Racun Itu Bernama Materialisme, Nasionalisme, dan Sekularisme

Share the idea

Penulis : Fadlil Nafidza Ahsan

Jangan sekali-kali kau masuk lubang perangkap ini, ialah pemikiran yang berpura-pura memuaskan akal, diselimuti immoralitas tak bertuhan, merampok segenap ketauhidan pada hati dan pikiran kita. Bukankah jasad tanpa keelingan terhadap Pencipta layaknya mayat hidup tak tahu arah tujuan?

Materialisme adalah sistem pemikiran yang meyakini materi sebagai satu-satunya keberadaan yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Sistem berfikir ini menjadi terkenal dalam bentuk paham materialisme dialektika Karl Marx. Dalam kritik yang dilontarkan pada Hegel tentang manusia sebagai esensi dari jiwa, Marx menyanggah bahwa manusia adalah makhluk alamiah dalam obyek alamiah.[1]

Pemikiran yang menjadikan kedudukan manusia sama dengan seonggok pasir, tak lebih istimewa dari sekaleng kerupuk, ialah sama sebagai materi. Kelirunya ia tafsirkan bahwa : segala pemikiran manusia hanya pantulan dari materi yang padahal diam tak memberitahu, seakan kita sebut benda karena benda sendirilah yang memberitahu cara menyebut benda.

Ketergantungan materi dengan materi yang lain dianggap hanya sebagai roda gigi satu yang menjalankan roda gigi lainnya, bukankah seharusnya dianggap itu bentuk kebutuhan dan keterbatasan? Merendahkan derajat manusia dengan menyatakan bahwa perilaku segala terikat hanya kepada mesin produksi. Bukan menjadikan akal sebagai pisau analisis pembedah alam semesta, hidup dan dirinya agar bertemu hakikat ke-Esaan Tuhan Pencipta Alam. Kekeliruan fatal penyebab manusia mendewakan akal tumpulnya.

Lalu sekonyong-konyong para Ksatria lupa diri menganutnya tanpa merasa salah, mengubah haluan dari indahnya istana megah di Firdaus sana, menjadikan dunia tempat ia berjuang tanpa sadar bakal kembali ke kampung akhirat kelak, semula Ksatria gagah berani jika tersentuh racun ini seketika akan menjadi zombie luntang-lantung tak tahu diri.

Racun pemikiran biadab yang satu ini, kian menyeruak di segala kolong langit, dipaksakan masuk pada otak para Ksatria oleh para bajingan imperialis lewat segala jalur yang memuakkan.

Politik etis yang bersandiwara sebagai sebuah balas budi, edukasi sebagai pengaburan terhadap ketauhidan, kemerdekaan hanya terbatas pada merdeka secara fisik, namun lupa pemikiran tetap ditunggangi para kafir penjajah. Paket pemikiran ini amat membingungan, membuat orang ling-lung, Layaknya anak yang bangga mengayunkan pedang penuh darah ibu kandungnya sendiri, lalu para pembunuh (para neo-imperialis) tertawa terbahak-bahak  menonton kebodohan pilihan serta tingkah-laku para Ksatria yang mulai lupa diri.

Adapun pendapat mengenai nasionalisme menurut Daniele Conversi adalah “Paham nasionalisme didasari oleh asumsi bahwa dunia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai entitas berbeda yang disebut bangsa. Maka dari itu, nasionalisme merupakan suatu proses kategorisasi sosial dalam menentukan mana pihak yang tergolong “diri-sendiri” (self) dan mana yang tergolong “pihak lain” (other).”[2]

Bahkan kebangsaan kita pun hakikatnya adalah mahakarya para penjajah, Ke-Indonesiaan kita ternyata bukan identitas yang turun dari langit melainkan identitas artifisial (buatan), hasil rekayasa politik, warisan kolonial Belanda. Anthony D. Smith, sosiolog yang konsen dalam studi tentang kebangsaan dan nasionalisme, menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa yang karakter dan batas-batasnya ditentukan oleh negara kolonial. [3]

Sedangkan, Sekularisme adalah pemusatan pikiran pada dunia materi lebih banyak daripada dunia spiritual. Masyarakat sekular hanya memikirkan kehidupan dunia dan benda-benda materi.[4]

Menurut seorang theologian, Harvey Cox berpendapat bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari proteksi Agama dan Metafisika, pengalihan dari alam lain kepada dunia ini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of this attention away from other worlds and toward this one). [5]

Muhammad Tahir Azhary, dalam desertasinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang Berjudul Negara Hukum mendefinisikan Sekularisme sebagai “paham yang ingin memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi, hukum, social budaya dan ilmu pengetauhan teknologi dari pengaruh Agama atau hal-hal yang ghaib. Sedangkan sekularisasi, menurutnya adalah usaha atau proses yang menuju kepada keadaan sekular atau proses netralisasi dari setiap pengaruh Agama dan hal-hal yang gaib. Sekular adalah sifat-sifat yang menunjuk kepada sesuatu keadaan yang telah memisahkan kehidupan duniawi dari pengaruh Agama atau hal-hal yang gaib.”[6]

Sekularisme, menjadikan Sang Pencipta tak ada kaitannya dengan kehidupan ini, seakan hukum-hukumNya tak layak dihadirkan pada kehidupan dunia, memisahkan agama dari kehidupan, keimanan dia  kunci di dalam rumah peribadahan.

Nasionalisme, membuat barisan Ksatria terkotak-kotak oleh batas wilayah imajiner, saudara di Palestina menangis kita hanya bisa diam atau maksimal menjerit, saudara di suriah menangis kesakitan kita hanya bisa mengeluh, karena terhalang palang-palang yang hakikatnya dibangun oleh tangan-tangan para penjajah sehingga Ksatria tidak bisa benar-benar bertempur menjaga sesama saudaranya sendiri.

Zombie berbau busuk yang menggunakan tameng zirah, itulah tepat penggambaran kepada kaum muslimin yang dengan bodohnya menganut racun pemikiran ini.

Wahai Ksatria, kita lah Umat terbaik pengemban Al-Islamu Dinul Haq!

انْظُرْ كَيْفَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ لَعَلَّهُمْ يَفْقَهُونَ

Perhatikanlah, bagaimana kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda kekuasaan Kami, agar mereka memahaminya! [7]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Akal merupakan syarat dalam mempelajari semua ilmu. Ia juga syarat untuk menjadikan semua amalan itu baik dan sempurna, dan dengannya ilmu dan amal menjadi lengkap. Namun (untuk mencapai itu semua), akal bukanlah sesuatu yang dapat berdiri sendiri, tapi akal merupakan kemampuan dan kekuatan dalam diri seseorang, sebagaimana kemampuan melihat yang ada pada mata. Maka apabila akal itu terhubung dengan cahaya iman dan al-Qur’ân, maka itu ibarat cahaya mata yang terhubung dengan cahaya matahari atau api”[8]                                  

Kita lihat bagaimana Islam menjadikan akal sebagai kunci pelengkap keimanan, rasionalitas berpadu kepada ketundukan kepada segala ketentuan Tuhan, tidak memisahkan dunia dengan agamanya, bahwa jika ingin selamat diakhirat maka harus menerapkan dan taat  kepada syariat Dzat pencipta Alam di dunia.

Islam adalah  agama yang sempurna dengan Akidah dan Syari’at. Lalu meletakkan prinsip dasar bagi kehidupan, dari lahir hingga akhir hayat. Seperti firman Allah dalam Al-Qur’an,” …. Kami turunkan kepadamu kitab yang menjelaskan tiap-tiap sesuatu petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim“ [9]

Hukum Islam mencakup seluruh hukum dalam kehidupan, seperti hukum halal-haram dalam setiap individu, mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan berkeluarga, mengatur interaksi dan hubungan antarmanusia dalam kehidupan bermasyarakat. Memperhatikan masalah-masalah kelembagaan, keuangan, politik. Dan masalah-masalah yang berkaitan dengan hak pemimpin dan rakyat, hubungan internasional, hubungan Islam dengan umat lain baik dalam keadaan damai maupun perang.[10]

Inilah hakikat pemikiran yang harus diemban oleh seluruh Ksatria, seraplah kembali, reinstall lah pemikiran islam ini kedalam hati dan pikiran kita, agar kita kembali menjadi Ksatria pembela Al-Islamu Diinul Haq, dengan kesadaran inilah para Ksatria akan bersegera masuk kembali ke dalam barisan pasukan, serta berjuang sekuat tenaga, hidup dan mati hanya untuk menegakkan kalimat tauhid di segala penjuru dunia! Allahu Akbar! [].

Sumber:

[1] T.Z. Lavine, Pertualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2002), hlm. 46.

[2] Daniele Conversi, Reassessing Curren Theories of Nationalism: Nationalism as Boundary Maintenance and Creation, Jurnal Nationalism and Ethnic politics, Vol.I, No.I (1995), hal. 81

[3] Anthony D. Smith, National Identity (London: Pinguin Books, 1991), hlmn. 106

[4] Happy Susanto. Sekularisasi Dan Ancaman Bagi Agama. Dalam Jurnal Tsaqafah, 1427. volume 3, nomor 1. h. 54.

[5] Adnin Armas. Sebuah Catatan Untuk Sekularisasi Harvey Cox. Dalam Majalah Islamia. 2007. Vol. III No. 2. h. 28

[6] Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 13-14. dalam Adian Husaini.Wajah Peradaban Barat, Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi SekularLiberal. (Jakarta: Gema Insani Press, 2005) h. 270

[7] [al-An’am/6:65]

[8] [Majmû’ul Fatâwâ, 3/338].[9] Q.S. An-Nahl: 89.

[10] Qardhawi. Al-Islam wal ‘Ilmaniyah. Wajhan li Wajhin. h. 54

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *