Sejarah

Mengapa Khilafah Tidak Segera Tegak? Perbandingan Keruntuhan Khilafah 1258 dan 1924

Share the idea

Peristiwa 3 Maret 1924 bukanlah kali pertama Khilafah kehilangan eksistensinya. Pada 10 Februari 1258, hancurnya Baghdad dan terbunuhnya Khalifah al-Musta’shim sempat menjadikan Khilafah vakum.

Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama.

Hanya 3,5 tahun setelahnya, keturunan ‘Abbasiyyah yang berhasil melarikan diri, Abu al-Qasim Ahmad bin al-Zahir (al-Mustansir Billah) dibai’at dan melanjutkan pemerintahan di bawah perlindungan Mamluk di Kairo.

Meski telah melewati masa 3 hari 2 malam sebagai batas waktu kekosongan Khalifah, namun ia lebih cepat dibanding ketiadaan Khilafah saat ini yang berlangsung lebih dari 100 tahun (jika dihitung dengan kalender hijriyah).

Lukisan Sultan Selim I ketika menaklukkan Mesir

Kondisi yang dihadapi umat Islam pada 1258 dengan 1924 benar-benar berbeda. Bagaimanapun, orang-orang Mongol hanya membawa kekuatan, tapi tidak dengan ideologi. Mereka adalah pejuang nomaden yang hanya menginginkan penaklukan dan penjarahan, namun tidak tertarik pada kegemilangan peradaban ‘Abbasiyyah.

Adapun kaum muslimin di masa akhir kekhilafahan ‘Utsmani, menghadapi dua malapetaka sekaligus: penjajahan fisik dan pemikiran.

Karikatur Sultan Abdul Hamid II yang sedang melawan “anjing-anjing” dalam berbagai upaya pemberontakan wilayah berbasis nasionalisme. Setelah memberi provokasi, para penguasa Eropa hanya berdiri melingkar dan asyik menonton.

Dua malapetaka sekaligus ini, nyatanya belum pernah terjadi pada umat Islam di masa-masa sebelumnya. Madinah yang menjadi basis Daulah Islam era Rasulullah, serta Jazirah Arab itu sendiri, sejatinya adalah wilayah merdeka.

Meski Persia dan Romawi telah dikenal sebagai dua adidaya yang pengaruh kekuasaannya teramat luas, namun mereka tak tertarik dan tak mampu beradaptasi pada Jazirah Arab yang gersang dan minim akses kehidupan.

Alih-alih dijajah, pemikiran umat bahkan melesat dan menjadi jawara. Khalifah Al-Ma’mun (786-833 M) memimpin gerakan penerjemahan dan transfer pengetahuan atas karya-karya pilihan dan ilmu-ilmu klasik dari Romawi, yang saat itu justru dibiarkan tersimpan di gudang-gudang kekaisaran.

Meski setelahnya pemikiran filsafat begitu kuat memengaruhi umat Islam, namun kaum muslimin tidak berada di bawah penjajahan adidaya manapun.

Hal itulah yang menyebabkan Khilafah, meski dalam kondisi yang tidak ideal, tetap menjadi satu-satunya rujukan sekaligus satu-satunya pilihan atas konsep bernegara umat Islam di abad ke-13.

Adapun di abad ke-20, di tengah umat telah menancap konsep politik alternatif yang berasal dari peradaban Barat. Konsep politik alternatif yang berasaskan ideologi Barat itu, seperti sekularisme dan nasionalisme, justru diyakini sebagai jalan kebangkitan umat yang menderita akibat berbagai penjajahan maupun kekalahan atas militer Eropa.

Uniknya, alih-alih kembali kepada konsep ideologi Islam yang pernah mengantarkan kaum muslimin meraih kejayaannya, umat justru terinspirasi dengan Eropa dan mengadopsi ideologi mereka.

Meski sudah mengadopsi sekularisme dan rela meninggalkan kewajiban penerapan syariat, nyatanya umat Islam tetap saja berada di bawah ketiak penjajahan Barat.

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Heuh.

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Reza Pankhurst. 2019. The Inevitable Caliphate? Sejarah Perjuangan Penegakan Khilafah Pemersatu Islam Global Sejak 1924. Penerbit Quwwah: Yogyakarta.

Firas Alkhateeb. 2016. Lost Islamic History: Merebut Kembali Kejayaan Peradaban Islam. Penerbit Zahira: Jakarta.

Nicko Pandawa. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda: Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul Sampai Batavia, 1882-1928. Penerbit Komunitas Literasi Islam: Bogor.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *