Sejarah

Pengaruh Hijaz dan Istanbul atas Gerakan Politik Nusantara Melawan Belanda

Share the idea

Kekhawatiran Belanda akan ancaman Pan-Islamisme membuat mereka mengeluarkan kebijakan yang mengatur permasalahan haji. Peraturan tersebut pertama kali keluar pada tahun 1825. Resolusi 1825 diarahkan pada pembatasan kuota haji dan mengawasi gerak-gerik jama’ah. Tarif untuk naik haji dinaikkan menjadi sebesar f.110, termasuk paspor ibadah haji yang diwajibkan untuk setiap jamaah.[1] Aturan ini dinilai gagal. Dengan adanya peraturan tersebut justru para jamaah malah pergi secara sembunyi-sembunyi, mencari jalan lain agar terbebas dari beban yang mahal.[2] Peraturan mengenai haji terus dievaluasi dan mengalami perubahan pada tahun 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan tahun 1922.

Mendapati kebijakan yang dibuat mengenai haji tidak efektif, maka Pemerintah Kolonial Belanda mencari cara lain. Akhirnya mereka terdorong untuk menugaskan Christiaan Snouck Hurgronje agar bekerja dalam badan baru yang dibuat Belanda, Kantoor voor Inlandsche en Arabische Zaken (KIAZ), sebagai Penasehat Urusan Pribumi dan Arab. Snouck dipandang sangat cocok untuk bekerja dalam posisi itu mengingat perannya sebagai Islamologis terkemuka dari Universitas Leiden.

Debut pertama Snouck dalam bidang studi Islam adalah disertasi doktoralnya yang berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan Makkah). Untuk penelitian disertasi itu Snouck sampai pergi ke Makkah langsung dan tinggal di sana. Mengingat Makkah sebagai Tanah Haram dan Tanah Suci kaum Muslim, tidak ada yang boleh memasukinya kecuali dia seorang Muslim. Untuk itu, Snouck berpura-pura masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Abdul Ghaffar al-Hullandi. Snouck menjadi harapan bagi Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia-Belanda untuk menangani permasalahan Islam yang pelik bagi penjajahan, di samping karena Snouck mengerti betul akan Islam, ia juga mempunyai visi untuk mengubah masyarakat terjajah dengan pandangan hidup liberalisme ala Eropa abad ke-19.[3]

Menurut Snouck, pemerintah kolonial Belanda harus membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai kekuatan “sosial politik”. Dalam paparannya yang lebih lanjut, Islam setidaknya memiliki tiga kategori, yakni: Islam sebagai agama murni (ibadah), Islam dalam bentuk sosial kemasyarakatan, dan Islam politik.

Untuk Islam dalam kategori pertama dan kedua, pemerintah kolonial hendaknya tidak ikut campur tangan, karena keduanya termasuk ke dalam hak kemerdekaan setiap warga. Bahkan untuk kategori bidang sosial dan kemasyarakatan, pemerintah kolonial kerap memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku untuk diarahkan pada kegiatan yang mendekatkan rakyat kepada Belanda.

Tetapi untuk Islam kategori ketiga, pemerintah kolonial harus mengupayakan setiap daya dan tenaga untuk mencegah agar hal tersebut tidak sampai ada dan bertumbuh kembang.[4] Usulan Snouck ini sejatinya merupakan paham sekularisme yang saat itu sedang berkembang di Eropa semenjak masa Renaissance yang meniscayakan pemisahan antara aturan agama dari urusan dunia.

Bagi orang-orang Eropa dari masa Renaissance sampai masa Snouck (bahkan sampai hari ini), agama cukup menjadi urusan privat masing-masing orang. Agama tidak boleh menjadi dasar pengaturan masyarakat karena ia merupakan urusan individu.

Rencana Snouck tidak berjalan mulus. Snouck seolah lupa bahwa orang-orang Muslim yang bergiat di Islam Politik tidak akan tinggal diam dengan kebijakannya. Selain dari dalam negeri, ancaman terhadap kekuasaan Belanda di Nusantara juga didengung-dengungkan di ibukota Khilafah Utsmaniyah, Istanbul. Setidaknya itulah yang didengar oleh Charles Keun, konsul jenderal Belanda di Teheran ketika sedang berada di Istanbul.

Tak sengaja ia mendengar percakapan antara dua orang Arab dari Makkah, yang kemudian diikuti oleh seorang Makkah yang berbahasa Melayu pada November 1880. Di antara yang mereka perbincangkan adalah, bahwa bangsa Turki yang terus merasa terancam oleh kekuatan Eropa, akan balik menyerang dan memilih mati sebagai syuhada ketimbang menanggung hinaan lebih lama lagi.

Bagian dari proyek mereka adalah “merevolusikan Hindia-Belanda dan India-Inggris”. Proklamasi yang ditujukan kepada penduduk pribumi sudah dicetak, dan langkah selanjutnya sudah disiapkan di Makkah.[5]

Sampai abad ke-20, Pemerintah Belanda masih sering direpotkan dengan ancaman Pan-Islamisme yang datang baik dari Istanbul maupun Makkah. Ketika Khilafah Utsmaniyah runtuh pada 3 Maret 1924, dunia Islam gempar. Di beberapa tempat muncul gerakan reaksioner untuk menegakkan kembali Khilafah, seperti di India dengan Khilafat Movement, Mesir, dan Hijaz yang kini sudah di bawah penguasaan total dinasti Saudi. Ketika diselenggarakan Muktamar Khilafah yang diselenggarakan oleh para ulama al-Azhar di Mesir setahun berikutnya, kaum Muslim di Hindia-Belanda mengirim utusan untuk menghadiri kongres tersebut.

Ketika Muktamar Khilafah di Mesir ini berujung kebuntuan, setahun berikutnya diadakan lagi muktamar yang serupa di Makkah pada 1 Januari 1926 oleh Raja Saudi Ibnu Saud. Utusan yang berangkat dari Hindia-Belanda kali ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto dari Partai Sarekat Islam dan Haji Mas Mansur dari Muhammadiyah. Walau muktamar kali ini tak membuahkan hasil lagi, tapi hal ini menjadi sebab lahirnya Nahdhatul Ulama (NU).[6]

Walau politik Islam menjadi makin goyah, namun komunitas keillmuan ashab al-Jawi di Haramayn masih menunjukkan eksistensinya sampai tahun 1990. Pada tahun 1934, Sayyid Muhsin al-Falimbani mendirikan Madrasah Dar al-Ulum al-Diniyyah yang terletak di Syi’b Ali, Makkah.

Madrasah ini khusus menampung murid-murid Jawi yang berasal dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan lain-lain. Di antara tenaga-tenaga pengajarnya adalah Sayyid Muhsin sendiri, lalu Amir Tengku Mukhtar, Muhsin al-Musawi, Zubair Ahmad al-Mandili, Abdur Rasyid al-Falimbani, Abdul Wahid al-Jambi, Ya’qub Firaq, Raden Atmojo, Abdul Majid, sampai yang paling mahsyur adalah Syekh Yasin al-Faddani[7], ahli hadits kontemporer dari Padang yang darinya Syekh Ali Jum’ah (Mufti Besar Mesir periode 2003-2013) berguru.[]

Tulisan ini adalah bagian terakhir dari serial tulisan hubungan antara Nusantara dengan Hijaz selama masa kolonial. Baca juga rangkaian tulisan lainnya.

Sumber:

[1,2,3] Nico J. G. Kaptein (ed.), Kekacauan dan Kerusuhan: Tiga Tulisan tentang

Pan-Islamisme di Hindia-Belanda Timur Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX, (Jakarta: INIS, 2003)

[4,5] M. Dien Madjid, Berhaji di Masa Kolonial, (Jakarta: CV Sejahtera, 2008)

[6] Harry J. Benda, Christiaan Snouck Hurgronje and The Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia, dalam Readings on Islam in Southeast Asia, (Singapore: ISEAS, 1985)

[7] Muhammad Shoheh, Cerita Perbantahan Dahulu Kala; Pembelaan dan Sanggahan Tuanku nan Garang Atas Kritik Sayyid Utsman bin Yahya bin Aqil Tahun 1885, (JUMANTARA – Jurnal Manuskrip Nusantara Vol. 4 No. 1 Tahun 2013)

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *