Sejarah

Perjuangan “Indonesia” dalam Menegakkan Kembali Khilafah

Share the idea

Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari rangkaian artikel dengan subtema:  “Perjuangan Khilafah di Masa Pra-Kemerdekaan”

Kongres Al-Islam pertama diadakan di Cirebon pada tahun 1922 atas inisiasi dari tiga organisasi besar kala itu, yaitu Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Al-Irsyad. Kongres ini merupakan bentuk mobilisasi elemen-elemen Muslim Hindia Belanda untuk membangun persatuan dan memecahkan persoalan Muslim terutama di Hindia Belanda.

Di sisi lain, berita yang menyebar adalah Mustafa Kemal telah dianggap sebagai pahlawan Islam karena berhasil mempertahankan wilayah Turki dari pendudukan sekutu. Dengan dorongan Haji Agus Salim, umat Islam Indonesia atas nama Kongres Al-Islam kemudian mengirim sebuah telegram kepada Mustafa Kemal sebagai ucapan selamat atas kemenangannya.

Memasuki periode kedua Kongres yang diselenggarakan di Garut tanggal 19-21 Mei 1924, umat Islam merasa harus terlibat serta mencari solusi atas peristiwa dibubarkannya institusi Khilafah. Hal tersebut didasari oleh terjadinya berbagai dinamika di dunia Islam Internasional sepanjang dua bulan sebelum kongres berlangsung, yaitu penghapusan khilafah oleh Majelis Nasional Turki yang disusul dengan seruan ulama al-Azhar untuk mencari khalifah baru, dan proklamasi sepihak dari Syarif Husein di Mekkah sebagai khalifah umat Islam.

Tjokroaminto dan Agus Salim kemudian merencanakan sebuah gerakan sosial untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam Indonesia sekaligus mencari keputusan mengenai sikap yang harus diambil terhadap persoalan ini. Pada pertengahan Agustus 1924, mereka membentuk Komite Khilafah.

Dengan dibentuknya Komite Khilafah, umat Islam Indonesia menginginkan adanya suatu pola gerakan yang terstruktur dan juga terukur. Komite ini juga dimaksudkan agar propaganda perjuangan Khilafah dapat tersebar ke seluruh Hindia Belanda. Oleh karena itu, dibentuklah cabang-cabang Komite Khilafah di sejumlah kota.

Pembentukan Komite Khilafah tidak terlepas dari datangnya surat undangan kongres Kairo kepada Muslim di Hindia Belanda. Untuk memutuskan apakah sebuah delegasi perlu dikirim dan posisi apa yang harus diambil, maka pada 4-5 Oktober 1924 para pemimpin Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Al-Irsyad mengadakan sebuah pertemuan di Madrasah Tarbiatoel Aitam Genteng, Surabaya.

Dalam pertemuan tersebut, terjadi diskusi yang panjang tentang Khilafah dan urgensi pengiriman delegasi untuk kongres di Kairo. Kongres Kairo merupakan sebuah pertemuan yang digagas oleh ulama Al-Azhar untuk membahas siapa yang layak memegang jabatan khalifah selanjutnya dengan mengundang wakil-wakil umat Islam di seluruh dunia. Tjokroaminoto dalam pidatonya menyampaikan tentang perlunya umat Islam memiliki seorang Khalifah dan perlunya peran aktif umat Islam di Indonesia untuk kepentingan Khilafah. Semua sepakat sepakat mengenai hal tersebut, namun satu hal yang kemudian menjadi bahasan panjang adalah : biaya keberangkatan dan kepulangan yang tentu sangat mahal.

Muncul saran untuk hanya mengirimkan mandat yang ditulis atas nama umat Islam Indonesia kepada kongres atau meminta mahasiswa Indonesia di Kairo untuk mewakili. Bahkan ada yang berpandangan bahwa pengiriman delegasi tidak akan berguna, karena orang Arab akan menganggap delegasi Indonesia tidak lebih dari seekor lalat. Namun, keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh sebagaian besar peserta. Haji Fakhruddin, seorang tokoh Muhammadiyah, membangkitkan kepercayaan diri umat Islam Indonesia dengan mengatakan, Jika  memang benar orang Mesir memandang rendah orang Indonesia sebagai lalat, biarkan mereka tahu seperti apa lalat ini. Dia menegaskan, Islam tidak membuat perbedaan ras, dan orang Indonesia tidak kalah dari orang Mesir.

Kongres Kairo ini tentu akan menjadi sebuah momen yang fenomenal, karena belum pernah dalam sejarahnya, diadakan sebuah kongres agama Islam sedunia. Karena itulah, kongres ini akan menjadi kongres umat Islam sedunia yang pertama. Untuk menangani masalah ini dan urusan umat Islam Internasional yang lain, Haji Fakhruddin kemudian mengusulkan agar mendirikan Komite Khilafah (Comite Chilafat). Beliau menginginkan umat Islam Indonesia memiliki peran yang lebih aktif dalam masalah besar yang dihadapi dunia Islam, dan pada saat yang sama memperkuat komunitas umat Islam di Indonesia.

Selain itu, pertemuan yang berlangsung di Surabaya ini juga membahas tentang konsep khilafah yang akan datang. Di masa-masa kemunduran Utsmani, khalifah hanya mengurusi urusan agama, padahal sejatinya ia memiliki kekuasaan penuh dalam berbagai urusan agama dan dunia. Segala keperluan khalifah merupakan kewajiban semua umat Islam dan dalam al-Qur’an disebutkan bahwa khalifah haruslah ada.

Selain itu, perlu diadakan Mejelis Khilafah yang dikepalai oleh seorang ketua, dan ketua tersebut yang dinamakan khalifah, sedangkan anggota majelis tersebut haruslah diambil dari wakil umat Islam di masing-masing negeri. Fakhruddin kemudian menegaskan supaya khalifah berkududukan di Mekkah, karena Mekkah adalah tanah suci umat Islam sedunia. Kalau khalifah itu berkedudukan di tempat lain, Turki atau Mesir misalnya, Khalifah pasti akan mementingkan keperluan bangsanya sendiri daripada bangsa lain meskipun sesama umat Islam.

Sepanjang sejarah umat Islam Indonesia, pertemuan ini menjadi pertemuan yang pertama kali khusus membahas khilafah dan diadakan di Indonesia. Hasil penting dari pertemuan ini adalah kesepakatan bahwa keberadaan khilafah adalah wajib, dan kesediaan mereka untuk menghadiri Kongres Khilafah di Kairo. Dalam pertemuan ini, dihimbau agar saat shalat Jum’at, Imam Masjid menerangkan tentang kewajiban umat Islam untuk mengangkat seorang khalifah.

“AKSI 1224”: KONGRES AL-ISLAM LUAR BIASA

Sebagai salah satu bentuk keseriusan Komite Khilafah dalam memperjuangkan kembalinya Khilafah, mereka melakukan mobilisasi massa paling masif yang terjadi pada akhir Desember tahun 1924 dalam Kongres Al-Islam Luar Biasa. Komite Khilafah mengupayakan agar tercipta kemufakatan “nasional” tentang perjuangan Khilafah, sehingga komite pun mengumpulkan berbagai elemen Muslim dari seluruh penjuru Hindia Belanda. Kongres Al-Islam Luar Biasa diselenggarakan pada tanggal 24-27 Desember 1924 di Surabaya.

Kongres ini dihadiri oleh para ulama dan 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat maupun cabang. Ada tiga keputusan yang dihasilkan dari kongres ini.

Pertama, wajib hukumnya terlibat dalam perjuangan khilafah.

Kedua, disepakati akan terus didirikan Komite Khilafah di seluruh Indonesia.

Dan terakhir, diputuskan akan mengirimkan tiga orang utusan sebagai wakil umat Islam Indonesia ke Kongres Kairo. []

[BERSAMBUNG KE BAGIAN 3 – PERJUANGAN KHILAFAH DI MASA PRA-KEMERDEKAAN: BERAKHIRNYA PERJUANGAN KHILAFAH DI “INDONESIA”]

Sumber:

Martin van Bruinessen, “Muslim of the Dutch East Indies and The Caliphate Question”, dalam Studia Islamika, Vol 2, No. 3, 1995, hlm. 115-140.

Surat Kabar Bandera Islam, 30 Oktober 1924.

Surat Kabar Hindia Baroe, 16, 17, 18 Oktober 1924.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *