PemikiranSejarah

Pidato Fraksi NU dalam Sidang Konstituante tentang Pancasila dan Dasar Negara

Share the idea

Dalam sidang konstituante, sebagaimana yang dibukukan langsung oleh Wilopo (Ketua Konstituante 1955-1959) dalam arsip, “Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Djilid III”, terdapat sebuah pidato menarik yang disampaikan oleh anggota no. 121 Fraksi NU, K.H. Masjkur.

Di awal pidato, beliau menyampaikan kondisi terkini sidang,

“…sekarang kita masing-masing telah agak banjak mendapatkan dan menerima pendjelasan pokok-pokok pikiran jang menundjukkan dimana persamaan dan perbedaannja diantara pendirian jang menghendaki Islam sebagai Dasar Negara, Pantja Sila atau Sosial-Ekonomi sebagai Dasar Negara…”

Harus diakui, perbedaan itu memang pasti ada. Dan karena itulah, para tokoh bangsa bermusyawarah dalam sidang konstituante untuk mencari kebenaran.

“…djika saja mentjoba mentjari persamaannja, maka terdapatlah didalam Islam itu suatu idee jang dapat mentjakup idee-idee jang terkandung didalam Pantja Sila dan Sosial-Ekonomi, baik dilapangan politik, ekonomi maupun sosial dengan segala konsekwensinja…”

“…Perbedaannja Saudara Ketua, ialah didalam bidang filsafat jang mendjadi dasar dan unsur pokok daripada terdjelmanja idee-idee jang sudah saja terangkan diatas. Dengan keterangan seperti jang saja kemukakan, teranglah bahwa semua laku dari suatu bangsa atau masjarakat dipengaruhi oleh filsafat. Dibelakang tuntutan negara berdasar Islam, Pantja Sila atau Sosial-Ekonomi terbentanglah perbedaan filsafat…”

Memang, perbedaan di antara ketiganya itu ada. Terutama dalam aspek dasar pemikirannya. Meski begitu, dialektika terus berlangsung untuk menemukan asas yang tepat sebagai penentu arah gerak bangsa yang besar ini.

“…tetapi maaf Saudara Ketua dan sekali lagi maaf, bahwa umat Islam tidak dapat menerima hudjdjah dan argumentasinja itu karena tidak sesuai dengan tjermin dan pedoman pokok umat Islam jang harus didjadikan ukuran timbangan dari segala sesuatu…”

“…Kalau kita telah dapat menerima adjaran itu dan sanggup mendjalankan dengan kejakinan bahwa peladjaran itu akan membawa kebahagiaan hidup djasmani maupun rochani bagi bangsa dan negara, masjarakat dan perseorangan, mengapa kita malu-malu mengakui terus-terang, bahwa itu adalah adjaran dari Penguasa Alam Semesta, Tuhan Allah Jang Maha Kuasa jang adjarannja itu disalurkan melalui agama. Mengapa lalu kita belokkan bahwa itu adalah adjaran Pantja Sila?

Pantja Sila adalah rumusan jang kosong, masih membutuhkan isi. Pantja Sila akan mendjadi perwudjudan menurut orang jang akan mengisinja. Kalau andaikata

ke-Tuhanan Jang Maha Esa jang tertjantum pada sila pertama didalam Pantja Sila itu diisi oleh orang atau golongan jang mengakui bahwa bahwa Tuhan adalah batu, maka keTuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi batu. Kalau diisi oleh orang atau golongan jang memper-Tuhankan pohon, ke-Tuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi ke-Tuhanan pohon…”

Tak berhenti sampai di situ. Beliau kemudian mengkritisi aspek ideologi Pancasila yang belum mampu menjawab masalah-masalah manusia di berbagai aspek kehidupan.

“…bagaimana dan dari mana sumber-sumber adjaran-adjaran Pantja Sila tentang persoalan-persoalan jang sudah saja kemukakan tadi? Bagaimana sistim hukum perdata a la Pantja Sila, hukum pidana a la Pantja Sila, hukum perkawinan a la Pantja Sila, hukum perang dan damai a la Pantja Sila, hukum ini dan hukum itu a la Pantja Sila? Dan begitu seterusnja masih dapat saja adjukan beberapa pertanjaan lagi.

Disinilah Saudara Ketua, titik persimpangan djalan dan perbedaan jang prinsipiil diantara Islam dan Pantja Sila. Perbedaan ini Saudara Ketua, baru dilapangan hukum sadja sudah sangat tampak dan dilapangan lain masih banjak lagi.

Memang sesungguhnja Saudara Ketua, unsur-unsur Islam bagi hidup dan penghidupan manusia tidak sadja mempunjai sjarat-sjarat dunia modern, tetapi djuga sudah diakui dunia bahwa Islam itu bukan semata-mata agama dalam arti ibadat sadja, tetapi suatu “way of life”, suatu djalan hidup. Islam mempunjai sumber dan dasar jang kokoh, tjara pengolahan pelaksanaan hukum-hukumnja tjukup mempunjai djiwa progresif, tetapi Pantja Sila; dimana pengambilan sumber-sumber hukumnja, bagaimana tjara pengolahannja dan pelaksanaannja? Bagi saja dan fraksi saja, Fraksi Nahdlatul Ulama, Pantja Sila tidak menggambarkan soal-soal jang telah saja gambarkan diatas. Apakah memang begitu sifat dan wudjudnja Pantja Sila?”

