Pengaruh Politik Etis dalam Polemik Pembentukan Identitas Indonesia
Penulis : Anisa Fitriani
Belanda mencoba mengikat masyarakat pribumi dengan asosiasi kebudayaan, yang digarap melalui sektor pendidikan sebagai fokus utama produk liberal politik etis (1900-1930). Melalui pendidikan itulah, Belanda menghegemoni gagasan, pemikiran, serta mengasosiasikan budaya Barat kepada kalangan elit pribumi yang mampu mengakses pendidikan Barat (Suminto, Aqib. 1985: 41). Snouck Hurgronje merupakan aktor intelektual di balik antusiasme dan euforia masyarakat pribumi atas dimudahkannya akses pendidikan dan kebudayaan ini.
Namun, politik etis ini dilaksanakan bukan tanpa sebab. Pendidikan Barat ini bertujuan menciptakan kesatuan politik negara Timur dengan Barat (Pax Neerlandica) (Zamjani, Irsyad. 2010: 34). Selain itu, pendidikan Barat juga merupakan sebuah instrumen untuk memodernisasikan masyarakat pribumi, terutama bagi proyek westernized Indonesia. Peradaban Belanda harus mendominasi sekaligus menggantikan peradaban tradisional priyayi dan santri. (Zamjani, Irsyad. 2010: 35).
Para tokoh nasionalis justru banyak dilahirkan dari rahim pendidikan Barat—yang pada gilirannya menjadi motor penggerak bagi kebangkitan nasional. Sosok-sosok ini umumnya melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan cara yang kooperatif dan moderat melalui aktivitas dialog dengan Belanda. Sementara itu, gerakan lain yang memilih jalan non-kooperatif (radikal) dihadapi dengan berbagai tindakan represif oleh pemerintah kolonial.
Belanda kemudian mendirikan sebuah lembaga budaya bagi masyarakat pribumi, yaitu Balai Pustaka sebagai perusahaan percetakan dan penerbitan. Sebenarnya, Balai Pustaka ini berasal dari sebuah komite yang didirikan pada 1908 sebagai wadah untuk mempelajari masalah bacaan popular (Commissie voor de Volkslectuur), yang kemudian pada 1917 berubah menjadi Kantor Urusan Kesusastraan (Kantoor voor de Volkslectuur). Sementara pada 1920, ia memiliki kantor percetakan dan penjilidan buku (Jones, Tod. 2015:53).
Buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka tentu saja merupakan hasil seleksi yang cukup ketat dari pemerintah kolonial Belanda. Sebab pemerintah memiliki hak yang legitimate terhadap penentuan standardisasi buku-buku yang diterbitkan, yaitu harus bersifat netral, tidak bertentangan dari mainstream politik pemerintah Belanda, tidak merusak hukum dan tidak mengancam ketertiban (Jones, Tod. 2015:55).
Tokoh-tokoh nasionalis yang bersikap kooperatif terhadap Belanda seringkali menggunakan media pers sebagai kendaraan bagi gerakan politiknya. Misalnya pada awal 1930-an, melalui jurnal sastra Pujangga Baru di Balai Pustaka dalam rangka membangkitkan kesadaran nasional. Pujangga Baru merupakan pusat perdebatan para intelektual pribumi tentang mendefinisikan kebudayaan Indonesia pada 1930-an hingga 1942 (Jones, Tod. 2015:59).
Sebut saja Alisjahbana, tokoh intelektual Indonesia yang pertama memulai polemik budaya dalam sebuah artikelnya yang diterbitkan dalam Pujangga Baru pada Agustus 1935 dengan judul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”.
Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa keindonesiaan merupakan produk abad ke-20 dengan melepaskan kebudayaan “pra-Indonesia” (peradaban animisme-dinamisme, kerajaan Hindu-Buddha, termasuk kesultanan Islam) yang dipandangnya kolot, primitif dan tidak progresif. Sedang keindonesiaan adalah sebuah produk yang dihasilkan dari interaksinya dengan budaya Barat (modernisasi) yang ia sebut sebagai “budaya dinamis” (Jones, Tod. 2015:61-62).
Pembentukan identitas nasional yang digagas oleh Alisjahbana, terutama mengenai pengelompokan dua kebudayaan; pra-Indonesia dan kebudayaan Indonesia yang kemudian disebut sebagai budaya yang dinamis ini, memang tidak terlepas dari hujan kritik, terutama dari Sanusi Pane. Kritikannya terhadap teori Alisjahbana tentang identitas nasional ini dapat ditemukan dalam sebuah artikelnya yang berjudul “Kesatuan Indonesia” yang diterbitkan dalam Soeara Oemoem pada 4 September 1935.
Menurutnya, apa yang disebut Alisjahbana sebagai “keindonesiaan” ini memiliki sentuhan dari akar budaya barat seperti materialisme, individualisme, intelektualisme Barat, dan lain sebagainya yang mengabaikan aspek spiritualisme. Walaupun begitu, ia mengajukan sebuah gagasan atau teori mengenai identitas budaya nasional yang berbeda dengan Alisjahbana. Sanusi Pane justru berupaya menyintesiskan kebudayaan Barat yang didasarkan pada materialisme, individualisme, intelektualisme Barat, dan lain sebagainya dengan kebudayaan Timur yang berakar dari aspek spiritualisme sebagai gabungan yang harmonis dan seimbang (Jones, Tod. 2015:62).
Meski kedua gagasan tersebut memiliki perbedaan yang cukup tajam, namun kedua model ini diharapkan dapat menjadi alat untuk menyatukan unit-unit regional yang terpisah ke dalam identitas bersama bernama “Indonesia”—sebagai sebuah negara bangsa (nation state) baru yang terbebas dari penguasaan negara kolonial. Walau begitu, polemik di antara keduanya hanya berputar pada perdebatan yang masih bersifat abstrak dan mendasar (fundamen).
Gagasan-gagasan abstrak keduanya tak dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan konkret. Sebab, seluruh gagasannya mengenai pembentukan identitas nasional hanya menjadi wacana elitis masyarakat kota. Sementara masyarakat desa yang berada di luar elit perkotaan, tidak dapat mengakses tulisan-tulisannya atau terlibat aktif dalam perdebatan tersebut. Fenomena ini tentu menjadi masalah, sehingga berbagai gagasan tersebut yang hanya tersebar dalam jurnal sastra. Dengan mengambil jalan kooperatif terhadap pemerintah kolonial Belanda, nyatanya tidak dapat menciptakan kebangkitan kesadaran nasional.
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 1945, identitas kebangsaan perlu dibangun sebagai basis persatuan nasional, dimana pembentukan itu pada umumnya memerlukan atribut yang dimiliki bersama oleh warga negara. Hal ini dilakukan dengan menciptakan narasi sejarah baru yang kental dengan sentimen nasionalisme. Semua itu karena negara bangsa merupakan sebuah komunitas imajinatif dan dianggap berdaulat. Ketika proses pembentukan identitas nasional tersebut menguat, nation state sebagai “praktik tradisional’ yang sudah ada kemudian dimodifikasi, disakralisasi, dan dilembagakan demi kepentingan bangsa yang baru. Walhasil, nation state menjadi sebuah bentuk yang kaku dan “haram” untuk berubah.
Selain itu bahasa juga memainkan peranan yang penting, karena dianggap sebagai fondasi paling dasar atas kebudayaan bangsa. Maka, diciptakanlah bahasa nasional, yang membedakan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Faktor berikutnya adalah pendidikan untuk menciptakan “imajinasi” pembentukan masyarakat. Beberapa alat lainnya dalam membangun bangsa adalah media, teknologi, adat istiadat, dan penguasa.
Memang begitulah nasionalisme selalu membutuhkan dasar atau basis kekuatan untuk menciptakan persatuan nasional yang sifatnya relatif atau bahkan manipulatif. Kebudayaan Indonesia yang begitu kompleks dan beragam ini kemudian disederhanakan menjadi “budaya Indonesia” yang dibentuk pada abad ke-20. Maka jika dihadapkan dengan problematika tersebut, sebenarnya konsep negara bangsa (nation state), dimana segala instrumen pembentuknya yang telah dijelaskan di atas sangatlah bersifat temporal, tidak mengakar dan tidak menjadi jiwa masyarakat. Sebab, ia tidak menemukan pegangannya yang kokoh, sebagaimana konsep ummah yang berlandaskan pada akidah. Wallahu’alam []
Sumber:
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Irsyad Zamjani, Sekularisasi Setengah Hati: Politik Islam Indonesia dalam Periode Formatif, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).
Tod Jones, Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad ke-20 hingga Era Reformasi, (Jakarta: KITLV, 2015).