Mengapa Isu Palestina Tak Kunjung Selesai?
Lagi dan lagi, isu Palestina kembali naik ke permukaan. Sejak tahun 1948 hingga hari ini, masalah mengenai Palestina layaknya sebuah “never ending story” yang tak terlihat ujungnya. Dalam beberapa waktu terakhir, Palestina kembali disorot setidaknya karena dua hal: isu normalisasi UEA-Israel dan isu hilangnya peta Palestina oleh sebuah perusahaan yang memang berbasis di Amerika, meski hal ini sejatinya adalah isu lama yang bersemi kembali.
Mau tidak mau, polemik Palestina masih dan akan terus menjadi masalah internasional, karena besarnya kepentingan yang bermain dalam isu ini. Kepentingan yang menyangkut tiga agama (Islam, Kristen dan Yahudi) dipertaruhkan. Dan tentu saja, tak lupa kepentingan geopolitik dunia dengan Amerika sebagai punggawanya.
Bila menarik garis sejarah ke permulaan abad ke-20, maka akan kita dapati bahwa Palestina masih “dianggap” ada sebagai salah satu wilayah Khilafah Utsmaniyah. Kalimat Sultan Abdul Hamid II yang menegaskan bahwa tak sejengkal pun dari tanah Palestina akan diberikan kepada kaum Yahudi selama kekuasaan Islam masih berdiri, ternyata menjatuhkan harga diri Herzl, sang Bapak Zionisme internasional yang bermimpi mendirikan “Eretz Israel” atau Israel Raya.
Namun, ada hal menarik dari wawancara singkat yang dilakukan oleh seorang aktivis kemanusiaan di Gaza dengan anak Palestina mengenai ‘penghapusan’ tanah airnya dari peta. Putra sang syahid Gaza ini menyatakan “pada akhirnya, kami tak butuh Palestina sekedar di atas peta, kami menginginkan Palestina ada di kepala dan hati kita semua”
Kalimat itu sejatinya memiliki sisi yang benar, tapi memiliki sisi yang keliru juga. Kalimat bahwa “Palestina di hati, bukan di peta” menunjukkan syu’ur (perasaan) keislaman serta kesadaran akan masalah Palestina sebagai masalah bersama umat Muhammad yang sudah cukup tinggi. Implikasi dari pernyataan ini kurang lebih menjadi, “tidak penting jika Palestina ada di peta atau tidak, karena ia sejatinya ada di setiap hati kita”. Sungguh, ini merupakan kalimat yang sangat menggugah rasa rindu atas kemerdekaan Palestina.
Akan tetapi, kalimat ini juga menunjukkan kurangnya pemahaman atas isu geopolitik dunia. Tentu saja hal ini disebabkan oleh para aktor politik internasional hari ini sangat berkaitan erat dengan peta dunia berdasarkan batas-batas nation state atau negara bangsa hari ini. Siapa yang ada di barat, timur, dan tengah peta, akan sangat memengaruhi relasi dan interaksi yang dilakukan mereka.
Oleh karena itu, “pembenaran” ketiadaan Palestina pada peta secara lebih jauh menjelaskan bahwa kaum muslimin (yang dalam kasus ini direpresentasikan oleh isu Palestina) memang tidak memiliki kekuatan dan bargaining position di mata komunitas internasional.
Palestina secara de facto tentu saja masih ada, yang dibuktikan dengan masih adanya jiwa-jiwa perindu syahid di tanah kharaj kaum muslimin ini. Namun kadangkala, berbicara de jure itu akan lebih signifikan, karena aspek ‘legal’ inilah yang akhirnya menjadi faktor penentu banyak hal. Sama halnya dengan diskursus de facto kehancuran Khilafah Islamiyah yang nampak saat kekalahan pihak Sekutu dalam Perang Dunia tahun 1918, tetapi aspek de jure lah yang membuat ‘sah’ institusi politik umat Islam ini diabolisi oleh parlemen sekuler Turki pada tahun 1924.
Masalah Palestina bukan sekedar dilihat dengan sudut pandang kemanusiaan atau perasaan belaka, namun ia akan mampu terjelaskan dengan pengelihatan iman dan pembacaan politik yang mendalam bahkan cemerlang. Pengelihatan iman akan mampu mengobarkan semangat kaum muslimin untuk menjaga tanah ini dengan segenap jiwa raga dari cengkeraman musuh Allah dan Islam, sedangkan pembacaan politik akan mengantarkan perjuangan kemerdekaan Palestina melalui metode dan langkah shahih yang harus ditempuh. Pembacaan yang mampu mengamati dunia dengan sudut pandang “laa ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”.
Ada atau tidak adanya Palestina di peta dunia, sebetulnya tidak akan memberi pengaruh signifikan terhadap perjuangan Palestina. Sumber masalah yang masih menggelayuti Palestina, yakni diakuinya Israel sebagai salah satu state actor atau aktor negara itu sampai hari ini masih berdiri dengan segenap sokongan penuh keangkuhan dari kekuatan-kekuatan kufur di penjuru dunia.
Bila kita benar-benar berazzam untuk membebaskan Palestina dari opresi, agresi, dan okupasi kaum Zionis, maka adalah hal yang rasional bila kita memusatkan perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah sebagai pelindung Baitul Maqdis seperti yang sudah dibuktikan sejarah dahulu. Pemikiran ini tentu bukan sekedar bentuk romantisme sejarah kaum muslimin, tetapi merupakan pemikiran yang terbukti dengan dalil syar’iyyah, siyasiyyah (politis), dan tarikhiyyah (sejarah).
Selama institusi politik yang akan dengan lantang dan berani menyerukan tentara serta militernya untuk membela setiap jengkal tanah kaum muslimin ini tidak ada, maka jangan heran jika isu Palestina akan senantiasa mewarnai layar gawai dan memenuhi kolom-kolom berita kita. Wallahu a’lam bisshawwab.[]
Sumber:
Abdul Qadim Zallum. 2017. Pemikiran Politik Islam. Penerbit Quwwah: Daerah Istimewa Yogyakarta
Adnan Khan. 2008. Mitos-mitos Palsu Ciptaan Barat. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor
Iyad Hilal. 2000. Palestina: Akar Masalah dan Solusinya. Pustaka Thariqul Izzah: Bogor
M. Hamdan Basyar. 2015. Pertarungan dalam Berdemokrasi: Politik di Mesir, Turki, dan Israel. Universitas Indonesia Press: Jakarta
Shabir Ahmed & Abid Karim. 2018. Sejarah Nasionalisme di Dunia Islam. Al Azhar Press: Bogor