Polemik Pancasila di Konstituante
Polemik Soal Pantja Sila begitu terasa di Sidang Konstituante. Faksi Islam membawa Islam sebagai dasar negara, alih-alih membawa Pantja Sila. KH Masjkur dari Fraksi Nahdlatul Ulama (N.U.) menyatakan,
“Akan tetapi pada pokoknja Pantja Sila sendiri tidak mempunyai sistim, adjaran demokrasi jang tertentu. Djadi terserah kepada siapa jang akan mengisinja, sedang akibatnja dari matjam-matjam sistim demokrasi itu terhadap kedaulatan rakjat djauh berbeda, mana jang dikatakan adjaran Pantja Sila? Begitulah pula nasibnja daripada sila-sila lainnja”.
K.H. Achmad Zaini dari NU pun berpendapat senada, “Sebab harus diakui di samping Pantja Sila itu belum merupakan suatu konsepsi kongkrit masih banjak hal-hal jang tidak djelas. Karenanja sukar sekali menentukan arah tudjuan jang sebenarnja, apalagi kalau dikatakan bahwa Pantja Sila itu adalah suatu adjaran dan sistim ketata-negaraan dengan telah ditentukan saluran dan sumber-sumbernja serta bentuk dan tjoraknja jang sebenarnja.”
“… Untuk lebih djelas baiklah di bawah ini saja kemukakan beberapa soal : “Kalau Pantja Sila itu adalah sebagai suatu adjaran, dari manakah sumbernja dan bagaimana pula saluran serta pedoman-pedomanja? Sampai di manakah arti tcorak ke-Tuhanan Jang Maha Esa dan sampai di mana pula konsekwensi negara terhadap pengakuan ke-Tuhanan itu? Demikian seterusnja mengenai Perikemanusiaan, Kerakjatan (demokrasi), Kebangsaaan dan Keadilan Sosial”.
Superioritas Ideologi Islam jelas tidak dapat tertandingi oleh Pantja Sila. Menyoal bagaimana menjawab tuntunan dan menghukumi persoalan kehidupan Pantja Sila pun tidak mampu.
K.H. Masjkur dari Fraksi NU berpendapat, “Kalau bagi adjaran-adjaran Islam dengan procedure pelaksanaan hukum-hukumnja telah metjangkup idee Pantja Sila sebagaimana jang telah saja kemukakan dan mempunjai dasar-dasar jang tegas dan kongkrit, maka sekarang saja ingin meminta penjdelasan dan keterangan dari Saudara-Saudara pendukung Pantja Sila,”
“… bagaimana dan dari mana sumber-sumber adjaran-adjaran Pantja Sila, Sila tentang persoalan-persoalan jang sudah saja kemukakan tadi? Bagaimana sistim hukum perkawinan ala Pantja Sila, hukum pidana ala Pantja Sila, hukum perang dan damai ala Pantja Sila, hukum ini dan hukum itu ala Pantja Sila? dan begitu seterusnja masih dapat saja adjukan beberapa pertanjaan lagi”.
Ia menambahkan, “Di sinilah Saudara Ketua, titik persimpangan djalan dan perbedaan jang prinsipiil antara Islam dan Pantja Sila. Perbedaan ini Saudara Ketua, baru di lapangan hukum sadja sudah sangat tampak dan di lapangan lain masih banjak lagi”.
Bahkan, K.H. Masjkur pun mengkritik dengan keras, “Pantja Sila itu adalah rumusan jang kosong, masih membutuhkan isi. Pantja sila akan menjadi perwudjudan menurut orang jang akan mengisinja.”
“… Kalau andaikata ke-Tuhanan Jang Maha Esa jang tertjantum pada sila pertama di dalam Panjta Sila itu diisi oleh orang atau golongan jang mengakui bahwa Tuhan adalah batu, maka ke-Tuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi batu. Kalau diisi oleh orang atau golongan jang memper-Tuhankan pohon, ke-Tuhanan dalam Pantja Sila itu akan berisi ke-Tuhanan pohon”.
“Memang sesungguhnja Saudara Ketua, unsur-unsur Islam bagi hidup dan penghidupan manusia tidak sadja mempunjai sjarat-sjarat dunia modern, tetapi djuga sudah diakui bahwa dunia Islam itu bukan semata-mata agama dalam arti ibadat sadja, tetapi suatu “way of life”, suatu djalan hidup.
“Islam mempunjai sumber dan dasar jang kokoh, tjara pengolahan pelaksanaan hukum-hukumnja tjukup mempunjai djiwa progresif, tetapi Pantja Sila; di mana pengambilan sumber-sumbernja, bagaimana tjara pengolahannja dan pelaksanaanja? Bagi saja dan Fraksi saja, Fraksi Nahdlatul Ulama (N.U), Pantja Sila tidak menggambarkan soal-soal jang telah saja gambarkan diatas”.
Begitu pula yang disampaikan oleh K.H. Saifuddin Zuhri, “Bertanjalah hati kami : “Apakah Pantja Sila tidak lain hanjalah kumpulan daripada paham pelbagai ragam jang hanja untuk menentramkan semua golongan?”. Padahal di dalamnja mengandung unsur dan benih pertentangan jang kelak hanja akan mendatangkan seribu satu matjam kesulitan”.
Ia pun kembali menyatakan, bahwa soal Islam sebagai pilihan satu-satunya seraya menolak yang lain, termasuk di dalamnya Pantja Sila. “Saudara Ketua jang terhormat, Fraksi kami Nahdlatul Ulama (N.U.) berikut Fraksi-Fraksi Islam jang lain, semakin teguh memegang pendirian, bahwa hanja Islamlah jang memiliki kesempurnaan untuk menjdadikan dia suatu Dasar Negara jang tepat dan sesuai dengan kepribadian bangsa dan negara kita. Maka dalam Sidang jang mulia ini, pendirian kami ialah : “Sejogianja tidak ada pilihan lain ketjuali islam untuk mendjadi Dasar Negara”.
Adalah sidang Konstituante, polemik Pantja Sila begitu terasa. Memang begitulah arti dari konfrontasi dalam suasana toleransi. Menjelaskan secara gamblang pandangan-pandangan tanpa terkecuali. Pun begitu dengan Faksi Islam yang bahkan berani berpolemik soal Pantja Sila yang saat itu dijadikan semacam ‘agama baru’ bagi sebagaian pendukungnya [].
Sumber:
Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 1. Indonesia.
Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 2. Indonesia.
Jakarta. RI, 1958. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante djilid 3. Indonesia.