Memang, yang beliau sampaikan benarlah adanya. Penyelidikan dengan lebih seksama menunjukkan bahwa Islamlah yang cocok untuk menjadi dasar negara, yang mana sesuai dengan kepribadian rakyat Indonesia yang sebagian besar sudah memiliki unsur-unsur ajaran Islam. Diakui, bahkan telah mendarah daging.

“…supaja lebih mejakinkan hati Saudara-saudara untuk menerima Islam sebagai Dasar Negara, maka disini saja mengadjak Saudara-saudara supaja mempeladjari Islam dengan sedalam-dalamnja dari sumbernja jang resmi, djangan diambil dari dongeng-dongeng dari kata-kata Sahibul hikajat; apalagi djika ditafsirkan sesuai dengan tafsiran kolonial Belanda, jang menganggap Islam sebagai momok. Tidak usah kita tergesa-gesa, tempo masih tjukup untuk mempeladjari Islam sedalam-dalamnja.”

Dalam penjelasannya atas hasil pembicaraan antar anggota Fraksi Nahdlatul Ulama, K.H. Masjkur menyampaikan, “Terhadap kepada beberapa keterangan para Anggota jang melemahkan dasar Islam dihubungkan dengan adanja Partai-partai Islam didalam dan diluar kabinet, saja dari Fraksi Nahdlatul Ulama berpendapat, bahwa argumentasi dan alasan tersebut sangat tidak tepat. Bagi Nahdlatul Ulama dan kawan-kawan seideologi Islam memperdjuangkan Islam sebagai Dasar Negara adalah keharusan dan kewadjibannja jang mutlak, sehingga oleh karena itu dalam Konstituante ini tidak sepatutnja politik praktis jang dipegang oleh masing-maisng Partai diluar gedung Konstituante ini dihubung-hubungkan…”

Retorika kemudian berlanjut dengan menjawab kekhawatiran-kekhawatiran jika Islam dijadikan sebagai dasar negara bagi Indonesia yang notabene masyarakatnya majemuk, “Saudara Ketua jang terhormat, dari beberapa keterangan dari sementara Anggota jang mengatakan bahwa bilamana Islam didjadikan Dasar Negara, maka Kepala Negara harus seorang jang beragama Islam, hal ini olehnja dianggap suatu diskriminasi dan menjalahi Hak Asasi Manusia jang harus terdjamin penuh bagi warga negara…”

“…Saudara Ketua, kalau kita berpikir setjara adil dan djudjur, maka sjarat jang demikian itu adalah wadjar dan tepat sebab bagaimanapun djuga kita telah sama-sama maklum bahwa seorang Kepala Negara selain harus memenuhi sjarat keahlian jang diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnja dengan baik dan sempurna, pun harus merupakan tjermin dan lambang dari ideologi dan filsafat jang mendjadi Dasar Negara itu…

Tak lupa, beliau menyampaikan satu polemik atas keberadaan Pancasila, “Ja… Saudara Ketua jang terhormat, tidak heran bagi saja bahwa dalam proses pertumbuhannja idee Pantja Sila terdapat fakta-fakta jang mentjurigakan, malah boleh dikatakan membahajakan bagi golongan kaum beragama. Fakta-fakta jang saja maksudkan antara lain jaitu:

Kalau orang Islam beribadat Hadji itu menurut kejakinannja adalah satu kebaktian jang religieus, tetapi apa njatanja? Ja berkat pengertian ke-Tuhanan Jang Maha Esa a la Pantja Sila, orang mudah sadja mengatakan bahwa umat Islam jang beribadat Hadji itu hanja menghambur-hamburkan deviden Negara sadja. Ini suatu tjontoh sadja Saudara Ketua. Oleh karena itu, dimanakah letaknja harmoni sifat rochaniah dengan djasmaniah itu?…”

“…Saudara Ketua sebagai kata terachir saja ingin menjimpulkan semua keterangan jang telah saja utjapkan diatas:

  1. Bahwa unsur-unsur Islam telah mendjiwai sebahagian besar daripada masjarakat Bangsa Indonesia, sehingga merupakan kepribadian bangsa.
  2. Bahwa Pantja Sila tetap merupakan rumusan jang kosong jang tidak berketentuan arah tudjuannja.
  3. Bahwa adjaran Islam memenuhi sjarat untuk mengatur hidup dan prikehidupan manusia.

Maka oleh karena itu saja atas nama Fraksi saja tetap menghendaki Islam mendjadi Dasar Negara Indonesia. Sekian dan terima kasih.”

Inilah qaul qadim yang terjadi dalam sidang konstituante. Darinya, kita dapat mengetahui pandangan ulama NU di masa itu tentang dasar negara, pendapat bahwa Pancasila bukanlah ideologi, Pancasila merupakan rumusan yang kosong, bahkan ketegasan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Meski qaul tersebut kemudian dinasakh oleh qaul jadid dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984, namun hal tersebut justru menunjukkan bahwa perubahan kebijakan dan pendapat itu mungkin. Artinya, tidak ada yang benar-benar final.[]

Sumber:

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 1. Indonesia.

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 2. Indonesia.

Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 3. Indonesia.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *