BudayaPemikiranSejarah

Mengapa Karl Marx Menyatakan Bahwa Agama Itu Adalah Candu?

Share the idea

Suatu pagi, seorang gila berlari ke pasar lalu berteriak, “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”. Orang lalu berkerumun menontonnya. “Memangnya, Tuhan pergi ke mana? Ia lari atau pindah rumah?” Seorang penonton pasar itu bertanya sinis. Orang gila itu menatap tajam semua orang yang menontonnya di pasar itu lalu bertanya, “Coba terka ke mana Tuhan pergi?” Tak ada jawaban. Orang gila itu menjawab sendiri, “Aku mau mengatakan kepada kalian. Kita telah membunuhnya. Ya, kita semua telah membunuhnya!

Kisah di atas hanyalah metafora ala Nietszche (1844-1900), filsuf proklamator kematian Tuhan di Barat. Tentu metafora ini menjengkelkan. Betapa tidak, jangankan membunuh Tuhan, membunuh makhluk saja dianggap jahat. Tapi, sesungguhnya Nietszche jengkel terhadap apa yang disebut dengan Tuhan. Bagi Nietszche, Tuhan hanya ada dalam alam pikiran, karena ia tidak ‘mewujud’ di luar sana.

“Jangan pernah menguburkan kepalamu dalam pasir surgawi, tapi bawalah dengan bebas, sebuah kepala membumi yang menciptakan makna”. Begitulah ‘sabda’ Zarathustra, sosok imajiner hasil olahan Nietszche.

Ia berpendapat, bahwa Tuhan yang diimajinasikan manusia adalah karya kegilaan manusia. Ia (Tuhan) sesungguhnya juga manusia. Bayangan itu (Tuhan) datang dari serpihan malang dan ego manusia. Menurutnya, bayangan itu menjadi pesakitan dan sungguh manusia mampu mengatasi sendiri tanpa bayang (Tuhan) itu. Tuhan adalah manifestasi dari kegilaan dan penciptaan singkat yang hanya dialami oleh orang yang paling menderita saja. Singkatnya, menurut Nietszche Tuhan hanyalah angan manusia lemah dan tak berdaya.

Serupa dengan Nietszche, Karl Marx pun berpendapat bahwa ajaran moral yang selama ini berlaku dan mengajarkan kerendahan hati, sikap pasrah, berbuat baik, dan lain-lain yang dikaitkan dengan ajaran agama, adalah berfungsi untuk membungkam sikap kritis yang kemudian digunakan untuk mengendalikan perubahan sosial menuju keadilan. Marx pun berpendapat, bahwa agama dengan isi ajaran moral dinilai telah menjadi candu yang membuat masyarakat mabuk dalam ilusi mengenai kehidupan akhirat dan lupa mengurusi kenyataan sosial yang buruk dan tidak adil. 

Kritik Marx terhadap otoritas agama ini berpangkal dari filsuf pendahulunya yang ‘sealiran’. Adalah Ludwig Feuerbach melalui karyanya yang berjudul “Das Wesen Chistentums” (Hakikat Agama Kristiani) yang membuat Marx terkesan. Pun dengan kawannya, Friederich Engles. “Kami semua waktu itu menjadi penganut Feuerbach”. Bagi Marx, Feuerbach menjadi aliran api yang membakar pikirannya sehingga terbukalah suatu pengertian yang baru.

Kalimat kunci Feuerbach bermuara pada kritik atas gagasan inti salah seorang gurunya, Wilhelm Friedrich Hegel. Gagasan inti Hegel adalah, “Dalam kesadaran manusia, Allah mengungkapkan diri. Kita merasa berpikir dan bertindak menurut kehendak atau selera kita, tetapi di belakangnya, ‘roh semesta’ mencapai tujuannya”.

Bila kita sederhanakan, gagasan inti Hegel ini menyerupakan manusia sebagai wayang dengan kesadaran, pengertian, dan kemauan sendiri, namun sebenarnya tetap berada dalam tangan sang dalang. Sang dalang itulah ‘roh semesta’ yang menentukan jalannya sejarah, bukan manusia.

Gagasan inti Hegel itulah yang menjadi objek kritikan Feuerbach. Menurut Feuerbach, Hegel telah memutarbalikkan kenyataan. Hegel memberi kesan seakan-akan yang nyata adalah Allah (yang tidak kelihatan), sedangkan manusia (yang kelihatan) hanyalah wayangnya. Padahal menurutnya, yang nyata adalah manusia.

Maka, bukan manusia yang menjadi objek pikiran Allah, melainkan Allah adalah buah pikiran manusia. Menurutnya, eksistensi manusia sebagai materi yang dapat diindra tidak dapat dibantah, sedangkan roh semesta (Tuhan) hanya berada pada objek pikiran manusia.

Kritik itu dilanjutkan pada pengandaian Feuerbach, bahwa realitas yang tidak terbantahkan adalah apa yang dapat diindra manusia, bukan pikiran yang bersifat spekulatif. Menurutnya, kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tak terbantahkan, yakni kepastian indrawi.

Pengandaian Feuerbach inilah yang kemudian ‘mengilhami’ pernyataan, bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Sebaliknya, Tuhan adalah ciptaan angan-angan manusia. Agama hanyalah hasil proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka, mereka tidak nyata, tidak dapat diindra, hanya khayalan dan angan-angan yang dibentuk oleh alam pikir manusia.

Gagasan itulah yang kemudian dilanjutkan oleh Karl Marx. Marx mengkritik gagasan Feuerbach dengan pertanyaan, mengapa manusia ‘lari’ kepada Tuhan? Padahal Tuhan hanya berada dalam alam pikir manusia, bukan realitas indrawi. Jawaban itulah yang kemudian Marx rangkum, bahwa, ‘lari’ nya manusia pada Tuhan adalah bentuk dari keterasingan sosial. Keterasingan sosial yang berwujud ketidakadilan, ketidaksejahteraan, dan ketimpangan sosial serta tiran. Marx melanjutkan, keterasingan sosial ini adalah bentuk larinya manusia dari dirinya sendiri ke dalam bentuk negara.

Singkatnya, Marx menganggap bahwa Tuhan dan agama adalah hal yang sekunder. Keduanya adalah implikasi dari sebab primer, yakni ketidakmampuan manusia untuk menghadapi realitas sosial yang rusak, merebaknya ketidakadilan, serta penindasan. Manusia lari atas realitas itu, kemudian dalam Tuhan dan agama, manusia menjadi ‘nyaman’ dan lupa akan kondisi sosialnya. Itulah mengapa, Marx menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat. Agama telah menjauhkan masyarakat dari perjuangan terhadap ketidakadilan dan tirani yang merajalela.

Memang secara lengkap Marx tidak melanjutkan kritiknya terhadap agama. Namun, dampak gagasan Marx ini menggelinding bagai bola salju, menerjang berbagai dasar dan otoritas beragama. Para pengikut pemikiran Marx pun menjadi beringas ketika menghadapi agama, simbol, maupun para penganut agama.

Termasuk apa yang dilakukan oleh Vladimir Ilyic Lenin lewat kaum Bolshevik yang kemudian menegakkan Uni Soviet, sebagai negara sosialis pertama di dunia yang lahir dari Revolusi Oktober 1917. Ia menindas Gereja Ortodoks, mematahkan pengaruh Islam dan Buddha. Ide tunggal marxisme-leninisme menjadi tangan besi dan palu godamnya. Bila menilik sejarah Indonesia, perjalanan panjang PKI menjadi fakta tak terbantahkan atas benci dan jijiknya kaum merah kala itu terhadap agama, para pemeluknya, pemuka agamanya, serta simbol-simbolnya.

Kebencian mereka terhadap agama dan Tuhan jelas telah melahirkan sebuah kekacauan. Mereka menomor satukan manusia sebagai realitas indrawi dan menomorduakan Tuhan yang menurut mereka tidaklah ada. Kalaupun ada, Tuhan hanyalah angan di alam pikir manusia.

Mereka secara tak langsung berpendapat bahwa agama telah impoten untuk menyelesaikan persoalan duniawi. Bahkan menurut mereka, agama telah menjadi sumber yang menyebabkan adanya impotensi atas potensi-potensi yang ada dalam diri manusia itu. Tak heran, jika di antara mereka ada yang berpendapat bahwa “Tuhan telah mati!”, “Tuhan haruslah dibunuh!”. Pemikiran tersebut merupakan ciri kunci ateis yang ingkar terhadap Tuhan.

Namun, mereka tidak puas hanya dengan menjadi ateis. Ingkar saja tidak cukup. Ia harus dibarengi dengan caci-maki yang melahirkan penistaan. “Tuhan Yahudi dan Kristen adalah tiran”, kata Hegel (1770-1831) dan Kant (1724-1804), karena meminta ketaatan penuh.

Bahkan sebelum Nietszche berpendapat demikian, Schoopenhuer (1788-1860) menegaskan Tuhan tidak ada. Sesudah Nietszche membunuh Tuhan, Rudolf Bultmann (1884-1976) memastikan Tuhan dalam Bible telah mati, kalau tidak sekarat”. Tuhan bagi mereka adalah tirani jiwa. Sehingga bukan Tuhan agama-agama, karena Tuhan dianggap sudah tidak ada. Itulah Tuhan yang dimaksud oleh Nietszche.

Menurut Hamid Fahmi Z. dalam Misykat, akar ateisme ternyata dipicu oleh kebencian terhadap agama dan bebas (liberalisme) darinya. Sungguh banyak jalan menjadi kafir. Ada yang ingkar terhadap Tuhan saja (ateis), ada yang ingkar terhadap agama saja (infidel), ada yang menolak pengetahuan tentang agama serta eksistensi-Nya sekaligus (agnostik), ada yang meragukan wahyu Tuhan (skeptik), dan ada yang menolak Bible sebagai wahyu tuhan (Deist). Tapi, varian kafir ini juga ada yang dinamakan dengan disbeliever, yakni yang menolak wahyu secara intelektual. Sedangkan unbeliever ialah pilihan kafir karena ingkar Tuhan melalui akal dan hatinya. Jika pepatah mengatakan bahwa banyak jalan menuju Roma, pun sejatinya banyak jalan menjadi kafir.

Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, beragama adalah salah satu naluri manusia (gharizah tadayyun), sehingga perlu disalurkan. Tentu, penyalurannya harus dengan cara yang benar. Sebab itu, beragama pada Tuhan adalah fitrah semua manusia. Maka ketika Nietszche berkata hendak membunuh Tuhan, sejatinya ia telah membunuh fitrahnya sendiri. Jadi, Nietszche tanpa sadar telah melakukan bunuh diri spiritual, spiritual suicide.

Maka jika saat ini masih ada aktivis beraliran liberal-ateis yang begitu semangat menggugat agama kemudian koar-koar seraya menyitir istilah, “Tuhan telah mati”. Tanggapi saja dengan santai dan katakan, “Nietszche telah mati, kata Tuhan!”. Dan jangan lupa, akhiri dengan senyuman terindahmu loh ya! []

Sumber:

Franz Magnis Suseno. 2017. Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka. Jakarta: Gramedia.

Franz Magnis Suseno. 2017. Pemikiran Karl Marx: Dari Perselisihan Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia.

Friedrich Nietzsche. 2017. Zarathustra (terjemahan). Yogjakarta: Cakrawala.

Hamid Fahmy Zarkasyi. 2012. Misykat: Refleksi tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Jakarta: INSISTS-MIUMI.

T.M. Soerjanto P. dan Alexander S., 2015. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya. Jakarta: Kompas.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *