Serangan Feminisme Liberal dan Marxis Untuk Menghancurkan Keluarga
Mari kita buka artikel ini dengan beberapa pertanyaan sederhana, “Mengapa isu perempuan menjadi salah satu isu yang ramai diangkat? Dan mengapa agama dan keluarga dianggap sebagai sumber permasalahan terhadap berbagai kasus yang menimpa perempuan?”
Peran perempuan yang begitu besar di dalam Islam sebagai pusat keluarga dan pemelihara generasi-generasi emas Islam, sangat disadari oleh musuh-musuh Islam. Logikanya sangat sederhana. Jika dapat merebut hati dan pikiran perempuan, maka mereka juga dapat merebut semangat generasi muslim saat ini dan di masa depan. Oleh karena itu, mereka mati-matian membentuk pemikiran para perempuan agar sesuai dengan nilai-nilai Barat.
Ide utama feminisme ialah equality (persamaan), sehingga segala macam usaha dilakukan untuk mencapai kesetaraan. Menurut mereka, persamaan adalah kebaikan, sedangkan membeda-bedakan adalah keburukan dan kejahatan.
Menurut Ronald Inglehart dan Pippa Norris, kesetaraan gender, kebebasan seks, perceraian, aborsi, dan hak-hak gay adalah ciri khas Barat. Hal ini bahkan diperparah dengan pemaksaan tradisi Barat yang sangat merusak masyarakat. Rosemarie Putnam Tong dalam “Feminist Though” nya menyampaikan, bahwa feminis liberal terang-terangan membela ‘karir’ pelacur dan ibu yang mengomersialkan rahimnya. Inti gagasannya terletak pada ekonomi dan tuntutan politik. Doktrin utamanya ialah, “semua berhak melakukan segala hal dan wajib dibela”.
Feminis liberal mengerahkan seluruh daya dan upaya untuk melawan dan menggugat urusan-urusan domestik. Sejatinya, ia terbawa oleh arus kapitalisme. Itulah yang disampaikan oleh Mary Wollstonecraft (salah satu tokoh pencetus feminisme awal) bahwa pada abad ke-18, wanita mulai bekerja di luar rumah karena dorongan kapitalisme industri.
Menurut Lenin, tahap akhir dari kapitalisme adalah kolonialisme. Efek kolonialisme ini menyebabkan wanita layaknya ‘sapi-sapi perah’ kapitalisme yang habis hanya untuk diperas. Ania Loomba (penulis ide-ide mengenai kolonialisme dan postkolonialisme) pun menyatakan, “Kaum perempuan sejatinya telah terjajah dan menjadi mesin-mesin kolonial, baik secara seksual maupun ekonomis. Kaum perempuan Dunia Ketiga telah menjadi tenaga kerja termurah untuk industri rumah dengan jam kerja panjang, perdagangan seks, dan perusahaan-perusahaan multinasional besar serta kecil”.
Disebabkan oleh semangat sosialisme yang senantiasa hidup melawan kapitalisme, maka feminis marxis pun bangkit dan melawan feminis liberal. Kapitalis-liberal telah menciptakan kelas-kelas sosial sehingga terciptalah sistem patriarkis. Maka, semangat utama feminis aliran marxis ialah menghapus kelas-kelas sosial tersebut.
Dasar manusia yang tak pernah merasa puas pada akhirnya membangkitkan gerakan untuk melawan feminis aliran marxis. Maka, muncul lah aliran yang tidak hanya berfokus menuntut hal-hal sipil, tetapi menggugat sistem biologis secara radikal. Mereka menggugat sistem pembagian hak dan tanggung jawab secara seksual. Bahkan, mereka pun berpendapat bahwa pembagian tugas reproduksi antara laki-laki dan perempuan tidak lah adil. Entah apa yang ada dalam alam pikir mereka.
Namun, ‘kegalauan’ tak berujung yang disebabkan oleh minusnya keimanan ini justru semakin liar. Menurut mereka, perempuan sering diposisikan hanya sekedar alat pemuas nafsu syahwat laki-laki, dan berpendapat, bahwa “Tanpa lelaki, wanita dapat hidup dan bahkan bisa memenuhi kebutuhan seksnya”. Berkat itu, praktik lesbianisme pun berkembang. Walhasil, feminisme adalah gerakan nafsu dengan sifatnya yang penuh angkara murka. Pemicunya adalah penindasan dan ketidakadilan. Akarnya, jelas berasal dari peradaban Barat, dan bukan dari Islam.
Berangkat dari sini, maka tidaklah heran ketika terdapat pertanyaan yang timbul dari kejanggalan, “Mengapa para feminis begitu gencar menyerang keluarga? Mengapa feminis tidak menyatakan sikap yang jelas terhadap LGBT? Bukankah LGBT lebih berbahaya?”
Alih-alih mereda, pada tahap selanjutnya gerakan feminisme justru semakin menggila. Ia hancurkan beragam tatanan dan otoritas, tak terkecuali ikatan terkecil dari suatu masyarakat, yakni keluarga. Demi menjunjung tinggi equality (persamaan) mereka ramai-ramai ‘mencaci’ ikatan keluarga yang dijadikan sebagai pesakitan serta kambing hitam. Persis seperti perkataan salah seorang ‘petuah’ mereka, Peter L. Berger. Ia pun menyatakan, “Keluarga sekarang nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah pemerkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antar jenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan”.
Hal ini juga disampaikan oleh Foulcaut, bahwa kekuasaan tidak muncul dari suatu struktur sentral atau hierarkis, melainkan mengalir melalui masyarakat secara kapiler; kekuasaan ada dimana-mana; bukan karena ia menguasai segalanya, tetapi karena ia berasal dari mana-mana.
Gerakan Feminisme lantas mengejawantahakan bahwa melawan segala aspek-aspek represif pada kehidupan sehari-hari adalah sebuah kebenaran. Salah satu lembaga yang akhirnya menjadi objek serangan mereka adalah keluarga. Walhasil, tatanan keluarga digempur habis-habis, sekaligus menjadi ‘bulan-bulan-an’ para aktivis Feminisme. Dalih untuk memunculkan simpati pun memiliki pola yang sama, yaitu mengangkat beberapa kasus terkait ketidakharmonisan dalam keluarga, lalu menyelipkan nilai-nilai feminisme sebagai solusi atas permasalahan tersebut.
Perempuan yang telah mandiri secara finansial, tidak perlu bergantung kepada laki-laki. Dalam rumah tangga, agar bebas, tidak perlu taat kepada suami. Akhirnya, tidak ada pria dan wanita yang mengambil peran yang seharusnya dalam rumah tangga.
Peran kepemimpinan yang dibebankan kepada laki-laki akan melemah, karena perempuan menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi ketika gaji perempuan lebih tinggi. Peran perempuan sebagai ibu (umamah) dan pengelola rumah tangga (robbatul baiti) akan terabaikan. Padahal, ini adalah peran utama untuk melahirkan generasi berkualitas. Anak-anak hanya dipandang untuk mengisi stok penduduk negara yang berkurang ketika ada penduduk yang meninggal dunia.
Lantas, jika selama ini feminisme tidak pernah mewujudkan janji dari slogan-slogan manisnya, yang bahkan justru menimbulkan kekacauan dalam keluarga, lalu mengapa feminisme harus dipertahankan? []
Sumber:
Adian Husaini dan Nuim Hidayat, 2002. Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya. Gema Insani Press. Jakarta.
Adian Husaini, 2005. Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal. Gema Insani Press. Jakarta.
Ania Loomba, 2016. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Narasi dan Pustaka Promethea. Yogyakarta.
Arend Th. Van Leeuwen, 2007. Agama Kristen dalam Sejarah Dunia. BPK Gunung Mulia. Jakarta.
Hamid Fahmy Zakrasyi, 2012. Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Insists dan Miumi. Jakarta.
Hamka, 2016. Sejarah Umat Islam: Prakenabian hingga Islam di Nusantara. Gema Insani Press. Jakarta.
Ismail Yusanto, 1998. Islam Ideologi: Refleksi Cendikiawan Muda. Penerbit Al-Izzah. Bangil.
Martin Suryajaya, 2016. Sejarah Pemikiran Politik Klasik: Dari Prasejarah hingga Abad ke-4 M. Marjin Kiri. Tangerang.
Moh Natsir, 1954. Capita Selecta Jilid I. Penerbit Bulan Bintang. Jakarta.
Muhammad Assad. Islam at Crossroads. Dar Andalus. Giblartar. India.
Taufik Abdullah dkk., 1988. Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta.