PemikiranPolitikSejarah

Pesan Perjuangan Tokoh Bangsa dalam Penerapan Syariat Islam

Share the idea

“Ada pula anggota yang terhormat berkata, ‘barangsiapa yang hendak menukar Pancasila dengan dasar lain, adalah dia berkhianat kepada arwah pemimpin-pemimpin yang telah terdahulu’.

Maka, inginlah saya bertanya dari hati ke hati minta beliau tunjukkan pemimpin yang terdahulu, manakah yang kami khianati, karena kami memperjuangkan Islam sebagai dasar negara ini?”

Buya Hamka. Dikutip dari buku Debat Dasar Negara : Islam dan Pancasila Konstituante 1957. Pustaka Panjimas. Jakarta.

“Perjuangan waktu itu artinya: esa hilang, dua terbilang! Biarlah mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai! Insting kita takut menghadapi mati! Tetapi, kita hendak memberi nilai yang sebenarnya dari kematian itu. Hidup menjadi budak, lebih hinda dan rendah harganya, daripada mati karena memperjuangkan cita.”

-Pidato Buya Hamka di Sidang Konstituante. Dikutip dari arsip “Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 1”. Jakarta. RI, 1958. Indonesia.

“Bukan semata-mata lantaran Umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnya, kami mengajukan Islam sebagai dasar negara kita. Akan tetapi berdasarkan kepada keyakinan kami, bahwa ajaran-ajaran Islam mempunyai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat menjamin hidup keagamaan atas saling harga-menghargai antar pelbagai golongan didalam negara : kalaupun besar tidak akan melanda, kalaupun tinggi malah melindungi.”

Moh. Natsir dalam pidato pertama dari Partai Masyumi di Sidang Konstituante. Dikutip dari buku Debat Dasar Negara : Islam dan Pancasila Konstituante 1957. Pustaka Panjimas. Jakarta.

“Tidak ada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah utusan Allah. Atas dasar itu kita hidup dan atas dasar itu pula kita mati. Di dalam djalan itu kita berdjuang dan di atas dasar itu kita menghadap Allah. Allah Maha Besar! Tidak ada hukum, ketjuali hukum yang diturunkan Allah. Allah Maha Besar! Tidak ada kemuliaan, ketjuali dengan Islam. Allah Maha Besar! Walaupun orang-orang kafir tidak suka. Allah Maha Besar! Dan Allah-lah jang mempunyai segala kepudjian.”

Kalimat penutup di Tafsir Asas Partai Masjumi. Dikutip dari buku karya Artawijaya. 2014. Belajar dari Partai Masjumi. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.

“Seorang Muslim harus berjuang terus. Hukumnya wajib. Dia harus berjuang terus selama hidupnya. Hidup adalah perjuangan!

Tidak usah seorang Muslim berkecil hati. Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau telah gagal, hanya memang belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan Teuku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, H.A. Salim dan lainnya itu pun tidak gagal, hanya belum sampai pada tujuannya.”

Kasman Singodimedjo, Komandan Batalion Pasukan Pembela Tanah Air (PETA). Dikutip dari buku karyaRemy Madinier. 2013. Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral. Mizan Pustaka. Bandung.

“Tiap-tiap pembawa cita-cita yang besar tentu akan menghadapi perlawanan. Tidak bisa lain dari begitu. Dan perlawanan itulah yang menjadi pupuk untuk kesuburan cita-cita.”

Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum (terakhir) Partai Masyumi. Sebuah Pesannya di balik jeruji penjara Madiun, 15 Oktober 1962. Dikutip dari buku karya S. U Bajasut dan Lukman H. 2014. Alam Pikiran dan Jejak Perjuangan Prawoto Mangusasmito : Ketua Umum (terakhir) Partai Masyumi. Penerbit Kompas. Jakarta.

Bagi setiap muslim, menerapkan syariat Islam adalah sebuah kewajiban agama yang tak dapat ditawar-tawar. Ia juga bukan prasmanan, sehingga dapat mengambil yang suka dan meninggalkan yang tidak suka.

Demikian pentingnya, hingga para tokoh Islam mati-matian memperjuangkannya sebagai rumusan dasar negara. Demikian pentingnya, hingga Ki Bagus Hadikusumo sebagai orang nomor satu di Muhammadiyah ngotot mempertahankan Agama Islam dimasukkan ke dalam Mukaddimah dan Undang-Undang Dasar 1945. Demikian pentingnya, hingga beliau dengan tegas menyatakan bahwa Islam itu mengandung Ideologi negara, sehingga negara tidak bisa dipisahkan dari Islam.

Dan demikian pentingnya, hingga seorang Kasman Singodimedjo menangis menyesal berhambur air mata mengetahui bahwa dirinya ternyata telah terlibat dalam peristiwa penghapusan tujuh kata.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *