Pesan Imam al-Ghazali dalam Dunia Kajian Filsafat
Dalam mukaddimah kitab Tahafut Al-Falasifah karya sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, beliau menyampaikan,
“Setelah melihat nadi kebodohan berdenyut dalam diri orang-orang bodoh tersebut, saya merasa terdorong untuk menulis buku ini sebagai sanggahan atas para filsuf terdahulu dan eksplorasi atas kerancuan dalam keyakinan inkonsistensi berbagai teori mereka dalam persoalan yang terkait dengan metafisika. Buku ini juga menyingkap relung-relung terdalam dari elemen pemikiran mereka yang dapat mewujudkan suka cita kaum intelektual dan memberikan pelajaran pada para cendikiawan. Yang saya maksudkan adalah berbagai persoalan akidah dan pendapat yang menjadi medan perdebatan dengan kelompok mayoritas umat Islam”.
Memang sikap mereka yang keliru ini menurut Imam Al-Ghazali adalah berdasarkan,
“Sikap kekafiran mereka bersumber atas kekaguman mereka kepada nama-nama besar seperti Socrates, Hippocrates, Plato, Aristoteles, dan lain-lain, berikut penerimaan para penganut pemikiran tokoh-tokoh itu serta kesesatan dalam memberikan penjelasan tentang kapasitas intelektual, rumus-rumus prinsip yang tak perlu dipertanyakan lagi, kedalaman pengetahuan dalam bidang matematika, logika, fisika, dan metafisika, serta kemampuan luar biasa mereka dalam menyingkap hal-hal yang tak diketahui melalui metode deduktif”.
Adalah demikian, akhirnya, Imam Ghazali pun menyampaikan,
“Buku ini juga berkepentingan untuk mengeluarkan mereka dari sikap berlebihan, yaitu anggapan bahwa berpegang kepada kekafiran secara taklid (yaitu para filsuf Barat) adalah menunjukan tingginya kualitas pemikiran dan kecerdasan mereka”.
Pun Imam Al-Ghazali menginginkan,
“Kami bermaksud menyingkap aspek-aspek yang membuat mereka tersesat, berupa anggapan-anggapan yang tak berdasar dan kekeliruan-kekeliruan. Dalam hal ini kami harus menjelaskan bahwa semua penyimpangan tersebut merupakan warna permukaan pemikiran para filsuf yang mengandung capaian-capaian berharga yang harus tetap diapresiasi”.
Itulah sekelumit mukaddimah yang mendasari mengapa beliau akhirnya terjun ke ‘ring’ perdebatan filsuf. Namun, hal menariknya adalah, ternyata beliau pun menyadari bahwa pasca keterlibatan dirinya dalam perdebatan filsuf tersebutlah yang sempat membuat beliau goyah. Keresahan beliau berpangkal pada sebuah niat dalam mengerjakan sebuah kebaikan. Beliau resah, apakah buku dalam rangka penyebaran ilmu pengetahuan ini benar-benar diniatkan untuk berdakwah ataukah hanya sekedar demi menggapai kepuasaan dan kebanggaan belaka.
Beliau sempat bercerita,
“Kemudian saya berpikir tentang niat saya dalam mengajar – artinya ketika hendak keluar dari Baghdad untuk menerapkan metode Sufi pada dirinya – ternyata ia tidak murni karena Allah. Bahkan ia terdorong dan digerakkan oleh tuntutan terhadap kedudukan terhormat dan kehormatan. Maka, saya yakin saya sedang berada di bibir jurang yang dalam dan sedang mendekati bara api, jika tidak segera bersibuk diri untuk menghindar”.
Bahkan pada kesempatan lain, yaitu ketika beliau menghentikan aktivitas penyepiannya untuk kembali mengajar di Naisabur, Al-Ghazali menyatakan,
“Saya tahu bahwa sekalipun saya kembali ke gelanggang penyebaran ilmu, namun sesungguhnya saya tidak kembali. Karena ‘kembali’ berarti mengulangi apa yang sebelumnya. Dulu, pada saat itu (beliau menunjukkan pada saat ia berada di Baghdad ketika menulis Tahafut) saya menyebar ilmu pengetahuan sehingga mendapatkan kedudukan terhormat. Dengan kata dan perbuatan, saya mengharap kedudukan terhormat itu. Itulah tujuan dan niat saya”.
Karena itulah, di akhir hidupnya beliau lebih mendekatkan diri dengan pemikiran sufisik yang menjadikan beliau merasa, “telah mendapatkan pencerahan petunjuk kepada pandangan ‘ketersingkapan tabir sufistik’”.
Berdasarkan perjalanan kehidupan Sang Hujjatul Islam di atas, ada sebuah hikmah besar untuk kita semua.
Adalah niat merupakan hal yang penting dan utama. Tak terkecuali niat dalam aktivitas kebaikan pun termasuk dakwah. Boleh jadi memang, aktivitas dakwah yang kita lakukan memang benar-benar diperlukan oleh masyarakat. Namun, jika niat kita terjun berdakwah tidaklah tulus karena-Nya, alih-alih bermimpi mendapatkan unta merah, yang terjadi justru menggelincirkan kita ke dalam, “jurang yang dalam dan sedang mendekati bara api” bila kita tidak segera bersibuk diri untuk meluruskan niat kita.
Adalah tentu, setiap saat dan setiap waktu, dalam beragam aktivitas kebaikan pun dengan dakwah, kita selalu memperbaharui niat kita kita, agar niat kita semata-mata “Lillahi ta’ala” bukan “Ghairu Lillahi ta’ala”.
Semoga Allah menjaga kita agar senantiasa memiliki niat yang lurus dan semata-mata mengharap ridho-Nya. Aamiin.[]
Sumber :
Imam Al-Ghazali. 2016. Tahafut Al-Falasifah: Kerancuan Para Filosof. Penerbit Marja: Bandung.