BudayaSejarah

Mengapa Islam Dapat Diterima dengan Mudah di Nusantara?

Share the idea

Mengapa Islam Dapat Diterima dengan Mudah di Nusantara?

Tulisan ini adalah bagian kedua dari serial #nativisasiKLI. Agar pemahamannya saling terhubung, kami sangat menyarankan untuk membaca bagian pertamanya terlebih dahulu. Artikel bisa dibaca di website KLI (dengan judul sama) atau di instagram dengan hastag #nativisasiKLI1

Link: https://literasiislam.com/benarkah-masa-sebelum-islam-datang-layak-disebut-era-hindu-buddha/

Di artikel sebelumnya, KLI sudah menjelaskan agama besar di Nusantara sebelum kedatangan Islam. Bahkan jauh sebelum masuknya Hindu dan Buddha, Nusantara menganut kebudayaan Melanesoid, yakni budaya yang memiliki sistem kepercayaan penyembahan terhadap roh leluhur, termasuk bahwa Tuhan (sebagai roh tertinggi) memberikan kekuatan ke benda-benda alam seperti gunung, lautan, sungai, batu besar, pohon, yang juga dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh nenek moyang mereka.

Budaya ini menyebabkan Kapitayan menjadi agama mayoritas penduduk Nusantara di era pra-Islam, bahkan sebelum Hindu-Buddha datang.

Agama ini menarik, karena dia adalah suatu sistem kepercayaan kuno yang menyembah roh leluhur namun sudah mengenal satu Tuhan.

Ritual peribadatannya berbentuk pundenberundak, yang di bagian atasnya datar, kosong, tanpa hiasan apapun, dan dianggap sebagai tempat berdiamnya roh leluhur. Sebab, Tuhan (sebagai roh tertinggi) tak bisa digambarkan seperti apa (kosong), berada di puncak, dan mewujudkan kekuatannya kepada benda-benda yang dianggap magis.

Kenapa sholat dibahasakan menjadi sembahyang? Karena orang-orang Kapitayan menganggap Tuhan tertinggi mereka adalah Hyang. Ketika Islam datang, para ulama menjelaskan bahwa Allah itu konsepnya sama dengan Tuhan mereka: tidak bisa diindra.

Jika Allah tak bisa diindra, lantas bagaimana caranya manusia bisa menjangkau hakikatnya Allah? Yaitu dengan melihat ciptaan (makhluk) nya Allah, seperti gunung, laut, dll. Termasuk pada makhluk-makhluk yang tak bisa diindra (ghaib) seperti jin, yang dalam keyakinan masyarakat pra-Islam, diartikan sebagai hantu, roh halus, maupun dewa-dewa kecil.

Menurut Islam, pemahaman mereka akan hal-hal ghaib itu sebenarnya hanya persepsi manusia saja, yang penjelasannya bukan berasal dari Tuhan itu sendiri. Oleh para wali dan ulama, persepsi itu diubah. Bahwa mereka (hantu, roh halus, dll) itu adalah jin: ciptaan Allah yang derajatnya sama dengan manusia sebagai makhluk. Islam kemudian juga mengenalkan, bahwa makhluk Allah memang ada yang bisa diindra dan ada yang ghaib.

Kalau kita baca sirah, ada momen ketika Rasulullah mendakwahi bangsa jin hingga menjadikan mereka masuk Islam. Tapi jika kita telaah, di luar jazirah Arab belum ditemukan dakwah terhadap bangsa jin, kecuali di Nusantara. Akibat kuatnya budaya kepercayaan terhadap roh, Sunan Kalijaga bahkan secara khusus membuat tembang (nyanyian) rumekso ing wengi (lingsir wengi). Sebagai bagian dari sejarah Islamisasi di Nusantara, tembang ini dibuat sebagai pengganti “do’a tolak bala”. Sebab, sebelumnya masyarakat Nusantara terbiasa untuk memohon kepada makhluk ghaib agar terhindar dari bencana.

Belakangan, lagu lingsir wengi dianggap sebagai ritual pemanggil kuntilanak. Padahal, Sunan Kalijaga menjadikannya sebagai bagian dari sejarah Islamisasi di Nusantara, yakni pengganti “do’a tolak bala”.

Termasuk persepsi tentang tempat keramat. Bagi orang Nusantara saat itu, tempat keramat memiliki nilai spiritual tinggi, yang untuk mencapainya, harus menempuh berbagai kesulitan.

Ketika mengislamkan Nusantara, para ulama menyampaikan bahwa dalam Islam juga ada tempat keramat, yakni Mekkah dan Madinah. Di sana, umat Islam melakukan ritual haji, dan untuk mencapai ke sana, bahkan harus mengerahkan usaha yang luar biasa: berbulan-bulan mengarungi lautan, yang tidak hanya mengorbankan harta, tapi juga bertaruh nyawa. Orang yang bisa kembali dari haji, dianggap sangat luar biasa, sakti mandraguna.

Unsur-unsur spiritual yang sudah ada di benak masyarakat Nusantara itulah – sebagaimana yang disampaikan oleh Martin van Bruinessen – menjadikan sepanjang abad ke-16 sampai 18 sebagai waktu atas terjadinya lonjakan luar biasa terhadap jumlah jamaah haji dari Nusantara. Padahal, Nusantara adalah wilayah paling jauh dari Timur Tengah. Tapi masyarakat Nusantara tidak mempermasalahkannya, karena sudah ada persepsi-persepsi tadi.

Banyaknya kesamaan antara kepercayaan pra-Islam dengan Islam itulah, yang menyebabkan Islamisasi masyarakat Nusantara terjadi dengan begitu mudah. Islam juga semakin diterima seiring banyaknya perubahan sosial, sebagaimana dihapuskannya keberadaan kasta yang sangat elitis dan menyulitkan masyarakat dalam beragama.

Kalangan elit yang juga jengah dengan kelakuan kolega-kolega mereka yang menganut Bhairawa Tantra (sekte hasil sinkretisme Buddha aliran Mahayana dan Hindu aliran Siwa dengan ritual yang amoral dan tidak manusiawi), akhirnya juga memilih masuk Islam.

Bagi mereka, Islam tak hanya tentang menjawab berbagai fenomena mistis atau kehausan naluri manusia untuk mengagungkan benda/zat tertentu. Islam juga dianggap lebih murni, lebih jernih, lebih santun, lebih manusiawi, lebih masuk akal, serta banyak mengajarkan kebaikan manusia. Jika mereka menjadi muslim, mereka juga otomatis tergabung sebagai “saudara sesama muslim” dalam jaringan muslim internasional. Bagi masyarakat Nusantara yang gemar berdagang mengarungi lautan, hal ini tentu memudahkan kehidupan mereka.

Ricklefs bahkan berani menyatakan, bahwa di abad ke-15, Islam berhasil menjadi sumber perubahan besar di Nusatara dengan menjadi identitas utama sebagian besar suku bangsa di wilayah tersebut. Bahkan ada ungkapan, bahwa “Jawa itu Islam, Islam itu Jawa”. Jika ada orang Jawa tapi bukan muslim, berarti “koe dudu wong Jowo”. Di Sunda pun demikian, “Islam teh Sunda. Sundah teh Islam.” Titik.

Ketika spirit beragama sudah sedemikian kuat di berbagai wilayah Nusantara, datanglah era penjajahan Barat. Begitu para penjajah tiba, mereka dikejutkan karena harus berhadapan dengan Islam yang sangat membenci kolonialisme. Islam yang selama ini sudah mendarah daging di masyarakat, kemudian dianggap oleh para penjajah sebagai penghalang utama kolonialisme di negeri ini.

Sebab, dalam Islam penjajahan itu memang tertolak. Maka, terjadilah perlawanan besar-besaran di seluruh penjuru Nusantara yang dimotori oleh para ulama. Ketika Eropa mengalami gejolak politik akibat Revolusi Prancis yang memunculkan sosok seperti Napoleon Bonaparte, terjadilah perubahan gaya kolonialisme – salah satunya adalah kemunculan nativisasi.

Nativisasi, yang didefinisikan sebagai “gerakan untuk mengecilkan peran Islam pada sebuah bangsa dengan cara membangkitkan budaya atau sejarah keagungan pra-Islam dan secara licik, menggambarkan Islam sebagai sesuatu yang asing dan merusak kebudayaan lama”, digunakan oleh para penjajah sebagai cara efektif dalam meredam perlawanan sekaligus menghancurkan keyakinan umat terhadap Islam itusendiri. Di Mesir, Napoleon Bonaparte menggali sisa-sisa kejayaan Fir’aun (Mesir kuno) dan memopulerkannya kembali kepada masyarakat.

Inggris melakukannya di India, yakni dengan menginvestigasi kejayaan India sebelum era Islam dan menghembuskan bahwa Islam itu melakukan penjajahan atas mereka. Dengan keterbatasan media saat itu, info sejenis mudah berhembus dan terjadilah perlawanan terhadap Kesultanan Mughal, hingga Kesultanan Mughal pun banyak mengalami kekalahan.

Di masa-masa itulah Inggris mengirimkan Thomas Stamford Raffles, seorang megalomania yang diutus untuk memimpin Jawa. Raffles melihat, bahwa cara yang digunakan Daendels selama menjajah Nusantara (sehingga sering berakhir dengan adu argumen maupun penolakan dari para sultan terutama di Yogyakarta dan Surakarta) sangat tidak efektif.

Daendels sendiri adalah hasil didikan Revolusi Prancis, sehingga ia memang sangat membenci sistem pemerintahan yang berbentuk monarki. Tapi Raffles melihat, bahwa sumber masalahnya bukanlah pada sistem monarki yang diterapkan elit kesultanan. Jika ingin menancapkan kolonialisme di Nusantara, terutama di Jawa, maka yang dihadapi adalah Islamnya.

Walhasil, mulailah ia menggagas penggalian-penggalian jejak arkeologi seperti candi-candi di Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Padahal, candi-candi ini sudah lama ditinggalkan. Borobudur dan Prambanan misalnya, sudah terkubur dan hancur sejak akhir masa Kerajaan Mataram kuno oleh abu vulkanik meletusnya Gunung Merapi. Di era Islam, kedua candi ini sudah “hilang”. Orang-orang sudah tidak lagi peduli. Setelah berhasilnya penggalian, maka dimunculkanlah narasi-narasi terkait kejayaan kerajaan Hindu-Buddha di masa sebelum Islam, dan dimulailah strategi nativisasi yang dilakukan oleh para penjajah. []

Borobudur, digali kembali oleh Raffles, perwakilan Inggris ketika menjajah Indonesia. Jadi, apa kepentingan Raffles – yang bukan seorang Buddha – menggali bangunan yang sudah lama tertimbun abu vulkanik dan diabaikan masyarakat?
Thomas Stamford Raffles. Sebagai bagian dari nativisasi sekaligus bukti keseriusannya atas upaya menaklukkan Nusantara, ia menulis buku “The History of Java”.

Kesulitan penjajah menaklukkan Nusantara terbukti dengan terbantahnya isu penjajahan selama 350 tahun. Sebab, sampai tahun 1904 saja, sultan Aceh, Bone, dan raja-raja Bali masih gagah menolak tunduk kepada penjajah.
 

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Agus Sunyoto. 2012. Atlas Walisongo. Pustaka IIMaN: Tangerang Selatan.

Irfan Afifi. 2019. Saya, Jawa, dan Islam. Buku Langgar: Yogyakarta.

Martin van Bruinessen. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Mizan: Bandung.

M. C. Ricklefs. 2013. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang. Serambi: Jakarta.

M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200 – 2004. Serambi: Jakarta.

Nur Khalik Ridwan. 2021. Islam di Jawa Abad XIII-XVI. Buku Langgar: Yogyakarta.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *