Mengenal Ba’iat: Metode Baku Pemilihan Pemimpin dalam Islam
Kita tentu sangat familiar dengan kemesraan Amerika Serikat dan Israel. Bukti loyalitas yang terjalin dari generasi ke generasi ini, juga dikuatkan melalui ungkapan para pejabatnya. Jimmy Carter, Presiden AS ke-39 yang dengan sikapnya atas Palestina sangat berlawanan dengan hadiah Nobel Perdamaian yang dianugerahkan kepadanya 2002. Ia menyatakan,
“Kami memiliki hubungan istimewa dengan Israel. Hal tersebut merupakan perkara penting yang tidak ada satu pun di negara kita atau dunia yang pernah meragukan bahwa komitmen nomor satu kami di Timur Tengah adalah untuk melindungi eksistensi Israel demi terwujudnya perdamaian dunia. Hal tersebut adalah hubungan yang istimewa.”

Bahkan seorang Barack Obama, Presiden AS ke-44 yang kala terpilihnya sangat diharapkan dapat mengubah arah kebijakan AS karena hubungan eratnya dengan Indonesia yang merepresentasikan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia itu, ternyata juga menyatakan hal serupa,
“Saya memiliki komitmen yang jelas dan kuat atas keamanan Israel sebagai sekutu terkuat kita di wilayah itu dan satu-satunya negara dengan demokrasi yang mapan. Dan itu akan menjadi titik awal saya.”
Berbagai pernyataan itu cukup menggambarkan, bagaimana keseriusan AS dalam mempertahankan hubungan dengan Israel dan menempatkannya sebagai “mitra istimewa” (special ally).
Namun, bagaimana jika, di suatu masa ada penguasa negara yang memosisikan penguasa negara lainnya lebih dari sekedar mitra istimewa, lebih dari sekedar hubungan dagang, lebih dari sekedar hubungan utang-piutang, lebih dari sekedar hubungan militer, bahkan menganggapnya sebagai setinggi-tinggi pemimpin yang harus ditaati, meski sama-sama berstatus sebagai penguasa negara?
Hubungan itulah yang terjalin antara para penguasa negara di Nusantara dengan Khilafah ‘Utsmaniyyah.
Bahkan tak hanya di Nusantara. Bentuk ketaatan penuh kepada sang khalifah selaku panguasa politik tertinggi umat Islam (yang kemudian kita kenal sebagai ba’iat taat) juga dilakukan para penguasa muslim di belahan dunia lainnya. Sebab, perbuatan ini pada dasarnya memang jamak dilakukan oleh umat Islam, mulai dari generasi sahabat hingga ketika Khilafah ‘Utsmaniyyah runtuh.
Apa itu ba’iat taat?
Mungkin sebagian dari kita merasa bingung dengan konsep baku pemilihan pemimpin dalam Islam. Terkadang, seorang khalifah dipilih melalui musyawarah antar perwakilan umat Islam, sebagaimana ketika Abu Bakar dipilih. Seseorang juga bisa menjadi khalifah melalui penunjukan khalifah sebelumnya, sebagaimana ketika Umar bin Khattab dipilih. Dan seringkali, seseorang menjadi khalifah melalui sistem putra mahkota.
Jadi, mana cara yang benar? Bukankah dengan beragam cara tersebut, artinya Islam tidak memiliki sistem baku dan membebaskan pemeluknya dalam memilih pemimpin?
Jawaban sebaliknya, justru akan kita jumpai dalam buku-buku yang memberi penjelasan sistematis atas sistem pemerintahan Khilafah, misalnya buku “Ajhizah Daulah al-Khilafah”. Bahwa dari beragam cara tersebut, ternyata Islam mengajarkan bahwa
konsep baku pemilihan pemimpin atas seluruh umat Islam (khalifah) itu bukan pada cara pemilihannya, namun ada pada ba’iat.
Ba’iat yang didefinisikan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah sebagai perjanjian untuk ketaatan ini kemudian dapat dibagi menjadi dua: bai’at iniqod dan ba’iat ta’at.


Ba’iat in’iqod adalah ba’iat yang diberikan ketika seseorang akan disahkan menjadi seorang khalifah. Sebagaimana yang juga disinggung dalam buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”, ba’iat ini bisa diberikan oleh ahl al-halli wa al-‘aqdi, bisa juga dari seorang syaykh al-Islam (Tr. şeyḫülislam). Meski proses pengambilannya kadang berlangsung buruk, namun tetap dikategorikan sebagai ba’iat.
Adapun ba’iat taat, adalah bai’at mayoritas kaum muslimin kepada orang yang telah selesai dilakukan ba’iat penyerahan jabatan khalifah. Artinya, ba’iat ini mencakup berbagai level kalangan; mulai dari penguasa wilayah, pejabat, hingga rakyat jelata.

Mengapa ba’iat ini menjadi sangat penting?
Dalam Islam, keberadaan seorang khalifah adalah kebutuhan yang sangat vital. Sebab, ia bertugas untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia (li hiraasati al-diin wa siyaasati al-dunyaa) yang dilakukan melalui penjaminan atas terlaksananya syariat Islam dalam berbagai aspek kehidupan; yang mencakup hukum pidana, perdata, sistem ekonomi, sistem pergaulan, perjanjian antar negara, urusan jihad, dll.
Titik inilah yang membedakan ba’iat dengan sertijab di masa kontemporer. Sebab ketika ba’iat diserahkan, maka ada amanah berat yang wajib ditunaikan oleh sang khalifah, yakni terjaminnya pelaksanaan syariat Islam, bukan syariat yang lain. Adapun rakyat, dengan ba’iat itu juga memiliki amanah yang berat: menaati sang khalifah hanya jika ia melaksanakan hukum syara’, bukan hukum yang lain.

Berbagai bukti atas loyalitas penuh kaum muslimin di Nusantara itulah yang kemudian menjadi fokus penting dalam buku ke-2 KLI, “Dafatir Sulthaniyah”….
SPOILER BUKU “DAFATIR SULTHANIYAH”
Dirancang mewah, namun tidak berat. Full color dengan kertas HVS 80 gr, lengkap dengan gambar-gambar pendukung, serta soft cover berisi 158 halaman yang bisa dihabiskan hanya dalam beberapa kali duduk.
Buku ini adalah buku arsip pilihan yang mampu membuat kita tercengang, mengernyitkan dahi, dan menarik napas panjang. Sebagaimana sub judulnya, ia menguak bukti loyalitas muslimin Jawi kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah, yang mayoritasnya diungkapkan melalui surat – sebagai alat komunikasi utama kepada para penguasa saat itu.
Cakupan negeri Jawi dalam buku ini juga luas, melampaui garis teritorial ciptaan penjajah Eropa; sehingga loyalitas kepada Khilafah ‘Utsmaniyyah bisa kita temui di wilayah yang hari ini dikenal sebagai Malaysia, Indonesia, Brunei, Thailand, hingga Filipina.

