PolitikSejarah

Situasi Politik di Balik Hari Santri Nasional dan Resolusi Jihad

Share the idea

Mengenakan sarung dan peci, pakaian khas seorang santri. Presiden Jokowi berpidato di Muktamar NU pada Agustus 2015, memuji Islam Nusantara sebagai penangkal sekterianisme dan ekstremisme.

Pada tahun yang sama, beliau mendeklarasikan 22 Oktober sebagai “Hari Santri Nasional” untuk menghormati kontribusi NU dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya, Jokowi juga mendeklarasikan Kiai Haji Abdul Wahab Hasbullah, ulama pendiri Nahdlatul Ulama, sebagai pahlawan nasional.

Sebagaimana yang disampaikan dalam buku “Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi?”, pengukuhan Hari Santri Nasional sangat berhubungan dengan strategi politik Jokowi untuk “mengonsolidasi dukungan dari koalisi luas dari berbagai partai dan organisasi politik”. Salah satunya, tentu saja adalah Nahdlatul Ulama sebagai ormas terbesar di Indonesia.

Berbagai pendekatan atas Nahdlatul Ulama dan organisasi lainnya itu tidak hanya berpengaruh pada kenaikan elektabilitas sebelum dan pasca pemilu. Hal tersebut juga merupakan strategi dalam menghadapi gelombang kebangkitan kalangan “Islam radikal” yang dianggap mengancam kekuasaan maupun posisi politiknya sendiri yang seringkali dikaitkan dengan isu-isu seputar pendukung komunis, boneka partai, hingga tuduhan sebagai seorang non-muslim beretnis Tionghoa.

Meski demikian, beberapa akademisi mencatat bahwa NU tidak sepenuhnya mendukung Jokowi hingga Jokowi memberikan NU banyak bantuan materiil setelah terjadinya protes anti-Ahok. Sebab, NU sedang mencari dukungan negara untuk rencana besarnya: Islam Nusantara – Islam lokal yang toleran dalam versi NU – yang tengah dipromosikan sebagai obat ampuh untuk jihadisme global.

Ketika Jokowi mulai mencoba membina hubungan yang lebih dekat dengan kelompok muslim, NU dengan berbagai agendanya tersebut, tampil sebagai sekutu alaminya.

Terlepas dari strategi politik tersebut, bagaimanapun Resolusi Jihad tertanggal 22 Oktober 1945, adalah peristiwa luar biasa. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Moeflich H. Hart dalam kata pengantar buku “Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda”, peristiwa tersebut merupakan salah satu “decisive moments” dalam sejarah umat Islam di Indonesia.

Peristiwa itu disejajarkan dengan momen penting lainnya seperti:

  1. Masuknya Islam ke Nusantara,
  2. Berdirinya kesultanan-kesultanan Islam dari Samudera Pasai hingga Mataram Islam,
  3. Pengepungan Benteng São João Baptista oleh Sultan Babullah di Ternate yang menamatkan intervensi Portugis abad ke-16 di wilayah Nusantara timur,
  4. Perang Jawa (1825-1835),
  5. Perang Aceh (1873-1904),
  6. Kongres NATICO SI di Bandung 1916 yang menginginkan negara berdaulat sendiri yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto,
  7. Berdirinya organisasi-organisasi Islam modern awal abad ke-20 (SDI, SI, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Ulama, Masyumi dll) yang mengantarkan pada gerbang kemerdekaan Indonesia, serta
  8. Digantikannya Piagam Djakarta oleh Pancasila.

Letak kekuatan Resolusi Jihad tersebut adalah adanya legitimasi dari para ulama yang mampu menggerakkan kaum muslimin dari berbagai organisasi maupun daerah untuk sama-sama berjihad melawan kafir penjajah.

Kekuatan ini bahkan sudah sejak lama disadari oleh Jepang, yang diimplementasikan dalam kebijakannya disebut oleh para akademisi sebagai “Nippon’s Islamic Grass Root Policy”. Melalui pendekatan ini, Jepang berusaha mendekati ulama, kiai, maupun guru agama di desa dengan maksud mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia yang mayoritasnya umat Islam.

Dalam upaya melawan sekutu misalnya, Jepang pada akhirnya membebaskan para kiai yang sebelumnya ditahan. Saiko Shikikan (panglima tertinggi militer) bahkan secara khusus mengundang 32 ulama Jawa dan Madura untuk memohon maaf dan mengakui kedudukan ulama di mata umat. Kejadian yang belum pernah sama sekali terjadi di masa Kolonial Belanda.

Kasman Singodimedjo (Ketua BKR, tokoh Muhammadiyah) menggambarkan situasi ini melalui pernyataannya, “Jepang tampaknya mempunyai keyakinan, bahwa untuk memenangkan peperangan melawan Sekutu, mereka harus mendapat dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Sedang mereka mengetahui, bahwa kiai-lah yang dapat menyampaikan tujuan suci oleh karena para kiai mempunyai hubungan rapat dengan rakyat”.

Kasman sampai mengisahkan, bahwa saat organisasi militer PETA (Pembela Tanah Air) didirikan tanggal 3 Oktober 1943, banyak para kiai yang dijadikan komandan. Sampai-sampai ada kiai yang bernama Kiai Sam’un yang dari kecil sampai tua tidak pernah berbaris, oleh Jepang juga dipaksa untuk menjadi komandan.

Melalui hari santri, ingatan rakyat masa itu terkait jihad masih apik terawat. Di masanya, jihad bukanlah kosakata mengerikan yang harus dijauhi layaknya monster. Lagipula, bagaimana mungkin mereka alergi dengan jihad, jika keseharian hidup mereka justru diisi dengan jihad?

Tak ada orang yang berbisik untuk membincang jihad. Sebab, para pendahulu mereka pun telah mewariskannya dengan sangat terang hingga masuk ke lorong-lorong kampung. Dan yang paling penting adalah, tak ada yang mengaitkan ulama dengan terorisme. Kecuali dari para penampuk kolonialisme itu sendiri.[]

Sumber dan Rekomendasi Bacaan:

Nicko Pandawa. 2021. Khilafah dan Ketakutan Penjajah Belanda. Bogor: Komunitas Literasi Islam.

Rizki Lesus. 2017. Perjuangan yang Dilupakan: Mengulas Perjuangan Umat Islam yang Ter(di)lupakan dalam Sejarah Indonesia. Yogyakarta: Pro-U Media.

Thomas Power dan Eve Warburton (ed). 2021. Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi? Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Share the idea

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *