopel, strategi parit pun baru mereka kenal.
Namun, begitulah cara Rasulullah menanamkan cita-cita besar pada umatnya. Bermodal keyakinan bahwa bisyarah nabi pasti terjadi, maka umat Islam berlomba-lomba meningkatkan kapasitas mereka. Umat sadar betul, bahwa dibutuhkan kelayakan agar Konstantinopel menjadi kota yang tidak hanya ditaklukan, tapi juga dibebaskan oleh keagungan Islam.
Sebagaimana siklus peradaban yang sudah-sudah, runtuhnya peradaban Romawi itu tak hanya akibat melemahnya kondisi internal mereka, namun juga diiringi oleh menguatnya peradaban penggantinya – Khilafah. Dari generasi ke generasi, umat Islam terus melakukan evaluasi hingga mampu membebaskan berbagai wilayah di sekitar Konstantinopel dan mengepungnya.
Pembebasan ini nyatanya tak hanya menjadi tanda kebangkitan dan pembuka jalan atas ekspansi besar-besaran dakwah Islam di Eropa, namun juga simbol atas jatuhnya pusat kekristenan Orotodoks.
Berbicara mengenai pusat kekristenan, maka pertanyaan para sahabat saat itu tentang Roma sebenarnya adalah perkara menarik. Walau Roma sebelumnya pernah menjadi pusat kekaisaran Romawi, namun di masa Rasulullah, Roma telah runtuh dan hanya menjadi cabang kekuatan Romawi Timur di Italia. Jadi, meski mereka tunduk pada Sri Paus sebagai penguasanya, namun secara administratif Roma berada di bawah kekuasaan Romawi Timur dengan Kaisarnya.
Siapa sangka, kondisi hari ini berbalik. Dengan Konstantinopel yang telah berubah menjadi Istanbul, maka tersisalah Roma yang menjelma sebagai pusat kekristenan terbesar dunia dengan 1.8 miliar jemaat Katoliknya. Agama dengan pengikut terbesar dunia yang meliputi hampir seperempat populasi bumi.
Jika pembebasan Konstantinopel menyimbolkan tunduknya pusat kekristenan Ortodoks, maka dapat dibayangkan. Apa yang akan terjadi jika Roma betul-betul dibebaskan umat Islam?[]
Sumber dan Rekomendasi Bacaan
Felix Y. Siauw. 2011. Muhammad Al-Fatih 1453. Khilafah Press: Jakarta.
Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History. Penerbit Zahira: Jakarta.
John Freely. 2019. Istanbul: Kota Kekaisaran. Pustaka Alfabet: Tangerang Selatan.