PemikiranSejarah

Piagam Jakarta yang Dikhianati

Share the idea

Hasil kerja Panitia Sembilan yang terdiri dari empat orang wakil kelompok Islam dan lima orang wakil kelompok nasionalis pun disepakati ditanggal 22 Juni 1945. Kesepakatan itu dikemudian hari dikenal dengan, “Piagam Jakarta”.

Waktu terus bergerak. 15 Juli 1945, pembaringan itu telah menjadi saksi gelisahnya Ir. Soekarno malam itu. Terngiang dengan jelas di benaknya peristiwa hari tadi di rapat Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Posisinya sebagai penengah antara kubu Kristen dan Islam membuat ia gundah-gulana. Satu sisi ia harus mengakomodir aspirasi para Ulama, namun di sisi yang lain, ia berusaha untuk menjaga perasaan tokoh-tokoh yang berlainan ideologi dan agama. Alhasil, malam itu ia dirundung pilu, teringat jelas bagaimana tegas nya pihak Islam menginginkan syariah Islam menjadi landasan bernegara.

“Supaya dari permulaan penyataan Indonesia merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu, yang menyebut agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali. Jangan ada hal itu!” dengan gebrakan meja Prof. Abdul Kahar Muzakkir lantang bersuara.

Ki Bagus Hadikusumo, seorang Tokoh Muhammadiyah pun menambahkan, “Saya berlindung kepada Allah dari setan yang merusak. Tuan-tuan! Dengan pendek sudah kerapkali ditengangkan di sini, bahwa Islam itu mengandung Ideologi negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi. Kalau Ideologi Islam tidak diterima, jadi nyata negara ini tidak berdiri di atas agama Islam dan negara akan netral,”.

Pangkal melecutnya kemarahan kedua tokoh ini adalah penolakan Ir. Soekarno terhadap usulan Tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wachid Hasjim, bahwa presiden harusnya seorang Muslim, “Orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Menurutnya, jika klausul, “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang tercantum dalam Piagam Djakarta, 22 Juni 1945, maka presiden harusnya seorang Muslim. Jelas Ir. Soekarno gelisah kerana itu. Esoknya, setelah melalui sidang yang melelahkan, diputuskanlah bahwa, usul K.H. Abdul Wachid Hasjim, diterima.

Tanggal 17 Agustus 1945 pun Indonesia memproklamirkan diri merdeka. Esoknya, 18 Agustus 1945, dilakukan sidang lanjutan PPKI. Namun, di sidang itulah tragedi “Penghapusan Tujuh Kata” terjadi. Menghujam-menohok sanubari tokoh Umat Islam. Selama 54 hari naskah Piagam Jakarta disimpan dalam lipatan, menanti masa kemerdekaan. Namun, rupanya jalan sejarah tidak bergerak sesuai Piagam Jakarta itu. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia diumumkan 18 Agustus 1945. “Tujuh Kata” itu, “..Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya…” ditiadakan sama sekali!

Sejarah kelam “Lepasnya Tujuh Kata” itu lah yang akhirnya menjadi dasar pembentuk identitas politik dan aspirasi-aspirasi aliran Partai Masjumi, kelak. Mereka adalah penerus asa dan perjuangan atas “pengkhinatan Piagam Jakarta,” [].

Sumber :

Artawijaya. 2014. Belajar dari Partai Masjumi. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.

Gambar: https://userscontent2.emaze.com/images/77dd6ff2-38c3-496a-8124-6747108b0e15/Slide2_Pic1_636472940978860298.png

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *