Mengapa Testimoni Tidak Cukup Kuat Sebagai Bukti Keampuhan Obat?
Metode EBM (Evidence Based Medicine) telah menggariskan bahwa testimoni seorang ahli (expert opinions) tak cukup kuat untuk dijadikan dasar dalam mengklaim keampuhan suatu obat. Hal ini menjadi sangat wajar, mengingat penggunaan obat sangat berhubungan dengan nyawa manusia, yang jika salah tentu akan memberikan dampak buruk bukan hanya bagi satu individu, melainkan juga kepada masyarakat luas. Demi keselamatan bersama, maka sebelum sebuah obat dikonsumsi, dibutuhkan sebuah bukti kuat yang “mutawattir” dan “shahih” sebagai pembuktian atas maksimalnya “ikhtiar” manusia dalam menyembuhkan sebuah penyakit.
Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan baru bagi kita. Mengapa keampuhan sebuah obat harus melalui proses penelitian yang panjang dan berlapis? Hal ini dapat dipahami, jika kita juga memahami proses dari penelitian obat itu sendiri.
Secara garis besar, penelitian obat dibagi dalam tiga tahapan, yaitu 1) Drug discovery; 2) Uji preklinis, dan 3) Uji klinis
Alur tersebut bukan hanya berlaku dalam bidang obat-obatan, namun juga dalam penelitian kesehatan secara umum, khususnya alat-alat kesehatan yang mencakup alat dan prosedur medis.
Tahapan uji klinis diawali dengan melakukan kajian etik terhadap suatu proses uji. Sistem kerja Rumah Sakit memiliki komite etik dan komite medik yang menjaga agar dokter tetap wajib menjunjung tinggi keselamatan selama melakukan penelitian dan pelayanan kesehatan.
Jika berencana melakukan penelitian atau membuat inovasi dan terobosan baru dalam membuat diagnosis atau terapi, tentu segala sesuatunya harus melalui proses penelitian atau uji klinik.
Sebelum memulai proses penelitian, proposal harus lolos komite etik terlebih dahulu. Setelah proposal lolos kaji etik atau ethical clearance, penelitian baru bisa dilakukan. Dalam penelitian atau uji klinik, Good Clinical Practice (GCP) juga harus dipahami.
UJI KLINIS
Sederhananya, uji klinis merupakan uji coba langsung terhadap manusia. Uji klinis ini terbagi menjadi 3 tahapan (plus 1 tahapan), yakni:
1. Uji klinis tahap 1
Adalah uji yang dilakukan pada manusia sehat. Dengan jumlah subjek uji (yang dicobakan) kurang lebih sekirar 20-100 orang.
Mengapa banyak sekali? Tujuannya adalah untuk mengetahui range dosis yang aman, durasi yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek, serta memastikan profil farmakokinetik (perjalanan obat sejak masuk tubuh hingga keluar melalui organ eksresi manusia) suatu obat. Uji ini dilakukan selama 6 bulan hingga 1 tahun. Setelah uji klinis tahap 1 selesai dan dinyatakan aman, proses uji klinis tahap 2 baru boleh dilakukan.
2. Uji klinis tahap 2
Adalah uji yang dilakukan pada manusia sakit (sesuai indikasi obat tersebut). Jumlah subjek uji sekitar 100-500 orang. Nah, pada uji inilah efek plasebo (obat kosong yang tidak memiliki efek karena tidak mengandung zat aktif obat) wajib dikontrol. Sederhananya, efek plasebo itu dilakukan untuk membantu peneliti mengetahui apakah obat tersebut benar-benar efektif atau hanya karena efek sugesti pasien yang merasa lebih baik karena merasa telah mengonsumsi obat.
Faktanya, efek psikologis tersebut memang dapat mempengaruhi orang sakit hingga bisa bertahan dan sembuh, atau justru kondisinya semakin memburuk.
Pada tahap ini juga mulai diukur efikasi (efek yang diinginkan) suatu obat terhadap subjek uji yang sakit. Kemudian ditentukan dosis optimum dan penentuan waktu pemberian serta diperhatikan efek samping nya (efek samping itu tidak selalu buruk, ada yang buruk ada yang baik). Intinya, semua perkembangan tersebut dicatat.
Tahap ini bisa menghabiskan waktu antara 6 bulan hingga 1 tahun. Bila sudah selesai uji klinis tahap 2 ini, baru bisa dilanjutkan ke uji klinis tahap 3.
3. Uji klinis tahap 3
Tahap ini membutuhkan subjek uji yang sangat banyak, sekitar 1000-5000 orang, dengan kondisi (sakit) subjek uji yang sesuai dengan indikasi obat tersebut.
Sebagai contoh adalah pada pengujian obat paracetamol/acetaminophen (obat anti nyeri dan penurun demam). Dalam hal ini, yang menjadi subjek ujinya adalah orang yang sakit demam dan nyeri.
Uji ini juga harus semakin menghilangkan efek placebo yang mungkin terjadi. Dengan desain penelitian/uji yang diacak dan dilakukan double-blinded treatment.
Apa itu double-blinded treatment?
Sederhanya, baik dokter (yang memberikan obat) maupun subjek uji (yang mendapatkan obat) tidak mengetahui apakah obat yang diberikan berisi zat aktif obat atau tidak, sehingga semua prosedur ketika pemberian obat dan sebagainya tetap sama. Selain itu, pada tahap ini juga dipantau secara ketat efikasi (efek yang diinginkan) dan efek sampingnya (merugikan atau tidak). Tahap ini bisa menghabiskan waktu antara 1 hingga 4 tahun.
Berdasarkan penjabaran sebelumnya, maka uji klinis pembuatan obat paling cepat terjadi selama 2 tahun, bahkan dapat menjadi belasan tahun jika semua proses itu berlangsung lebih lambat. Hal tersebut belum termasuk dengan uji praklinis dan waktu drug discovery, sehingga estimasi selesainya penelitian dapat lebih lama lagi. Setelah semua uji itu selesai, obat baru bisa diregistrasi.
Meski telah diregistrasi, namun hubungan antara obat dan manusia sesungguhnya selalu dinamis, sehingga penelitian terhadap suatu obat sejatinya takkan pernah berakhir. Setelah dikonsumsi oleh manusia, berbagai keluhan dikumpulkan dan dianalisis datanya pada “tahap uji ke-4”, yaitu uji post marketing survailance. Sederhananya, tahap ini adalah uji yang selalu berlangsung dan akan dilakukan kebijakan baru apabila terdapat hal-hal yang dirasa merugikan, seperti dilakukan recall (penarikan kembali obat-obatan).
Penelitian yang memakan waktu lama serta banyaknya sumberdaya manusia yang terlibat tentu menyebabkan biaya pembuatan obat menjadi teramat besar, yang bahkan dapat menyentuh angka triliunan rupiah. Fakta ini semakin diperparah, jika jaminan kesehatan rakyat justru hanya dijadikan komoditas seksi oleh negara dan para korporat. Wallahu a’lam.[]
Sumber: